“Jamaah oh… Jamaah… “ Ente-ente pade tahu acara tipi nyang namanye Tabligh Da’i Muda Pilihan (bersama Mie Sedap)?
Terus terang saya miris melihat acara ini. Saya sudah tahu ada acara tersebut cukup lama, sejak masih pra-promo. Tapi tidak pernah minat untuk menontonnya.
Suatu hari, dengan penuh kesadaran saya menonton acara tersebut, meski tidak terus-menerus alias berseling dengan stasiun TV lain. Walau begitu, saya mengikutinya dengan seksama.
Alasan mengapa saya “tertarik” menontonnya, bukan karena suka. Tapi saya ketika itu ingin tertawa, butuh sesuatu yang lucu. Berhubung Upin dan Ipin serta Shaun the Sheep sudah lewat jam tanyangnya, maka saya cari saluran televisi lain. Jadilah saya menonton acara Da’i Muda tersebut.
Apa yang saya khawatirkan terbukti. Kontes (bakat? kayaknya gak banget deh) tersebut, tidak lain dan tidak bukan adalah Pildacil (Pemilihan Da’i Cilik) versi orang dewasa. “Pildacil in Bigger Size”.
Saya lihat ada pemuda menggebrak-gebrak panggung sambil mengutip-kutip hadits. Ada yang teriak-teriak pura-pura mengharu-biru. Ada yang menyanyi, ada yang … pokoke kalau Anda pernah lihat petujukan panggung anak taman kanak-kanak, maka itulah dia. Bedanya, di sana diselipkan satu-dua hadits, ayat al-Qur’an dan kisah-kisah reliji.
Dari namanya, “Da’i Muda”, sepertinya penyelenggara meng-copy acara Da’i Muda di televisi Malaysia yang populer itu.
Sebelumnya, juga sudah ada kontes seperti itu, yang kemudian melahirkan “Ustadz-ustadz” gaul di televisi Indonesia. Saya tidak hapal dan tidak ingin menghapal nama-nama mereka, untuk menyebutkan contohnya, tapi jika muncul di TV saya tahu mereka jebolan kontes “da’i-da’i-an”. Anda tanya para TKW alias buruh migran Indonesia di luar, mereka pasti lebih hapal daripada saya 🙂 .
Jangan tanya alasan stasiun TV menggelar acara “Pildacil in Bigger Size” itu, karena jawabannya, meski tidak diumumkan adalah demi meraih rating.
Sedangkan untuk masyarakat Muslim pada umumnya, menurut saya tidak ada gunanya. (Anda berhak protes dan membantah saya soal ini).
Para peserta, seperti yang Anda saksikan, minim pengetahuan agamanya. “No offense”. Tapi menurut saya, ketika seseorang telah berani “terjun” ke dunia dakwah, modal utama yang harus dimilikinya adalah ILMU SYARIAH.
Para peserta, saya mohon maaf, berbeda dengan acara Da’i Muda versi Malaysia, baik peserta laki-laki dan perempuannya mengenakan pakaian seperti kostum karnaval. Dengan baju “tabrak sana-sini”, yang menjadikannya kelihatan sangat tidak rapih dan tidak berwibawa. Maaf, lagi-lagi maaf, andaikan saya dikasih baju itu untuk berada di pentas yang sama atau di acara lain, pasti saya akan menolaknya.
Gaya mereka menyampaikan tausiyah, hmmmm… seakan seperti pertunjukan “anak wayang”. Alias pertunjukan panggung, yang semuanya adalah aktivitas pura-pura.
Ada yang meniru mendiang “Da’i Sejuta Umat”, ada yang meniru “AA”, dan bahka ada yang meniru cara bicara ustadzah di pengajian Muslimat. Saya terheran-heran, mengapa begitu banyak “peniru” di panggung itu. Seperti tidak punya pendirian dan kepribadian saja, sampai-sampai untuk berbicara pun harus meniru orang lain. Ironisnya, hasil tiruan mereka tidak lebih baik dari KW-3 yang sering diburu ibu-ibu.
Seumur-umur, tidak pernah saya melihat ada orang yang dipanggil “ustadz” memberikan tausiyah dengan cara menggebrak panggung, bergerak ke sana ke sini bak penyanyi rock. Tangan melambai-lambai seperti orang menari. Bahkan Taufiq Ismail tidak pernah “liar bergerak” saat tampil di pentas membaca puisi. Keanehan gaya bertausiyah harnya ada di kontes-kontes made in Indonesia.
Hal konyol lainnya adalah SMS dukungan untuk peserta. Pada suatu pekan, ada peserta yang katanya mendapat SMS dukungan terbanyak. Saya tidak tahu yang mana orangnya, apalagi sejak awal, saya tidak mengikuti acara ini secara rutin.
Tapi saya yakin, orang tersebut pasti memiliki kualitas wajah mendekati SNI (Standar Nasional Indonesia) dan lebih baik dibanding peserta lainnya. Ternyata di pekan selanjutnya dugaan saya terbukti benar. Peserta pria asal Jogjakarta itu punya wajah yang cukup memadai dan sesuai SNI. Lebih ganteng dibanding peserta pria lainnya. Senyumnya selalu mengembang, meskipun dilihat dari garis wajah senyumannya hasil bentukan training motivasi. Ya, senyumnya dibentuk dengan garis bibr di tengah, dua senti ke kanan dan dua senti ke kiri. Persis teori senyum “tulus” di pelatihan-pelatihan motivasi.
Sayangnya, kegantengan ala SNI dan senyum 2 cm-nya itu tidak didukung dengan pengetahuan memadai untuk menjadi seorang da’i handal. Mas Gantheng tidak bisa membedakan lafal huruf Kaaf dan Qaaf dengan benar.
Melihat kualitas “da’i jadi-jadian” jebolan stasiun televisi yang seperti itu, tidak heran jika kemudian para da’i muda yang sudah lebih dulu terkenal, justru dipopulerkan dan banyak diberitakan di program-program acara gossip alias infotainment.
“Jamaah… oh… jamaah…” pernah tahu ada ustad yang pernikahannya disiarkan eksklusif di sebuah stasiun televisi swasta dan diberitakan di program acara gossip infotainment? Ripley’s Believe It or Not!, hal itu benar-benar ada dan hanya terjadi di Indonesia!
Saya setuju dengan perkataan Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub, MA, yang pernah mengatakan di sebuah stasiun televisi bahwa yang palsu-palsu sekarang lebih diminati oleh masyarakat.
“Ustadz palsu bayarannya malah lebih besar,” ujar beliau.
“Jamaah… oh… jamaah…”
Muak aku melihatnya, sampai-sampai mie telor yang sudah masuk di perut rasanya ingin keluar lagi lewat mulut, demi melihat para calon pendakwah agama Islam yang mulia ini penampilan dan kualitasnya tidak beda dengan para artis ibukota.*
Maratul Sholihah, Jakarta
[Alamat ada pada redaksi]