Oleh: Ahmad Kholili Hasib
DI ZAMAN teknologi yang semakin canggih, khususnya teknologi informasi, memudahkan manusia mengakses info, berita dan ilmu pengetahuan. Saat ini, setiap individu tidak sulit mencari tahu apa saja dengan cepat melalui internet. Di satu sisi, modernisasi teknologi informasi membantu manusia menyelesaikan pekerjaanya dengan efisien. Tetapi di sisi lain, menusia mencari apa saja tanpa batas, baik pengetahuan yang benar maupun pengetahuan yang keliru bisa membahayakan.
Ada gejala umum di masyarakat modern saat ini, mencari tahu pengetahuan agama melalui internet, tanpa melalui guru. Peran guru dimarginalkan, bahkan dinafikan. Bertanya hukum kepada google bukan kepada Syaikh. Bagaimana mungkin bisa memastikan mana hukum yang tepat dan hukum yang keliru tanpa petunjuk dan bimbingan seorang guru.
Teknologi informasi dan media sosial yang mengakses info secara cepat itu, mencipta manusia-manusia yang malas. Mereka mencukupkan diri belajar agama melalui internet, majalah dan selebaran-selebaran terbatas. Keyakinan bahwa internet menggantikan guru mulai menggejala pada masa ini.
Baru-baru ini, cukup banyak gejala seseorang yang memiliki riwayat dunia akademik yang bagus, begitu mudahnya mengikuti aliran keagamaan yang menyimpang. Ajaran-ajaran keagamaan yang aneh pun tidak membuat mereka berpikir kritis dan cerdas. Padahal dengan tingkat pendidikan tinggi yang baik, keanehan sebuah aliran semestinya difilter dengan baik. Menjamurnya pengikut aliran sesat dari orang terpelajar, disebabkan salah satunya karena salah memilih guru.
Padahal dalam Islam, mencari ilmu dan guru itu harus hati-hati. Ibnu Sirin meriwatkan: “Sesungguhnya ilmu -agama- ini adalah agama, maka hati-hatilah kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian.” (HR Muslim).
Hadis tersebut memberi peringatakan agar dalam menimba ilmu agama harus memiliki sanad (transmisi) dari guru agama yang kompeten. Sanad inilah yang menjaga ilmu dan agama. Karena itu Ibnu Mubarak mengatakan: “Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata -tentang urusan agama- apapun sesuai yang ia inginkan”.
Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.
Belajar kepada guru yang memiliki sanad yang terhubung dengan para ulama terdahulu merupakan salah satu jalan mengamankan belajar kita. Guru lah yang akan menerangkan maksud satu ayat atau hadis, sesuai dengan penjelasan para ulama terdahulu. Kita hari ini tidak pernah bertatap muka dengan Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Imam al-Ghazali dan lain-lainnya. Akan tetapi, dengan sanad itu, kita bisa mengetahui penjelasan-penjelasan para imam teresebut terhadap satu masalah melalui guru. Jika ada pemahaman kita yang tidak tepat terhadap suatu pendapat imam, maka gurulah yang akan meluruskan.
Ketika kita belajar kepada guru, maka kita mengamanahkan suatu amanah yang cukup besar kepada guru itu. Allah Swt memerintahkan untuk menyerahkan amanah kepada ahlinya (QS. Al-Nisa:58 ). Para ulama dahulu mengajarkan, sebelum talaqqi kepada seorang guru, diteliti dahulu kredibilitas, otoritas dan kualitasnya.* [BERSAMBUNG]
Penulis adalah peneliti InPAS Surabaya