Hidayatullah.com— Keuangan sosial Islam memiliki peran besar dalam mengatasi berbagai isu sosial, termasuk perlindungan hak anak. Demikian disampaikan Koordinator Prodi S1 Ekonomi Islam UNAIR, Bayu Arie Fianto SE MBA PhD.
“Instrumen Islamic Social Finance (ISF) dapat menjadi solusi membangun sistem perlindungan anak, terutama bagi yang rentan mengalami eksploitasi dan kekerasan di lingkungan pendidikan,” ujarnya Bayu Arie Fianto dalam seminar bertajuk “Innovative Finance Discussion Series: How Can Islamic Finance Respond to Child Rights?” di Aula Soepoyo, FEB UNAIR.
Acara yang diselenggarakan Departemen Ekonomi Islam Universitas Airlangga ikut menggandeng UNICEF dan CARE dengan menghadirkan sejumlah pakar di bidang keuangan Islam dan perlindungan anak.
Di antaranya, Guru Besar Ekonomi Islam Prof Dr Raditya Sukmana SE MA, Wakil Sekretaris NU Jatim Dr HM Wafiyul Ahdi M PdI, Asisten Direktur Bank Indonesia Jatim Jhordy Kashoogie Nazar MSc serta Kepala Departemen Pendidikan Madrasah Kemenag Jatim Dr Sugiyo MPd.
Dalam acara ini, perwakilan UNICEF, Ali Moechtar mengungkap keuangan sosial Islam bisa menjadi komplemen kebijakan pemerintah khususnya terkait kesejahteraan anak.
“Pendanaan dari ISF dapat dialokasikan untuk program pencegahan kekerasan anak di sekolah dan dukungan terhadap korban sehingga menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih aman dan inklusif,” ungkapnya dikutip unair.ac.id.
Tantangan Implementasi
Sementara Prof Raditya menyoroti tentang bubble algoritma sistem keuangan Islam yang dapat mempengaruhi efektivitas distribusi dana sosial.
“Setiap individu dan organisasi memiliki preferensi alokasi dana yang berbeda. Tantangannya adalah bagaimana menyatukan perbedaan tersebut ke dalam satu sistem yang transparan dan berkelanjutan,” jelasnya.
Selain itu, menurutnya, ISF dapat menjadi model pembangunan berkelanjutan di desa tertinggal. Utamanya dalam tiga aspek, yakni infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
“Jika desa masih tertinggal dalam infrastruktur dan fasilitas kesehatan, tentu sulit mengharapkan pendidikan di desa bisa setara seperti di kota. Sehingga, Islamic Social Finance harus dioptimalkan untuk membangun desa dari aspek yang paling fundamental,” ujarnya.
Dalam implementasinya, dua institusi utama pengelolaan dana sosial Islam harus dilibatkan. Yaitu Nazhir (pengelola wakaf) dan Lembaga Amil Zakat (pengelola zakat). Mereka bertugas menghimpun dana dari para donatur.
Ia juga berinisiatif melibatkan mahasiswa dalam konsep ini. Mahasiswa yang memiliki bekal ilmu studi kelayakan dan manajemen strategik akan diterjunkan ke desa untuk melakukan studi kelayakan dalam perencanaan pembangunan.
“Kampus memiliki peran besar dalam pemberdayaan ekonomi Islam. Dengan melibatkan mahasiswa, kita dapat memastikan bahwa program Islamic Social Finance tidak hanya sekedar wacana, tetapi benar-benar dapat dieksekusi dengan baik,” pungkasnya.*