Konflik ‘Israel’-Iran bukan pertarungan ideologis, melainkan perebutan pengaruh strategis, program nuklir Iran menjadi ancaman eksistensial bagi ‘Israel’, sementara ekspansi regional Tehran melalui proxy wars memperuncing ketegangan
Oleh: Sultan Selim
Hidayatullah.com | KETEGANGAN militer antara ‘Israel’ dan Iran sudah mencapai 5 hari, setelah serangan udara ‘Israel’ menghantam sejumlah kawasan Pusat Komando Tertinggi Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) di Natanz yang merupakan lokasi pengayaan uranium sentrifus gas terbesar di Iran.
Sebelumnya, ‘Israel’ pertama kali melancarkan “Operasi Rising Lion”, menargetkan fasilitas nuklir dan militer Iran, dilanjutkan serangan balasan Iran dengan mengirim rudal dan drone ke wilayah ‘Israel’ dan Kawasan strategis militer –termasuk Pangkalan Udara, Gedung Mossad dan AMAN— dalam “Operation True Promise III”.
Banyak pihak melihat ini sebagai kelanjutan dari permusuhan ideologis yang telah berlangsung lama antara dua negara.
Namun, jika dilihat lebih jernih, serangan ‘Israel’ kali ini lebih mencerminkan kekhawatiran strategis ketimbang pertentangan ideologis.
‘Israel’ tidak menyerang Iran karena perbedaan akidah, mazhab, atau narasi sejarah panjang antara Syiah dan Zionisme. Serangan ini lebih merupakan tindakan pencegahan terhadap program nuklir Iran yang dinilai semakin dekat dengan kemampuan senjata nuklir.
Bagi ‘Israel’, keberadaan senjata nuklir di tangan Iran bukan sekadar ancaman teoritis, melainkan risiko eksistensial yang nyata.
Nuklir Iran dan ekspansi Syiah
Selama dua dekade terakhir, Iran secara konsisten membangun kemampuan nuklirnya, dengan narasi untuk kepentingan sipil dan medis.
Namun, Iran bukan sekadar negara dengan ambisi pertahanan. Negara itu memiliki agenda ekspansi ideologi Syiah ke kawasan Sunni di Timur Tengah. Hal ini terlihat dari dukungan militer dan dana yang diberikan kepada berbagai kelompok milisi di Suriah, Irak, Lebanon, dan Yaman.
Namun, yang perlu diingat adalah bahwa dukungan tersebut kerap disertai dengan kasus-kasus penindasan terhadap komunitas Sunni di wilayah-wilayah tersebut.
Banyak laporan dari organisasi internasional dan pengamat independen menunjukkan bagaimana kelompok pro-Iran melakukan tekanan, diskriminasi, pembunuhan terhadap kelompok Sunni yang berada dalam kawasan konflik di Suriah, Irak, dan Yaman.
Program nuklir yang kuat, dalam pandangan sebagian pengamat, menjadi alat legitimasi sekaligus perlindungan bagi proyek ekspansi Iran di kawasan. Dengan kekuatan nuklir, Iran merasa akan memiliki tameng di tengah ekspansi ideologisnya di Timur Tengah.
Dalam konflik ini, kita harus hati-hati membedakan antara sentimen keagamaan dan motif politik-strategis. ‘Israel’ tidak menyerang Iran karena kebenciannya pada Syiah. Sebaliknya, Iran pun tidak mengembangkan nuklir semata-mata untuk menghabisi ‘Israel’.
Misi Iran adalah kedaulatan energi sebagai instrumen kekuasaan dalam proyek hegemoni ideologisnya di Timur Tengah. Jika memang Iran punya tekad menghabisi ‘Israel’, mereka seharusnya sudah men-Suriah-kan ‘Israel’ dengan meluluhlantakkan wilayah itu sebagaimana mereka lakukan di Damaskus, Idlib, Aleppo, Dara’a, Homs, dan Hamma. Tapi kemana kekuatan Iran?
Perlu dicatat penindasan yang dialami komunitas Sunni di sejumlah wilayah oleh kelompok-kelompok Iran menjadi wajah di Timur Tengah hingga saat ini. Dan tidak ada langkah dari ‘Israel’ selama ini untuk mengcounter penindasan Syiah terhadap Sunni di Timur Tengah.
Kita patut mengecam semua bentuk kekerasan terhadap warga sipil, siapapun pelakunya. Namun dalam memahami dinamika konflik ini, perlu perspektif yang lebih luas dari sekadar narasi ideologis.
Realitasnya, konflik ‘Israel’-Iran adalah pertarungan antara strategi keamanan dan ambisi regional, bukan sekadar soal iman atau doktrin.
Kita pun juga dihadapkan secara timbang bahwa banyak jenderal-jenderal Iran yang tewas dalam serangan ‘Israel’. Berbalik dari serangan Iran ke ‘Israel’ yang tidak mematikan para petinggi militer secara luas.
Menurut Reuters, setidaknya ada 20 jenderal-jenderal Iran yang tewas. Termasuk Panglima Tertinggi Iran Mayor Jenderal Hossein Salami. Kepala Staf Angkatan Bersenjata Iran dan pejabat militer tertinggi kedua setelah Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei.
Lalu Brigadir Jenderal Amir Ali Hajizadeh, Komandan Pasukan Dirgantara IRGC, yang dikenal berperan dalam program rudal balistik Iran. Jenderal Gholamali Rashid, Wakil Panglima Angkatan Bersenjata, berperan dalam strategi pertahanan nasional dan hubungan militer Iran.
Mereka tidak mungkin tewas tanpa laporan dari intel-intel Mossad yang sudah ditanam di tubuh pejabat-pejabat militer Iran. Sebab sejatinya banyak pejabat militer Iran yang mudah tergiur dengan uang.
Tak hanya militer, serangan ‘Israel’ juga banyak menewaskan deretan para ilmuwan nuklir Iran, antara lain Fereydoun Abbasi, Mantan Kepala Organisasi Energi Atom Iran (AEOI). Ia memegang gelar doktor fisika nuklir dan berperan penting dalam pengayaan uranium.
Mohammad Mehdi Tehranji, yang merupakan Rektor Universitas Azad Islam. Sebelumnya ia menjabat sebagai rektor Universitas Shahid Beheshti di Teheran dan dikenal sebagai akademisi bidang fisika.
Lalu Abdolhamid Minouchehr yaitu Dekan Fakultas Teknik Nuklir di Universitas Shahid Beheshti. Ia juga peneliti terkemuka dalam efisiensi dan keamanan reaktor nuklir.
Ahmad Reza Zolfaghari, Profesor teknik nuklir di Universitas Shahid Beheshti. Selanjutnya, Amir Hossein Faghihi, Anggota Fakultas Teknik di Universitas Shahid Beheshti. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Presiden AEOI dan Kepala Lembaga Penelitian Ilmu dan Teknologi Nuklir.
Mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad yang menjabat pada 2005 hingga 2013, pernah mengatakan bahwa dia meyakini dinas intelijen negaranya mungkin telah disusupi oleh agen ‘Israel’ dari level tertinggi, dengan informasi rahasia yang disampaikan kepada ‘Israel’.
Ini termasuk sebuah unit intelijen yang didedikasikan untuk membasmi mata-mata ‘Israel’ di Iran, menyusul serangkaian serangan terhadap ilmuwan nuklir dan fasilitas-fasilitas terkait.
Menurutnya, ‘Israel’ mengorganisir operasi yang sangat compleks di dalam Iran. Mereka bisa dengan cepat mendapatkan informasi.
Ahmadinejad mengklaim bahwa ada 20 aset intelijen ‘Israel’ lainnya yang menyusup ke dalam pasukan, memberikan informasi tentang program nuklir Iran.
Krisis internal Iran dan solidaritas yang melemah
Meski pemerintah Iran menekankan kesiapan dan keteguhan dalam menghadapi ancaman eksternal, sejumlah pengamat menyoroti lemahnya solidaritas nasional di Iran.
Mojtaba Najafi, analis politik, mengatakan bahwa perpecahan internal dan represi terhadap suara masyarakat telah melemahkan daya tahan Iran di dalam negeri.
“Salah satu alasan mengapa ‘Israel’ berani menyerang adalah karena krisis internal Iran. Ketika makna kebangsaan melemah, musuh tidak lagi merasa gentar,” kata Najafi seperti dikutip Middle East Eye (MEE).
Aktivis Iran juga mempertanyakan gaya hidup para komandan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) yang tewas dalam serangan, karena tinggal di apartemen mewah di kawasan elit Teheran.
Aktivis politik Hafez Fazeli menulis, “Gambar-gambar serangan ‘Israel’ menunjukkan hal menarik: yang disebut ‘kaum tertindas’ ternyata tinggal di penthouse. Sepertinya, kita keliru memahami arti ‘tertindas’.”
Membaca Peta dengan Tepat
Pendiri National Iranian American Council (NIAC), sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada hubungan AS-Iran, yang juga dikenal sebagai pakar hubungan Iran-AS dan geopolitik Timur Tengah Trita Parsia, melihat konflik ini lebih didorong oleh persaingan geopolitik, di mana isu nuklir digunakan sebagai alat legitimasi oleh kedua pihak.
Menurut Ali Alfoneh, Senior Fellow di Arab Gulf States Institute; “Iran memiliki sedikit sekali keuntungan dari konflik langsung dengan Amerika Serikat, jadi kegiatannya lebih banyak dilakukan melalui proxy wars untuk mengubah keseimbangan regional.” (arabnews.com).
Hal ini ditegaskan juga dalam Geopolitical Monitor, bahwa Iran mengandalkan kelompok seperti Hizbullah (Syiah) dan Hamas (Sunni) sebagai garis pertahanan eksternal—suatu strategi yang berkali-kali terbukti efektif dalam perang proxy ini.
Meski konflik antara Iran dan ‘Israel’ tidak ada kaitannya pembalasan genosida pada Gaza –apalagi sampai membebaskan Palestina— setidaknya, situasi ini menurut pengamat, sebaiknya dimanfaatkan Dunia Arab mendukung Iran.
“Negara-negara Arab dapat menggunakan kesempatan ini untuk memajukan negosiasi langsung dengan Iran… Dengan menahan provokasi ‘Israel’ melalui tekanan diplomatik akan membantu mencegah eskalasi perang proksi… memungkinkan negara-negara Arab untuk mengalihkan sumber daya dari pengeluaran militer ke pembangunan,” kata pakar Peter Rodgers, seorang ahli strategi pertahanan dan keamanan internasional, khususnya dalam bidang proliferasi senjata nuklir, kebijakan pertahanan Australia, dan stabilitas kawasan Indo-Pasifik di Modern Diplomacy.
Seharusnya, kata pakar Peter Rodgers, “Negara-negara Arab bisa memanfaatkan situasi ini untuk mendorong negosiasi langsung dengan Iran… Melalui tekanan diplomatik terhadap ‘Israel’ mereka dapat mencegah eskalasi perang proksi…” (Modern Diplomacy).
Sayangnya, situasi ini tidak dimanfaatkan Negara Arab, dengan kata lain lebih memilih aman. Menurut AFP, UAE, Saudi, dan negara GCC lainnya bersikap hati-hati, memilih “melepaskan diri dari konflik” dan menjaga hubungan terbuka dengan Iran untuk mencegah serangan atau pemanfaatan wilayah mereka.
Seorangs senior Fellow di European Council on Foreign Relations (ECFR), lembaga pemikir (think tank) independen di Eropa yang fokus pada isu-isu kebijakan luar negeri, keamanan global, dan peran Eropa di dunia yang tak mau namanya disebutkan, menjelaskan kondisi pemimpin Arab saat ini;
“Mereka khawatir akan menjadi target langsung dalam silang-sengkarut… Cara terbaik menghindari itu adalah dengan menjadikan diri mereka sebagai interlokutor (pihak yang terlibat dalam dialog dengan kedua belah pihak) dinilai berguna bagi kedua pihak, khususnya Iran,” ujarnya pada Reuters, pada Senin, 16 Juni 2025.
Uraian ini menunjukkan begitulah kondisi pemimpin Negara Teluk (GCC) –Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, Kuwait, Bahrain— saat ini, termasuk Oman dan Mesir yang cenderung memilih menghindari konfrontasi, dan seolah netral meski saudara terdekatnya di Gaza sedang menderita.*
Penulis pemerhari masalah konflik Iran vs ‘‘Israel’’