SEJAK hari Kamis (10/04/2014), Pesawat kepresidenan Republik Indonesia /‘Air Force One’ RI mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah, Indonesia memiliki pesawat kepresidenan.
Hanya saja, Pesawat RI 1 jenis Boeing Bussiness Jet 2 Green Aircraft (BBJ2) tersebut dibeli Indonesia seharga US$91,2 juta atau sekitar Rp820 miliar (hampir 1 Trilyun), dengan rincian US$58,6 juta untuk badan pesawat, US$27 juta untuk interior kabin, US$4,5 juta untuk sistem keamanan, dan US$1,1 juta untuk biaya administrasi.
Sudah begitu, pesawat ini dibeli dari perusahaan Boeing Amerika. Sudah begitu, pemerintah masih mengatakan biaya sebesar itu masih efisiensi anggaran, sebab menyewa pesawat dari maskapai Garuda Indonesia ongkosnya lebih mahal.
Yang lebih ironis, Indonesia memiliki PT Dirgantara Indonesia (DI) yang telah memproduksi banyak pesawat, termasuk CN-235 dna N 250. Di mana produknya justru digunakan Malaysia, Korea Selatan, dan Pakistan.
Direktur Aircraft Service PT DI Rudi Wuraskito belum lama ini mengatakan, Malaysia dan Korea Selatan menggunakan 2 unit CN-235 sebagai pesawat kepresidenan. Sedangkan Pakistan hanya 1 unit.
Sama dengan pesawat Boeing yang baru dibeli Sekretariat Negara untuk Presiden Republik Indonesia, CN-235 tersebut juga memiliki interior dan keamanan khusus.
Menurut Rudi, alasan 3 negara tersebut membeli CN-235 karena luas daerahnya yang kecil. Sehingga tidak perlu pesawat besar untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain. Lama terbang pesawat tersebut sekitar 8-9 jam dan dapat mendarat di bandara yang mempunyai landasan hanya 1.200 meter.
Lagi-lagi menurut Rudi, ada sekitar 15 negara telah menggunakan pesawat CN-235. Di antaranya Amerika Serikat, Prancis, Spanyol, Malaysia, Thailand, Turki, Brunei Darussalam, Pakistan, dan Arab Saudi. Total sudah ada 315 pesawat yang dibuat. Negara yang paling banyak menggunakan adalah Turki dengan 70 unit.
Kebanyakan pesawat-pesawat tersebut dipakai untuk transportasi militer seperti membawa barang dan orang.
Kita seharusnya bangga dengan produk anak-anak bangsa yang telah lama disiapkan oleh BJ Habibie. Sayang, kita sendiri tidak bangga dengan itu. Seharusnya presiden dan Negara bangga dan produk sendiri.
Saya ingat 1996 silam, ketika Presiden RI yang kedua, Soeharto, memutuskan menukar dua pesawat buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara, CN-235, dengan beras ketan Thailand. Kebijakan itu kemudian menjadi olok-olok, salah satu yang paling berhasrat “menjatuhkan” jika tak boleh disebut nyinyir produk anak bangsa ini adalah Majalah Tempo. Akibat liputannya, seolah kita (bangsa Indonesia) merasa terhina gara-gara ditukar beras-ketan.
Dalam buku “Pak Harto, The Untold Stories” mengisahkan dibalik barter itu terungkap. “Sebenarnya saya meniru Indira Gandhi yang ketika menjual bus Damri kepada kita, ia tidak mau dibayar dengan dolar. Indira minta bus-bus itu dibarter saja dengan beras yang di negara kita saat itu surplus.”
Sama saja, jika barang kita dibarter dengan nilai yang sama, seharusnya tidak perlu ada yang merasa terhina. Namun begitulah cara kerja media-massa. Kini, orang sebaik BJ Habibie “disingkirkan” bahkan para pemuda-pemudinya yang bersama IPTN dan PT Dirgantara banyak lari ke perusahaan-perusahaan asing. Di saat yang sama, kita justru membeli dari orang asing. Innalillahi.
Mengapa jika ada produk kebanggaan milik negeri dan anak bangsa kita cela, tetapi kita justru bangga menggunakan buatan luar negeri? Sampai kapan pemerintah kita (termasuk media) bisa menjadi cerdas?*
Wassallam
Abdul Wahid-Malang