Oleh: Yanuardi Syukur
Hidayatullah.com | Hampir satu abad Gontor hadir di negeri ini sudah pasti kontribusinya hadir di mana-mana, termasuk dalam ranah intelektual. Mulai dari guru besar di perguruan tinggi, pemikir, aktivis, hingga para guru di berbagai pesolok negeri, ada alumni Gontor-nya. Semua berjihad secara spiritual dan intelektual untuk menyebarkan dakwah Islam.
Dalam ranah jihad intelektual, kita lihat ada banyak nama yang dapat disebut. Nurcholish Madjid adalah nama yang paling familiar di tanah air tidak hanya karena ia pernah menjadi petinggi HMI yang kemudian berceramah soal pembaharuan Islam, tapi juga lingkaran pengaruh dalam karya-karyanya ke banyak orang. Cak Nur, terlepas dari kontroversi yang melekat padanya, ia adalah intelektual muslim lulusan Gontor yang berpengaruh luas.
Ide-ide Cak Nur sampai sekarang masih dikutip dan perdebatkan. Di satu sisi ada yang menyebutnya sebagai pembaru, yang oleh intelektual muda Zacky Khairul Umam (2018) disebut sebagai seorang anak ideologis Masyumi yang kental dengan tradisi Nahdlatul Ulama yang “mengukir namanya sendiri” yang tidak pernah benar-benar mempraktikkan sekuler ala Perancis yang tegas memisahkan agama dan politik. Tapi, kata Zacky, ia lebih dekat dengan semangat sekuler di Amerika yang masih menempatkan agama sebagai etika publik dalam berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, Hamid Fahmy Zarkasyi (2012) misalnya menulis bahwa kebangkitan parpol Islam seperti PKS, PBB, PAN, PKB, PBR, adalah “sesuatu yang tak terbayangkan” di zaman Orde Baru. Fenomena itu sekaligus bukti bahwa slogan Cak Nur 1970-an ‘Islam Yes, Partai Islam No’ tak dapat dipertahankan lagi. Singkat kata, tulisnya: Sekularisasi telah gagal. Dalam beberapa kesempatan, Gus Hamid juga mengeritik Cak Nur bermula dari akar-akar peradaban Barat yang berdampak pada pemikiran Cak Nur.
Adian Husaini, salah seorang pendiri INSISTS menulis bahwa pemikiran sekularisasi (termasuk pluralisme) Cak Nur tidak berasal dari Gontor, akan tetapi itu bagian dari perjalanan intelektualnya dari Ciputat sampai ke Chicago. Di Chicago, tulis M. Wahyuni Nafis (2020) dalam pengantar ‘Ibnu Taimiyyah tentang kalam dan falsafah’, awalnya Cak Nur berfokus pada ilmu politik di bawah bimbingan Leonard Binder, akan tetapi selanjutnya ia pindah ke jurusan yang kata Cak Nur ‘akan relevan dengan program hidup saya’, yakni filsafat dan pemikiran Islam di bawah Fazlur Rahman.
Terkait Gus Hamid, ia merupakan anak dari salah satu trimurti Gontor, KH. Imam Zarkasyi, yang berpendidikan di Lahore (Pakistan), Birmingham (Inggris), serta Malaysia di kampus ISTAC. Tulisan-tulisan Gus Hamid banyak mengeritik secara reflektif perihal westernisasi dan liberalisasi dalam Islam. Misalnya, kita bisa lihat pada buku Misykat yang diterbitkan INSISTS-MIUMI (2012).
Selain itu, Gontor punya juga Habib Chirzin. Tidak hanya dikenal sebagai intelektual, ia merupakan aktivis dan kunci dari berbagai jejaring Islam internasional. Chirzin banyak menulis soal pemikiran Islam dan aktivisme dalam bentuk kemitraan dunia Islam. Ucapannya penuh motivasi, misalnya ketika dia berkata, “…semua bukan tentang menjadi apa, namun seberapa besar manfaat yang diterbarkan.”
Semua sumber daya yang ada perlu dimanfaatkan, kata beliau untuk mencapai yang namanya umat terbaik, khairu ummah. Ini semacam panggilan sejarah agar tiap Muslim menjadi yang terbaik. Motivasi seperti ini juga saya dapatkan ketika menjadi santri di Pondok Pesantren Darunnajah, yang ketika itu beliau memaparkan materinya bersama beberapa tokoh bangsa lainnya.
Intelektual Muslim alumni Gontor lainnya adalah Syamsuddin Arif. Penghafal Al-Qur’an dan menguasai banyak bahasa. Jika berbicara lebih pelan, tapi dalam. Corak tulisannya selalu sarat dengan referensi, seperti yang bisa kita baca pada Islam dan Diabolisme ketika dia membahas secara tematik berbagai topik mulai dari intelektual dan ulama, diabolisme intelektual, pluralisme agama, jihad, terorisme, sampai pada Averroisme dan Renaissance.
Jika Dr. Hamid Fahmy cenderung untuk ‘meringankan tema yang berat’ berbentuk esai populer (dalam Misykat, contohnya), Dr. Syam lebih cenderung untuk ‘meringankan namun tetap menampilkan yang berat’ (dalam Islam dan Diabolisme Intelektual & Bukan Sekedar Mazhab) berbentuk daftar rujukan yang tidak sedikit. Bisa jadi, ini pilihan saja dari kecenderungan untuk berkutat pada teks-teks yang berat yang dibuat populer untuk publik lebih luas dan publik lebih terbatas (akademik).
Bachtiar Nasir juga intelektual Muslim yang lebih condong pada sisi keulamaan. Jika Cak Nur, Gus Hamid, dan Dr. Hamid begitu tampak sisi intelektualnya, maka Nasir lebih condong sisi keulamaannya. Karyanya terkait dengan tadabbur Al-Qur’an, panduan hidup, dan keluarga Muslim.
Sebagai Ketua GNPF MUI, Nasir juga menulis ‘Tadbir Rabbani: Rekayasa Allah di Balik Aksi 212’ (2017) yang melihat aksi pengawalan terhadap fatwa MUI terkait penistaan agama sebagai aksi ‘mengetuk pintu langit’ untuk menegakkan izzah umat Islam. Ada tiga sandaran umat Islam, tulis Nasir: kekuatan tauhid, Al-Qur’an, dan hadits. Resistensinya terhadap Ahok (dalam kasus penistaan terhadap Al-Maidah: 51), terlihat ketika dia mengutip prinsip Umar bin Khattab, “Aku tidak rela Islam direndahkan sementara aku hidup di zaman itu.”
Tokoh lainnya adalah Din Syamsuddin. Dikenal sebagai intelektual dan politisi yang berpengalaman luas. Waktu hadir pada pertemuan tokoh agama di Amerika, satu nama yang disampaikan seorang tokoh Islam dari Timur Tengah kepada saya, “titip salam untuk Pak Din Syamsuddin.” Luar biasa pengaruhnya. Dalam berbagai event interfaith dialogue, atau kerjasama global tokoh agama, nama beliau selalu terdepan.
Beberapa tokoh di atas, yang memiliki gerakan yang tidak selalu sama walau berasal dari lulusan pesantren yang sama, adalah tipikal da’i yang mencoba untuk mengembangkan potensi intelektualnya semaksimal mungkin. Mereka terlibat dalam koreksi terhadap paham/pemikiran yang dianggap keliru, sekaligus menawarkan pemikiran baru.
Di titik ini, saya melihat bahwa Gontor telah sukses melahirkan pemimpin dalam dunia intelektual. Tentu saja masih banyak nama lain yang dapat kita tulis selanjutnya. Namun, terlepas dari pro atau kontra pada pemikiran dan gerakan mereka, tulisan dan gerakan mereka tidak terlepas dari dakwah dengan tujuan internalisasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat modern Indonesia.*
Depok, 23 Oktober 2020
*Pengajar Antropologi Universitas Khairun, Mahasiswa S3 Antropologi FISIP UI