Hidayatullah.com—Aljazair menunggu permintaan maaf atas penjajahan Prancis terhadap negara Afrika Utara itu, Presiden Aljazair mengatakan, mengungkapkan harapan atas apa yang akan dibangun Emmanuel Macron berdasarkan tawaran perdamaian baru-baru ini.
Akhir-akhir ini, dunia ramai-ramai memeriksa kembali warisan kolonialisme dipicu oleh peristiwa pembunuhan Mei atas seorang warga Afrika-Amerika George Floyd yang tidak bersenjata oleh seorang perwira polisi kulit putih, yang kemudian menimbulkan protes massa di seluruh dunia.
“Kami telah memiliki setengah permintaan maaf. Langkah selanjutnya diperlukan … kami menunggu,” kata Presiden Abdelmadjid Tebboune, Sabtu (6/7/2020) dalam sebuah wawancara dengan saluran berita France 24, sebagaimana dikutip oleh TheNewArab.
“Saya percaya bahwa dengan Presiden Macron, kita dapat melangkah lebih jauh dalam proses perdamaian … dia adalah orang yang jujur, yang ingin memperbaiki situasi.”
132 tahun pemerintahan penjajah Perancis di Aljazair, dan perang brutal selama delapan tahun yang mengakhiri itu, telah meninggalkan warisan hubungan berduri antara kedua negara.
Dalam apa yang dipandang sebagai pencairan hubungan, Aljazair pada hari Jumat (3/7/2020) menerima tengkorak 24 pejuang perlawanan yang dipenggal selama periode penjajahan.
Tengkorak-tengkorak itu akan diletakkan di komplek Syuhada di pemakaman El Alia di ibukota Aljazair pada Ahad (5/7/2020) – peringatan 58 tahun kemerdekaan Aljazair – menurut laporan media.
Tebboune mengatakan bahwa permintaan maaf dari Prancis akan “memungkinkan mencairkan ketegangan dan menciptakan suasana yang lebih tenang untuk hubungan ekonomi dan budaya”, terutama untuk lebih dari enam juta warga Aljazair yang tinggal di Perancis.
Pada Desember 2019, Macron mengatakan bahwa “kolonialisme adalah kesalahan besar” dan menyerukan untuk menutup halaman di masa lalu.
Selama kampanye pemilihan presidennya, ia menciptakan badai dengan menyebut penjajahan Perancis atas Aljazair sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan”.
Kepala Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet mendesak negara-negara untuk memperbaiki “kekerasan dan diskriminasi selama berabad-abad”.
Penjajahan Eropa, termasuk Perancis di dalamnya, pernah melingkupi 90% teritori di dunia. Hingga kini, dampak atas penjajahan tersebut masih dirasakan oleh banyak negara. Termasuk menyisakan konflik yang berkepanjangan di Palestina.*