“Bila Ada Bencana, FPI yang Pertama Menolong”, Washington Post
Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas), resmi dibubarkan pemerintah. Alasan pembubaran disebabkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sudah berakhir Juni 2019.
Sudah mencoba memperpanjangnya, tapi Kemendagri tidak meluluskan, karena ada pasalnya yang bermasalah, katanya. Itulah alasan yang dikenakan pada FPI.
Orang lalu bisa mempertanyakan, bagaimana mungkin SKT sebelumnya bisa diterbitkan, lalu pada periode berikutnya SKT tidak diberikan karena ada pasal yang dipermasalahkan. Padahal tidak ada perubahan pada pasal-pasalnya.
Inkonsisten tampak dilakukan pemerintah soal penerbitan dan tidak menerbitkan SKT pada FPI. Dan lalu dengan argumen SKT yang sudah mati, maka FPI harus “dimatikan”.
SKT FPI tidak diterbitkan, itu anehnya di era Menteri Dalam Negeri dijabat Pak Tito Karnavian, saat beliau menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya, yang pernah memuji-muji FPI sebagai organisasi paling toleran. Perlakuan pun berubah seiring jalannya waktu.
Baca: Hamdan Zoelva: FPI Bukan PKI, Menyebarkan Kontennya Tak Bisa Dipidana
Nasib FPI memang buruk. Tidak tampak baik-baiknya sedikit pun. Maka yang disorot adalah sikap FPI saat melakukan sweeping pada tempat-tempat maksiat, dan sejenisnya.
Sikap keras FPI itu, lalu jadi senjata untuk menghabisinya. FPI seperti berjalan sendiri pada pemilihan strategi dakwahnya, yang terkesan lebih pada nahi munkar. FPI lalu disebut sebagai intoleran.
Padahal jika dicermati dengan baik, FPI itu melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar sama berimbangnya. Jika tampak menonjol pada nahi munkar, bisa jadi itu karena ormas lain meninggalkan peran nahi munkarnya.
FPI dan Bencana Alam
Mari kita lihat peran amar ma’ruf yang dilakukan FPI itu, agar kita bisa menilainya secara fair dan adil. Kita sebut yang paling ikonis saja ya, karena terlalu banyak jika mesti disebut satu persatu.
Saat bencana tsunami dahsyat pada Desember 2004 melanda provinsi Aceh, sejarah tidak mampu menutup atau menafikan peran FPI di sana.
Dipimpin langsung Habib Rizieq Shihab dengan lebih seribu laskarnya membantu mengangkat jenazah yang bergeletakan di jalan-jalan. Jenazah yang sudah mulai membusuk, bahkan sudah busuk, memandikannya, mensholatkan jenazah-jenazah itu, dan lalu menguburkan dengan baik.

Bekerja tak kenal lelah, dan ribuan mayat “dirawatnya” secara baik. Tidak ada yang sanggup melakukan kerja demikian. Di Aceh itu, FPI bekerja dengan hatinya.
Baca: Komunitas Pers Desak Kapolri Mencabut Larangan Sebarkan Konten terkait FPI
Saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden kala itu, meninjau Aceh pasca tsunami dan bertemu tokoh-tokoh masyarakat di sana. Ada dialog di sana, dimana tokoh-tokoh itu memuji peran HRS dengan FPI-nya, yang memberi bantuan “merawat” jenazah, yang mereka sendiri tidak sanggup melakukannya.
Tidak cukup itu saja, mereka pun menyampaikan, bahwa Masjid Baiturrahman, masjid kebanggan warga di provinsi Aceh, dibersihkan hingga seperti semula, sehingga langsung bisa dipakai untuk ibadah sholat Jum’at. Juga rumah-rumah yang “dihuni” lumpur pun tidak luput mereka bersihkan.
Mendengar itu, SBY secara spontan lalu menelepon HRS yang awalnya tidak dikenalnya. Mengucapkan rasa terima kasih atas nama pribadi dan selaku presiden.
Pada 8 Oktober 2018, FPI terjun ke Palu, saat gempa bumi yang lalu disusul tsunami. Menyalurkan bantuan logistik, seperti sembako, selimut dan terpal.
Dan pada Desember 2018, adalah FPI yang pertama bisa menembus area medan bencana, melakukan pertolongan pada korban tsunami di Banten.
Baca: Kemkominfo Akui dan Apresiasi Peran Relawan FPI di Sulteng
Pada 2019, FPI juga ikut membantu korban gempa Ambon. Tim Hilal Merah Indonesia FPI, Sulawesi Tengah, membuat pipa air untuk 3.000 KK dan 17.000 jiwa di lokasi pengungsian.
Setiap ada musibah di negeri ini, di mana pun itu, FPI selalu hadir paling awal untuk membantu warga yang tertimpa musibah, tanpa melihat latar belakang yang bersangkutan; baik etnis maupun agama.
Absen di Sumedang
Melihat FPI kali ini harus absen pada bencana longsor di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, tentu satu kerugian. Padahal keberadaan FPI dalam hal-hal demikian amatlah dibutuhkan.
Mau apalagi jika pemerintah sudah menyatakan, bahwa FPI sebagai organisasi terlarang. Justru jika FPI membantu korban bencana, setelah dibubarkan, itu bisa dianggap melakukan pelanggaran melakukan aktivitas membantu mereka yang tertimpa bencana. Aneh? Gak ada yang aneh jika kita pakai logika pelarangan yang dikoordinir Menko Polhukam itu.
“Pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan yang dilakukan FPI, karena FPI tidak lagi mempunyai legal standing sebagai ormas maupun organisasi biasa,” ujar Pak Mahfud MD, Rabu (30/12/2020).
Itulah kado akhir tahun diberikan, dimana FPI dibubarkan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) enam pejabat pemerintah. Tidak boleh beraktivitas kembali.
Adalah menarik, jika diungkap di sini, apa yang ditulis wartawan Stephen Wright, yang menulis dedikasi FPI dalam sebuah artikel “ When Disaster Hits, Indonesia’s Islamists are First to Help“, yang dimuat Washington Post, 11 Juni 2019.
Tulisan itu dimulai dengan menceritakan bendera FPI yang berkibar di depan rumah Anwar Ragaua, korban tsunami Palu. Lelaki itu tak menghiraukan perintah polisi untuk menurunkan bendera itu.
Anwar adalah satu-satunya nelayan yang selamat, saat tsunami menghantam ibukota Sulawesi Tengah, 28 September 2018.
Anwar mengenang bahwa saat itu tidak ada polisi dan pemerintah yang membantu evakuasi di daerahnya. Sebaliknya, FPI yang memberikan harapan padanya agar kembali melaut. Bahkan FPI memberinya kapal baru untuknya agar bisa bekerja kembali.
Sepak terjang FPI dalam misi kemanusian, mestinya semua orang bisa melihatnya. Itu jika mau melihatnya dengan fair dan obyektif. Sebagaimana Stephen Wright menuliskannya.
Sejarah FPI akan dicatat sempurna, dicatat semuanya dengan baik. Tidak akan ada yang bisa menghapus jejak sejarah, meski dibakar dan abunya disebar ke delapan penjuru mata angin sekalipun.
Pada saatnya, caci maki akan berganti dengan pujian selayaknya.*
Kolumnis, tinggal di Surabaya