Oleh: Mahmud Budi Setiawan
SALAH satu karya KH. Hasyim Asy’ari berbahasa Arab yang penting untuk dibaca adalah “al-Tanbīhāt al-Wājibāt li Man Yashna’u al-Maulid bi al-Munkarāt” (1355 H/1936 M). Di dalamnya mengandung teguran dan peringatan terhadap orang yang mencapuradukkan perayaan Maulid Nabi dengan perbuatan-perbuatan munkar, salah satunya adalah bercampurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram yang biasa disebut ikhtilath.
Dalam prolognya, alasan penulisan buku ini karena KH Hahsyim melihat secara langsung pada malam Senin tanggal 25 Rabi’ul Awal 1355 H (1936 M) beberapa pelajar di sebagian ma’had Islam mengadakan perkumpulan atas nama Maulid; bersamaan dengan itu didatangkan juga hiburan yang dinamakan pencakan disertai dengan terbangan di situ laki-laki dan perempuan yang bukan mahram campur menonton hiburan disertai musik permainan semacam judi, tari-tarian disertai canda tawa teriakan di masjid dan sekitarnya.
Melihat peristiwa itu, KH. Hasyim Asy’ari langsung melarang mereka dan mengingkari perbuatan mungkar itu kemudian mereka berpencar dan bubar. Kasus yang mirip juga pernah beliau dengar langsung dari orang yang bisa dipercaya, bahwa di Siwulan –daerah bagian Madiun– dalam perayaan Maulid disertai dengan perbuatan-perbuatan munkar. Pasalnya, para pria dan wanita yang bukan mahram bercampur-baur, dalam candaannya ada pemuda yang memakai pakaian wanita dan lain sebagainya.
Dampak dari perayaan ini rupanya tidak kecil. Tak jarang hal itu menimbulkan perceraian antara suami-istri. Karenanya, KH. Hasyim Asy’ari sampai berkata, “Jika (perayaan) Maulid malah mengantar seseorang pada perbuatan maksiat seperti kemunkaran yang jelas, maka wajib ditinggalkan.”
Untuk menguatkan pendapat, beliau mengemukakan pendapat Syekh Tajuddin Umar bin Ali al-Lakhami as-Sakandari, Jalaluddin As-Suyuthi, Syekh Abu Abdullah bin al-Haj al-Maliky dan lain sebagainya bahwa perbuatan demikian adalah termasuk bidah yang munkar. Kasusnya sama yaitu pria wanita berikhtilath sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Dari beberapa uraian tersebut menunjukkan bahwa ikhtilath antara pria dan wanita yang bukan mahram, ditinjau oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai perbuatan maksiat, bahkan termasuk bagian kemungkaran yang perlu dicegah. Apalagi jika disertai dengan kemungkaran-kemungkaran lain seperti yang telah disebutkan tadi.
Keharaman ikthilath sudah ma’ruf di kalangan ulama. Jadi dalam masalah ini, pendapat Hadratusy Syaikh sesuai dengan pendapat ulama lainnya. Imam An-Nawawi misalnya dalam bukunya yang berjudul “al-Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab” (XX/28-29) mengetengahkan beberapa hadits Rasulullah ﷺ di antaranya:
Rasulullah ﷺ bersabda:
لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما
“Janganlah pria berkhalwat dengan seorang wanita (yang bukan mahram).” (HR. Bukhari, Muslim) Sedangkan Imam Thabrani meriwayatkan sabda Nabi:
لَا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إلَّا مَعَ ذِي محرم
“Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan perempuan, kecuali yang memiliki hubungan mahram.” Di hadits lain disebutkan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan berkhalwat dengan wanita yang tidak ada mahram di antaranya.”
Kalau ditinjau dari empat madzhab, keharaman ikhtilath antara pria dan wanita yang bukan mahram juga sangat jelas. As-Sarkhasi misalnya dalam kitab “Adāb al-Qādhi” (1993: XVI/80) menyebutkan bahwa hakim harus memisahkan posisi wanita dan pria dalam persidangan karena jika bercampur akan menimbulkan mafsadah (kerusakan).
Sementara al-Hamawi yang juga bermadzhab Hanafi berpendapat walimah dibolehkan jika tidak mengandung mafsadah. Salah satu mafsadah yang bisa membuatnya dihukumi makruh, bahkan haram misalnya ketika terjadi ikhtilath antara pria dan wanita yang bukan marham.
Sedangkan dari Madzhab Maliki ada pendapat Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani. Katanya, ketika orang diundang untuk menghadiri walimah, maka wajib mendatanginya kecuaku ada hal sia-sia dan kemungkaran yang nyata. Salah satu kemungkaran itu adalah ikhtilath antara laki-laki dan perempuan. (Al-Qairuwani, al-Risālah al-Qairuwaniyah, I/160)
Demikian juga menurut Madzhab Syafi’i. Ibnu Hajar al-Haitami misalnya berpendapat bahwa ikhtilath antara laki-laki dan perempuan (yang bukan mahram) adalah bagian dari kemungkaran. Sedangkan menurut madzhab Hanbali, seperti yang dikemukakan Ibnu Qayyim bawha pemerintah wajib mencegah terjadinya ikhtilath antara pria dan wanita di pasar, jalan-jalan, dan tempat-tempat perkumpulan pria. (al-Thuruq al-Hukmiyyah, I/234).
Dari keempat madzhab itu sudah terang bahwa ikhtilaht antara pria dan wanita yang bukan mahram adalah haram hukumnya. Jadi, apa yang dilakukan oleh KH Hasyim ‘Asy’ari dalam mencegah kemungkaran ikhtilath antara laki-laki dan perempuan dalam perayaan Maulid berikut kemaksiatan lainnya sudah tepat. Dalam hal ini —sebagai pendiri NU– beliau di garda depan dalam memberantas kemunkaran. Beliau lakukan dengan teguran langsung melalui lisan atau melalui tulisan. Semoga rahmat dan maghfirah Allah senantiasa tercurah kepada beliau Rahimahullah.*
Penulis alumni Al Azhar, Kairo