Fikih tahawwulat (fikih perubahan zaman) sedang dibutuhkan oleh umat Islam zaman ini, karena kita setiap saat sedang menghadapi perubahan-perubahan yang begitu cepat dari berbagai segi
Oleh: Kholili Hasib
Hidayatullah.com | HARI RABU, 23 Maret 2022, Program Pascasarjana IAI Darullughah Wadda’wah (Dalwa) menyelenggarakan International Seminar tentang sikap muslim dalam menghadapi perubahan zaman. Seminar bertajuk “Pemikiran Dr. Habib Abu Bakar al-Masyhur al-Adni” diadakan di Dalwa Hotel Syariah.
Seminar menghadirkan dua narasumber; Habib Alwi bin Abu Bakar al-Masyhur dan Syaikh Samih al-Kahuli. Habib Alwi bin Abu Bakar al-Masyhur adalah ulama dan intelektual muda dari negeri Hadramaut, Yaman, sekaligus putra Dr. Habib Abu Bakar al-Masyhur. Syaikh Samih al-Kahuli merupakan murid Dr.Habib Abu Bakar al-Masyhur.
Pemikiran Dr.Habib Abu Bakar al-Masyhur saat ini memang masih belum banyak mengkaji. Khususnya di tingkat akademik. Gagasan menarik dan penting dari beliau adalah tentang konsep fikih tahawwulat (fikih perubahan zaman).
“Fikih tahawwulat ini sedang dibutuhkan oleh umat Islam zaman ini. Karena kita setiap saat sedang menghadapi perubahan-perubahan yang begitu cepat dari berbagai segi. Bagaimana menghadapi perubahan ini, merupakan hal yang harus dikenali oleh kita semua”, tegas Habib Alwi pada seminar yang dihahiri oleh mahasiswa pascasarjana dan dosen IAI Dalwa.
Habib Abu Bakar al-Adni dilahirkan di lingkungan keluarga yang cinta ilmu dan dakwah pada tahun 1366 H di kota Aden Yaman. Disamping belajar kepada sang ayah, Habib Abu Bakar juga belajar krepada para ulama secara tradisional maupun menimba ilmu secara formal di sekolah, hingga akhirnya lulus dari Universitas Aden jurusan tarbiah.
Dalam kitab al-Khuruj Min Dairatul Hamra, beliau menceritakan perubahan-perubahan zaman bidang politik, budaya dan ideologi dialami sejak saat masa remaja, dilalui olehnya dan keluarga di bawah tekanan pemerintah dan kaum komunis. Hingga akhirnya beliau dan keluarga keluar dari Yaman pindah ke Hijaz.
Sesampainya di hijaz beliau diperintahkan oleh sang ayah untuk menjadi Imam disalah satu masjid di kota Jeddah sekaligus sebagai khotib dan guru. Mula-mula beliau ingin melanjutkan studinya ke al-Azhar, Mesir.
Namun orang tua beliau kurang berkenan dan bahkan menganjurkan untuk belajar pada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf merupakan seorang ulama kenamaan di kota Jeddah.
Banyak ulama-ulama dari Turki, Maroko, Mesir, Yaman, Afrika dan Asia Tenggara mengambil faidah ilmu kepadanya. Meski ia tidak memiliki gelar kesarjanaan, akan tetapi Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf diakui keilmuannya oleh para guru besar dari berbagai negara Muslim.
Ketika bertemu dengannya, Dr. Habib Abu Bakar al-Masyhur mengurungkan niat pergi belajar ke Mesir. Mulazamah dengan Habib Abdul Qadir. Sebab, ulama-ulama Mesir pun mengakui keilmuannya Habib Abdul Qadir.
Gagasan dan konsep fikih tahawwulat menurut Syaikh Samih al-Kuhali bermula dari faidah-faidah yang diberikan Habib Abdul Qadir selama di Jeddah. Habib Abu Bakar memang mempunyai istilah-istilah tersendiri didalam berbagai pemikirannya yang beliau gagaskan.
Seperti fikih tahawwulat, sunnah mawaqif, mutsallats almadmuj, manhajul wai wassalamah dan berbagai istilah-istilah menarik lainnya. Gagasan beliau tentang konsep tersebut perlu disambut oleh umat Islam zaman sekarang.
Syaikh Samih menjelaskan bahwa gagasan fikih tahawwulat Habib Abu Bakar bukanlah fikrun insani (pemikiran manusia). Tetapi sebuah pemikiran yang berangkat dari hadis Jibril tentang empat rukun agama Islam; iman, Islam, ihsan, dan hari kiamat.
Pemikiran beliau yang menarik adalah bahwa selama ini umat Islam telah banyak tiga rukun agama (iman, Islam, ihsan). Ada satu rukun yang tidak banyak menjadi kajian mendalam oleh umat Islam, yaitu mempelajari tanda-tanda hari kiamat. Kajian inilah yang kemudian beliau sebut fikih tahawwulat.
Syaikh Samih dengan tegas menyatakan gagasan beliau bukan fikrun insani, rupanya untuk menepis pemikiran-pemikiran ahli filsafat modern yang murni dari rasio dan berangkat dari pengalaman pribadi dalam hidup. Tidak ada pijakan tanzilnya.
Apa itu fikih tahawwulat? Habib Abu Bakar al-Adni menjelaskan: “Pemahaman syari’at terhadap hal-hal yang telah, sedang atau akan terjadi dari perubahan dalam kehidupan manusia dan alam semesta, dan hal-hal baru dalam ilmu teoritis ataupun aplikatif, kebudayaan, kejadian dan fitnah di tahap-tahap kehidupan manusia secara umum dan kehidupan umat nabi Muhammad secara khusus hingga hari kiamat, baik melalui teks-teks al-Qur’an dan hadits yang meneropong masa depan, maupun teks-teks al-qur’an dan hadits yang menunjukkan kejadian di masa lalu” (Habib Abu Bakar al-Masyhur, An-Nubdzah As-Shugra, hlm. 16).
Habib Alwi bin Abu Bakar menjelaskan, fikih tahawwulat bukan menebak-nebak akhir zaman. Turunnya imam Mahdi, contohnya, telah tersebut oleh Nabi Muhammad ﷺ. Kejadiannya pasti.
Akan tetapi, kita tidak memiliki pengetahuan kapan turun. Kita tidak boleh berspekulasi bahwa saat ini pun sedang turun imam Mahdi. Apalagi menebak beberapa tahun lagi bumi hancur karena kiamat.
Konsep fikih tahawwulat yang dijelaskan Habib Abu Bakar ini mempelajari tanda-tanda hari kiamat saja, bagaimana mensikapi tanda perubahan tersebut menjadi suatu rumusan dan kaidah. Makanya disebut “fikih”, karena berupa rumusan-rumusan dan kaidah.
Karena rumusannya tentang mensikapi zaman akhir, maka disebut fikih akhir zaman. Atau bisa disebut fikih tahawwulat. Tahawwul artinya berubah. Karena mempelajari kaidah-kaidah menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi sebelum hari kiamat.
Pemikiran fikih tahawwulat Habib Abu Bakar al-Adni al-Masyhur ini dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan umat zaman sekarang ini. Di zaman yang sudah makin banyak pergolakan, perubahan-perubahan yang sedemikian cepat, terjadinya banyak permusuhan dan peperangan, maka umat Islam harus menentukan sikapnya dengan benar. Agar tidak ikut tersulut api fitnah.
Dalam konteks itu, sikap penting bagi umat Islam adalah sekuat tenaga menghindari beraneka ragam fitnah-fitnah yang terjadi. Memperkuat diri, dengan fokus mendidik diri dan umat agar menjadi umat berkualitas.
Mampu menghadapi perubahan-perubahan zaman tanpa ikut berubah keyakinan-keyakinan fundamentalnya. Agar umat Islam terhindar dari fitnah maka perlu melakukan dua hal;
Pertama, umat Islam harus memperbaharui bahasa metode da’wah. Dari segi pembaharuan metode, umat Islam meneladani ulama-ulama terdahulu yang adil didalam penyampaian sesuatu yang dilandasi dengan al-hikmah dan pengajaran yang baik, juga sebagai mengatur ulang norma-norma keselamatan dan sanad yang dilandasi dengan menjaga lidah dari mencela dan menjaga tangan dari pertumpahan darah (Habib Abu Bakar al-Masyhur, An-Nubdzah as-Shughra).
Kedua, menjaga kemuliaan dan sanad yang terdapat pada ilmu-ilmu (aqidah, syariah dan tingkatan suluk) baik di dalam periode maupun pada para ahli ilmu, (menjaganya) dari permainan orang-orang yang mengubah-ubah agama dan fitnah yang menyesatkan.
Dari dua sikap tersebut dapat disimpulkan bahwa, gagasan fikih tahawwulat mengajak umat Islam untuk berintrospeksi diri ketika terjadi banyak perubahan-perubahan pemikiran, keyakinan, budaya, tradisi dan politik umat manusia. Pijakan berdiri dalam hal keilmuan menjadi penting.
Kembali memperbaiki pendidikan yang pemahamannya bersambung (memiliki isnad) sampai kepada ulama-ulama salaf. Siapa saja yang berfikir tetapi menyimpang dari ijma dan putus dengan pemahaman dan tradisi (turats) ulama dipastikan rapuh. Maka, kerapuhan-kerapuhan pemikiran itulah yang mudah tergelincir oleh perubahan-perubahan (tahawwulat) zaman itu.*
Dosen Pascasarjana IAI Dalwa