Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Tentulah beda antara kerumunan Habib Rizieq Shihab (HRS) di Petamburan, Jakarta Pusat dan juga di Megamendung, Bogor, dengan kerumunan Presiden Jokowi di Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Perbedaan antara keduanya, jika HRS kerumunannya di Jakarta dan Megamendung, Bogor. Sedang Presiden Jokowi kerumunannya di Maumere NTT. Kerumunan HRS konon disengaja, sedang kerumunan Presiden Jokowi konon itu spontanitas warga.
Perbedaan lainnya, kerumunan Presiden Jokowi, itu karena warga merindu pada presidennya yang tidak setiap waktu bisa dijumpainya. Sedang kerumunan HRS, itu setidaknya menurut logika yang berkembang, bukan karena umat yang merindu pada ulamanya.
Itu setidaknya yang digambarkan oleh politisi PPP, Achmad Baidowi, bahwa kerumunan Jokowi tak disengaja, masyarakat tidak mau kehilangan momentum untuk menjumpainya. Artinya, kerumunan umat yang ingin menjumpai HRS itu tidaklah bisa disebut momentum rindu jumpa, karena ia cumalah ulama biasa.
Kerumunan Presiden Jokowi itu tentu beda dengan kerumunan HRS. Kerumunan Jokowi itu tidak diantisipasi dengan baik oleh pihak keamanan dan Pemda NTT, sedang kerumunan HRS mestinya bisa diantisipasi pihak keamanan dan panitia penyelenggara. Sehingga pantaslah dua Kapolda lalu dicopot.
Masih banyak perbedaan antara kedua kerumunan itu, yang coba dibuat tafsir perbedaan. Dan yang pasti kerumunan yang satu adalah kerumunan Presiden RI, sedang yang lain, kerumunan HRS, itu cuma seorang ulama biasa saja.
Logika semua orang coba digiring dengan logika istana, dengan mempercayai adanya perbedaan tafsir dan bahkan niat kerumunan antarkeduanya. Padahal Covid-19 bisa hadir di semua kerumunan yang ada.
Baca: Tak Hadir di Sumedang, FPI dalam Kenangan
Presiden Tidak Boleh Salah
Jika dilihat dengan kacamata hukum dan keadilan, maka kedua kerumunan itu sama saja maknanya. Kerumunan itu adalah pertemuan yang diikuti banyak orang, dan dalam jarak berdekatan.
Bedanya cuma lokasi dan mereka yang hadir, dan juga tentu tokoh yang hadir, yang menyebabkan adanya kerumunan itu. Satunya presiden, dan satunya lagi ulama yang kebetulan kritis pada rezim.
Karenanya, makna kerumunan itu mesti dicarikan perbedaan makna antarkeduanya, agar kerumunan Presiden Jokowi itu bisa ditafsir beda dengan kerumunan HRS.
Maka muncullah pernyataan-pernyataan dari pejabat, politisi dan pendukung presiden, berlomba setor varian pernyataan. Inti dari pernyataan yang keluar menyampaikan satu pesan, bahwa kerumunan antarkeduanya tidaklah sama.
Tapi kesan yang muncul pada masyarakat akal sehat, adalah, bahwa berbagai pernyataan yang dihadirkan, itu hanyalah pernyataan untuk melindungi presiden, agar tidak disamakan melakukan kesalahan seperti yang dilakukan HRS.
Kalau opini perbedaan kerumunan antar keduanya tidak dibuat, maka dipenjarakannya HRS itu bisa disebut upaya kesewenang-wenangan atau zalim, karena keduanya sama-sama berada dalam kondisi kerumunan.
Maka implikasi jika tidak dibuatkan alasan perbedaan antarkeduanya, itu akan dapat mempertontonkan ketidakadilan hukum, yang cuma tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Masyarakat dibuat seolah pernyataan-pernyataan yang dimunculkan itu hal sebenarnya dalam memaknai kerumunan. Menganggap rakyat tidak bisa melihat semua itu dengan sempurna.
Baca: Karikatur Menggelitik
Permadi Arya Saja Tak Tersentuh Hukum
Karenanya, muncul berbagai pernyataan kontra atas pemaknaan “kerumunan” yang dihadirkan rezim. Lalu ada yang coba nekat akan menggugat presiden untuk dipolisikan. Melaporkan dengan tuduhan melanggar protokol kesehatan.
Adalah Eko Saputra, Ketua Bidang Politik dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (PP GPI), yang nekat akan melaporkan Presiden Jokowi pada Mabes Polri.
“Presiden harusnya memberikan contoh teladan bagi seluruh pejabat dan instansi lainnya yang dipimpinnya. Justru malah memberikan contoh buruk hanya demi pencitraan,” ujar Eko, Rabu (24/2).
Tambahnya, laporannya itu sekaligus untuk menguji komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, apa benar hukum tidak dijadikan alat kekuasaan dan hukum berkeadilan, yang tidak hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Laporan Eko disebut nekat, karena yang dilaporkannya itu presiden yang sedang berkuasa. Itu semacam olok-olok pada lembaga kepresidenan dan institusi kepolisian. Tapi apa yang dilakukannya, itu bukanlah hal terlarang di negeri yang terlanjur menganut faham demokrasi.
Ikhtiar Eko Saputra dari PP GPI itu ikhtiar tidak sia-sia, karena berani melawan ketidakadilan dalam memaknai “kerumunan”, yang jelas-jelas itu merupakan pelanggaran atas UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Pasal 93 UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Semua boleh pesimis atas laporannya itu akan ditindaklanjuti Kepolisian. Kata mustahil bolehlah jika mesti ditempelkan pada kata pesimis tadi. Kasus orang biasa saja, yang hanya karena dekat pada rezim, itu pun sulit tersentuh hukum.
Baca: Permadi Arya Itu Sakti, Mustahil Tersentuh Hukum
Kalau orang biasa seperti Permadi Arya saja tidak bisa disentuh hukum apalagi orang nomor satu di republik ini, itu bisa diibaratkan, bagai menangkap angin dengan jaring berlubang.
Padahal apa yang dilakukan Permadi Arya itu jelas-jelas pernyataan Rasisme dan Penodaan Agama, itu pun hukum tidak mampu menjeratnya. Permadi Arya memang manusia terlindungi. Kata “sakti” pantas disematkan.
Laporan yang dilakukan Eko Saputra, jika itu memang serius dilakukannya, itu bentuk protes masyarakat, setidaknya yang diwakilinya, bahwa hukum itu sulit berlaku adil pada semua orang. Hukum itu tajam, cuma untuk mereka yang pantas dihukum, dan ukurannya mengikuti tafsir kekuasaan. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya