Hidayatullah.com–Kondisi masjid dua lantai yang terletak Jl. Saninten, Cipahit, Bandung Wetan itu mengenaskan. Warna dindingnya telah memudar dan mengelupas. Bagian atap banyak yang bocor. Beberapa tiang keropos. Sepintas seperti akan roboh dalam waktu dekat.
Tidak hanya keadaan fisik yang memprihatinkan. Aktivitas masjid juga sunyi senyap. Nir kegiatan keagamaan. Murni hanya digunakan untuk sholat berjamaah. Itupun jumlah jamaahnya bisa dihitung dengan jari.
“Itu keadaan masjid al-Lathif pada tahun 2000,” kisah H. Dadang Surjadi, salah seorang anggota majelis Masjid al-Lathif, ketika ditemui hidayatullah.com, di ruang ta’mir masjid, beberapa waktu silam.
Mendapat kondisi demikian, haji Dadang (panggilan akrabnya) yang saat itu baru mengemban amanah sebagai ketua ta’mirterusik. Apa lagi kalau nelihat sejarah masjid yang sangat panjang. Didirikan pada tahun 1950. Ia semakin terlecut.Asanya ingin meniru masjid Nabi, yang penuh dengan jamaah sholat wajib, serta ramai dengan kegiatan keagamaan.
Diskusi punya diskusi, mencuatlah ideingin menghadirkan ustadz-ustadz yang telah ditokohkan masyarakat. Alasannya sederhana. Dengan kedatangan mereka ini, secara otomatis akan menjadi magnet bagi para jamaah untuk bertandang ke masjid.
Untuk suksesi ‘proyek,’strategi jitu pun telah dirancang; yaitu dengan memuliakan para pewarits Nabi itu. Karena prinsipnya, keberkahan akan menyertai mereka yang memuliakan ulama.
Masuk dalam hal ini, memberikan honor tinggi. Meski sempat bersilang pendapat antar pengurus ta’mir,akhirnya disepakatimenganggarkan 250 ribu untuk setiap khathib Jum’at. Menjadi salah satu honor tertinggi di Bandung (2000).
Padahal penghasilan dana masjid dari jamaah untuk setiap Jum’at, kata Dadang, paling mentok 200 ribu. Lalu bagaimana kekurangannya?
“Saya yang nomboki,”terangnya sambil melempar senyum tipis.
Agar tak salah pilih, untuk menentukan para ustadz bakal pengisi masjid, pihak Ta’mir menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat. Dari sanalah kemudian mendapatkan rekomendasi nama-nama ulama. Lintas Ormas (Organisasi Masyarakat) Islam.
Ramah Jamaah
Laksana kata pepatah; pucuk dicinta ulampun tiba. Seiring dengan berjalannya waktu, strategi yang diterapkan oleh ta’mir masjid al-Lathif ini berjalan mulus. Para ustadz banyak yang ‘betah’ di sana. Animo masyarakatmulai tinggi. Bersamaan dengan itu, jumlah pemasukan masjid semakin meningkat. Bahkan kini tidak kurang dari 50 juta/bulan.Belum termasuk sumbangan eksidentil dari jamaah.
Dengan modal itulah, pihak ta’mir melakukan renovasi masjid. Dimulai dengan kamar mandi, kemudian berlanjut ke berbagai bagian masjid, hingga akhirnya rampung semua. Masjid saat ini mampu menampung 2500 jamaah.
Kata sosok asli Bandung ini, ia dan kawan-kawan sangat bersyukur dengan perkembangan masjid. Demi menjaga kepercayaan masyarakat, pengurus mengeluarkan kebijakan untuk tidak mengambil gaji dari kas masjid. Amanah yang diemban diniatkan untuk ibadah semata.
Selain fisik, pelayanan kepada jamaah juga ditingkatkan. Misal, menjaga kebersihan lingkungan masjid, terutama kamar mandi. Kemudian menyediakan minuman bagi para jamaah, yang terletak di bagian utara masjid. Untuk para muslimah, tersedia mukena juga terletak di bagian yang sama. Mukena itu tertata rapi di loker penyimpanan. Bersih dan terlipat rapi.
Sebagai realisasikonsep masjid Nabawi, masjid al-Lathif tidak mengenal jam tutup. Terbuka 24 jam. Para musyafir yang melintas, diperkenankan untuk bermalam. Bahkan, kata Dadang, pihak takmir menyilakan mereka tidur di ruang utama agar tidak digigit nyamuk dan terkena angin malam. Dengan ketentuan, tetap berupaya menjaga kesucian masjid.
Sikap inilah yang membuat jamaah merasa terkesan, “Saya tidak pernah merasakan masjid seramah ini melakukan para jamaahnya,” puji seorang jamaah pada suatu kesempatan, sebagaimana ditirukan putra bpk. Maskan {alm} dan ibu Epon (almh).
Ada kejadian unik. Ceritanya, selesai melakukan renovasi kamar mandi masjid, ternyata terdapat oknum masyarakat sekitar yang menggunakannya untuk kepentingan pribadi seperti mandi dan cuci pakaian.Tidak pernah sholat jamaah di masjid.
Lambat laun, beberapa pengurus mulai geram dan ingin segera memberikan ‘kartu merah.’Tapi Dadang mecegah. Ia lebih tertarik menyelidiki persoalan yang tengah dihadapi si oknum masyarakat itu, sembari mengajaknya secara persuasif.
Didapatilah persoalan, ternyata sikap itudikarenakanbelum tahu tentang tata-cara sholat. Jadi malu. Untuk mengetaskan persoalan ini, maka dilakukanlah pembinaan. Ternyata benar, si oknum rajin sholat berjamaah. Hingga hari ini.
“Sikap ramah kepada jamaahitu diadopsi dari teladan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Betapa beliau pernah membiarkan seorang badui kencing di masjid. Padahal sahabat sudah geram.Ini yang akhirnya kami terapkan di masjid al-Lathif,” ungkap kakek berkulit cerah ini.
Markas‘Pemuda Hijrah’
Islam datang ke muka bumi ini untuk menyisir semua golongan. Tak terkecuali para pemuda. Dan mereka inilah yang akan melanjutkan estapeta dakwah/perjuangan generasi old. Hal inilah yang kemudian menggerakkan para ta’mir, khususnya Dadang, melakukan pendekatan kepada pemuda, terutama yang terdapat di lingkungan sekitar masjid.
Hal lain yang melatari, ingin menjadikan para pemuda itu sebagai ‘pancingan’ agar masyarakat yang jauh lebih tua semakin terpacu dalam beribadah. Istilahnya, satu kali berdayung, dua-tiga pulau terlampaui.
Tekhnisnya, dilakukan pendekatan secara personal. Ketika telah terikat, barulah diajak aktif menghidupkan kegiatan di masjid terkait dengan agenda kepemudaan.
Pada mulanya, kata suami Yeni Gentini ini, langkah ini mendapat banyak pertentangan dari masyarakat.Maklum, yang datang saat itupara pemudadengan berbagai gaya. Ada yang bertato, berambut panjang, dan beratribut ‘nyeleneh’ lainnya, yang tak lazim dipakai di rumah ibadah.
Meski demikian, Dadang dan pengurus tidak mengubris cibiran itu. Mereka terus berupaya melakukan pendekatan kepada para pemuda agar gemar ke masjid. Apa lagi mendapati kenyataan keseriusan mereka untuk berhijrah.Dibuktikan dengan keaktifan dalammengikuti program-program pembinaan.
Dan ini bukan isapan jempol.Sore hari Jum’at, bakda sholat Ashar, ketika hidayatullah.com bertandang ke sana, puluhan pemuda telah berjubel memadati beranda masjid untuk mendapatkan ‘tongkrongan ruhani’. Mereka ingin menghadiri pelajaran tahsin al-Qur’an yang dibimbing oleh Muzammil Hasballah, qari’ bersuara merdu asal Aceh.
Berkat peran para pemuda ini jualah, aku Dadang, ‘virus’ positif ini menyebar ke berbagai komunitas kepemudaan lainnya hatta di luar Bandung, dengan mengoptimalkan jejaring Internet. Banyak mereka yang kepincut dan ingin bergabung. Inilah cikal-bakallahirnya komunitas ‘Pemuda Hijrah,’ yang dibina oleh ustadz Hanan Attaqi.Kini jumlah anggotanya ribuan.
“Masjid ini sekarag sudah tidak cukup. Setiap acara besar, peserta meluber ke jalan-jalan. al-Hamdulillah, masyarakat sekarang juga sudah menerima,” pungkas sosok kelahiran 62 tahun.*/ Robinsah