Hidayatullah.com — Kepolisian Tunisia telah menyerbu cabang Al Jazeera di ibukota Tunis, mengusir semua pegawainya, setelah Presiden Kais Saied menggulingkan pemerintah. Pihak yang menentang tindakan presiden menyebut itu sebagai kudeta.
Setidaknya 20 polisi berpakaian preman memasuki kantor pada Senin, lapor wartawan Al Jazeera di Tunis. Para petugas tidak memiliki surat perintah penggerebekan, lanjut wartawan itu pada Selasa (27/07/2021).
“Kami tidak menerima pemberitahuan sebelumnya tentang penutupan kantor kami oleh pasukan keamanan,” ujar Lotfi Hajji, kepala Al Jazeera di Tunisia.
Pasukan keamanan yang terlibat dalam penyerbuan mengatakan mereka hanya menjalankan perintah pengadilan dan mengusir semua wartawan.
Para wartawan mengatakan petugas keamanan memerintahkan mereka untuk mematikan telepon dan melarang kembali ke gedung untuk mengambil barang pribadi mereka. Petugas kepolisian juga menyita kunci kantor.
Dalam pernyataannya pada Senin, Al Jazeera mengatakan pihaknya memandang tindakan itu sebagai “serangan terhadap kebebasan pers”.
“Al Jazeera menganggap tindakan otoritas Tunisia ini sebagai eskalasi yang meresahkan dan khawatir akan menghalangi liputan yang adil dan objektif dari peristiwa yang sedang berlangsung di negara itu,” kata jaringan media tersebut.
“Al Jazeera meminta pihak berwenang Tunisia untuk mengizinkan jurnalisnya beroperasi tanpa hambatan dan diizinkan untuk mempraktikkan profesi mereka tanpa rasa takut atau intimidasi.
“Di dunia di mana media dan jurnalis menghadapi ancaman yang meningkat, Al Jazeera memandang ini sebagai serangan terhadap kebebasan pers secara keseluruhan.”
Reporters Without Borders (RSF) mengatakan “mengutuk penyerbuan kantor Al Jazeera di Tunisia dan keterlibatan media dalam konflik politik.”
Juru bicara RSF Pauline Ades-Mevel mengatakan kepada Al Jazeera bahwa timnya tetap waspada. Berjaga jika ada serangan lebih lanjut terhadap media di Tunisia.
“Kami melihat situasi dengan hati-hati. Kami mengecam langkah ini dan kami menganggap pluralisme pers dan kebebasan pers harus dihormati oleh pihak berwenang selama ini ketika krisis politik berlangsung sejak kemarin malam di negara ini,” kata Ades-Mevel.*