Hidayatullah.com– Para penumpang bus Setia Bhakti jurusan Surabaya-Jakarta mengeluhkan pelayanan armada angkutan umum tersebut. Bus tersebut dinilai berjalan terlalu lambat dan kebanyakan berhenti.
Bus bernomor polisi B7592BK ini memulai perjalanannya dari Terminal Purabaya, Sidoarjo, Jawa Timur (atau dikenal Terminal Bungurasih Surabaya) pada Ahad (08/06/2014), sekitar pukul 16.54 WIB dalam catatan hidayatullah.com jadwal di tiketnya pukul 17.00 WIB.
Bus baru tiba di Terminal Pulo Gadung, Jakarta pada Senin (9/6/2014) sekitar pukul 14.06 WIB. Padahal, semestinya bus berwarna putih kombinasi merah muda tersebut tiba pada Senin pagi.
Abdus Syakur, wartawan hidayatullah.com yang juga penumpang Setia Bhakti, mengaku kecewa dengan pelayanan bus tersebut. Biasanya, aku dia, dalam perjalanan bus malam antar kota antar provinsi (AKAP) di Pulau Jawa, palingan melewati 3 waktu shalat.
Namun, kali ini dia terpaksa melewati 4 waktu shalat di atas bus, yaitu Maghrib, Isya’, Shubuh, dan Zhuhur. “Maghrib-Isya tentu saya jamak. Shubuh seperti biasa. Dan juga mau nggak mau saya jamak takhir shalat Zhuhur-Ashar. Soalnya udah lelah banget,” ujarnya begitu tiba di Pulo Gadung.
Keluhan senada disampaikan penumpang lainnya, Doni, 22 tahun. Dia merasa dirugikan karena banyak melewati waktu Shalat.
“Kalau dalam perjalanan tuh (disebut) musafir. Ya rugilah kita (banyak waktu terbuang di atas bus. Red),” ujar pria ini.
Saat media ini hendak melihat angka kecepatan bus, ternyata speedometer di dashboard-nya ditutupi stiker logo sebuah klub sepakbola Italia.
Berhenti 6 Kali, Supir Merokok
Hidayatullah.com mencatat, sejak meninggalkan Bungurasih, bus Setia Bhakti setidaknya berhenti cukup lama sebanyak 6 kali. Yaitu di agen bus tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, di Gresik (Jatim), Kudus, Batang (Jateng), Cirebon, dan Indramayu (Jabar).
“Berhentinya sekitar 15-35 menitan. Biasanya palingan bus berhenti 2 kali,” imbuh Syakur.
Ia merasa dirinya terkecoh. Tiket bus tersebut dibelinya melalui petugas penjualan di loket Setia Bhakti di Terminal Purabaya pada Sabtu (7/6/2014) siang seharga Rp 235 ribu. Dani, penjual tiket berseragam kuning muda tersebut menjanjikan bahwa bus yang akan dinaikinya adalah kelas eksekutif, ber-AC, toilet, dan dapat makan.
“Tibanya (Senin) pagi di Jakarta,” janji Dani seperti ditirukan Syakur.
Namun, Ahad sore itu, saat diantar Dani ke bus Setia Bhakti, rupanya bus yang dimaksud beda jauh dari yang dijanjikan.
“Katanya eksekutif, tapi tampilannya aja tampak mengenaskan. Lampu depan kirinya dilapisi lakban yang dicat menyerupai warna bodi aslinya. Terus kaca depannya retak di sebelah kiri,” ungkapnya.
Namun, karena merasa sudah begitu lelah, Syakur memilih ikut saja di bus tersebut. Sebelum berangkat dia berpikir positif bahwa bus tersebut akan baik-baik saja.
“Meski pada kenyataannya, kami para penumpang merasa dirugikan. Wong jalannya pelan amat. AC-nya juga nggak dingin, hampir nggak ngaruh,” keluhnya.
Dani kepada Syakur mengaku, dirinya tak hanya menjual tiket bus Setia Bhakti, tapi juga bus-bus yang lain.
Sementara Doni mengeluhkan, “Nyetirnya jangan terlalu santai. Kalau sampai harus tepat waktu, jangan membuat kecewa penumpang. Kan saya seharusnya masuk kerja saya jam 2 siang,” ujar karyawan sebuah minimarket di Pondok Gede, Jakarta Timur ini, yang mengaku membeli tiket seharga Rp 225 ribu.

Pantauan media ini, para penumpang lainnya mengekspresikan keluhan serupa. Mulai yang mengomel sampai pindah ke angkutan lain. Bahkan saat di Cirebon, dua orang penumpang yang hendak turun sempat bersitegang dengan supir karena telatnya perjalanan.
Yang membuat Syakur tambah mengeluh, dua orang supir busnya merokok saat menyetir. Padahal di belakang supir itu terdapat stiker larangan merokok.
“No smoking, dilarang merokok di ruangan ini,” demikian tulisan berhuruf kapital pada stiker itu.*