Masyarakat menganut sekularisme, olok-olok agama itu kewajaran, dekonsekrasi nilai agama merupakan virus yang merusak kehidupan beragama
Oleh: Dr. Kholili Hasib
Hidayatullah.com | SEORANG seniman bernama Adres Serrano menciptakan replika Yesus dari plastik diberinama Piss Christ. Karya Serrano menuai protes keras dari agamawan Kristen.
Sebabnya, replika Yesus ini ia masukkan ke dalam wadah urinnya sendiri dan memotretnya. “It is the ill of religion” (ini adalah penyakit agama), ucap Serrano. Tahun 2011, patung itu dihancurkan setelah mendapatkan protes keras di kota Prancis.
Adres Serrano adalah seniman ateis. Karya-karya seninya banyak bermasksud menyindir keras simbol-simbol agama Kristen.
Namun, di negara-negara Barat karya seni yang mengolok-olok simbol agama itu sebenarnya sangat banyak. Ada yang didemo, tetapi banyak juga yang dibiarkan, tidak dihiraukan bahkan dianggap biasa-biasa saja.
Memang, bagi masyarakat yang menganut faham sekularisme, olok-olok agama itu kewajaran. Sebab, sekularisme sendiri merupakan faham yang anti-agama.
Sekularisasi adalah gerakan melepaskan nilai-nilai agama dari kehidupan manusia. Richard Rorty dan Gianni Vattimo dalam The Future of Religion membuat tesis, masyarakat modern atau pasca modern itu agamanya non-theism.
Dalam tataran praktik, masyarakat dianggap sudah ‘beragama’ jika perilakunya humanis, meskipun mencela Tuhan. Anthony Giddens menulis modernisme Barat dan nilai-nilai globalisasi itu arogan, bagaikan panser penghancur dengan budaya kolonialnya.
Mau jadi modern harus humanis. Menjadi humanis tidak harus taat Tuhan. Di masyarakat Muslim Indonesia sudah jamak dijumpai orang yang ikut-ikutan modern dengan membela-bela ‘kemanusiaan’ itu meskipun tidak religius.
Dalam beberapa film Barat, simbol-simbol kekristenan ada yang menjadi bahan candaan dan komedi. Film Mr. Bean misalnya, candaannya tetapi digemari meskipun ada konten yang berbau olok-olok agama.
Bagi masyarakat Indonesia yang beragama dan berketuhanan Yang Maha Esa, film dengan konten candaan agama itu sangat sensitif. Nilai-nilai sakral keagamaan masih tetap dianuti oleh masyarakat Indonesia.
Oleh sebab itu, dalam masyarakat yang religius, candaan yang berkaitan dengan simbol agama itu harus dibatasi tidak boleh sampai jatuh ke dalam penghinaan nilai agama.
Prof. Syed M Naquib al-Attas menjelaskan faham sekularisme memiliki tiga dimensi; disenchantment of nature (pembebasan alam dari unsur agama, penghapusan makna-makna ruhani dalam alam), desacralization of politics (penanggalan legalitas agama dalam politik) dan deconsecration of values (penghapusan kesucian dan kemutlakan nilai agama dari kehidupan).
Penghinaan terhadap simbol agama Islam yang akhir-akhir ini terjadi, merupakan fenomena dekonsekrasi nilai kesucian agama.
Dekonsekrasi nilai agama ini merupakan virus yang merusak kehidupan beragama. Paham ini menusuk jiwa orang beragama agar tidak peduli dengan agamanya.
Toleransi kadang menipu dan dijadikan alat tipu. Bahwa orang yang tidak peduli dengan agama itu toleran, orang yang terlalu mengurus kasus agama itu fanatik. Sebuah logika sekularisme yang menusuk jantung orang beriman.
Fenomena dekonsekrasi ini akan meruntuhkan pondasi beragama. Manusia dibiarkan tetap beragama, tetapi dilarang untuk peduli dengan agamanya.
Ini sama saja silahkan kalian bersuami beristri, tapi jangan peduli dengan suami atau istri kalian jika diganggu disentuh orang lain. Inilah tipuan toleransi dalam fenomena dekonsekrasi agama.
Di Indonesia, sejak tahun tahun 2005 hingga 2021 sudah ada 18 kasus penghinaan agama Islam yang ditangani pengadilan. Artinya, dekonsekrasi nilai agama ini cukup tinggi di Indonesia. Korbannya adalah agama Islam.
Dekonsekrasi nilai agama tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang menganut sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pedoman bermasyarakat. Warga Indonesia adalah warga yang berketuhanan, bukan sekular bukan anti-agama.
Oleh sebab itu, simbol-simbol agama di Indonesia harus dilindungi kesuciannya. Oknum-oknum yang mengajak untuk tidak peduli dengan agamanya dengan olok-olokan harusnya dicekal.
Bagi perspektif Pancasila, olokan agama itu mestinya kriminil. Di Indonesia sudah ada tiga peraturan yang mengurus penghinaan agama; KUHP, Dekrit Presiden dan UUD (Undang-Undang Dasar) 1945.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pasal 156 (a) menyasar setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun. Pelanggaran Pasal 156(a) dipidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Presiden Soekarno pernah menekan Dekrit Presiden yang dikenal dengan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 1 dekret melarang “penafsiran menyimpang” ajaran agama dan memberi Presiden hak membubarkan organisasi yang mempraktikkan ajaran menyimpang.
Di samping itu, UUD 1945 pasal 29 ayat (2) berbunyi “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Karena itu secara hukum kenegaraan, agama dan apapun yang terkait dengannya, telah disepakati sebagai sesuatu yang suci, sumber inspirasi dan motivator masyarakat. Sehingga, perbuatan, pernyataan atau statemen yang menyinggung agama akan menjadi isu yang sensitif.
Sensifitas warga negara merupakan sesuatu yang wajar. Sebabnya, agama menjadi tiang membangun bangsa. Bukanlah sekularisme itu yang membangun bangsa ini.
Harap dan wajib disadari bersama oleh semua elemen masyarakat, bahwa menista agama adalah perbuatan kriminal di negeri ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kriminal adalah perbuatan melanggar hukum pidana, dan kejahatan, pelakunya disebut penjahat.
Secara yuridis, kejahatan didefinisikan sebagau suatu tindakan melanggar undang-undang atau ketentuan yang berlaku dan diakusi secara legal. Secara kriminologi yang berbasis sosiologis, kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat dan suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat (Wikipedia online).
Maka, sekularisme dan dekonsekrasi nilai agama itu tidak layak dihidupkan di Indonesia. Tidak semestinya menjadi life style (gaya hidup) bangsa.*
Penulis adalah pengajar Institut Agama Islam Darullughah Wadda’wah (INI DALWA)