Hermeneutika hanya akan mementahkan kembali akidah kaum Muslimin yang berpegang bahwa Al-Quran adalah Kalam Allah
Sambungan artikel Kedua
Oleh: Dr. Ugi Suharto
Hidayatullah.com | DI DALAM Al-Quran ada ayat-ayat yang muhkamat, ada usul ajaran Islam, ada hal-hal yang bersifat tsabit, semua ayatnya adalah qat’iyy al-tsubut / al-wurud, dan bahagian-bahagiannya ada yang menunjukkan qat’iyy al-dilalah, ada perkara-perkara yang termasuk dalam al-ma’lum min al-din bi al-darurah, ada sesuatu yang ijma’ mengenai Al-Quran dan ada yang difahami sebagai Al-Quran yang disampaikan dengan jalan mutawatir, yang semuanya itu dapat difahami dan dimengerti oleh kaum Muslimin dengan derajat yakin bahwasannya itu adalah ajaran Al-Quran yang dikehendaki oleh Allah.
Apabila filsafat hermeneutika digunakan kepada Al-Quran maka yang muhkamat akan menjadi mutasyabihat, yang usul menjadi furu’, yang thawabit menjadi mutaghayyirat, yang qat’iyy menjadi zanniyy, yang ma’lum menjadi majhul, yang ijma’ menjadi ikhtilaf, yang mutawatir menjadi ahad, dan yang yaqin akan menjadi zann, bahkan syakk. Alasannya sederhana saja, yaitu filsafat hermeneutika tidak membuat pengecualian terhadap hal-hal yang axiomatic di atas.
Dalam posisi yang lebih ekstrim, filsafat hermeneutika telah memasuki dataran epistemologis yang berakhir pada pemahaman sophist yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam (Islamic weltanschauung). Filsafat hermeneutika berujung pada kesimpulan universal bahwa “all understanding is interpretation” dan karena interpretatsi itu tergantung kepada orangnya, maka hasil pemahaman (understanding, verstehen) itu pun menjadi subjektif.
Dengan perkataan lain, tidak ada orang yang dapat memahami apa pun dengan secara objektif.
Aqidah al-Nasafi, misalnya, pada paragraf pertamanya menyatakan: haqa’iq al-asya’ thabitatun wa al-‘ilmu biha mutahhaqqiqun, khilafan li al-sufata’iyyah (semua hakikat segala perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan akan dia [adalah yang] sebenarnya, bersalahan dengan [pendapat] kaum sufasta’iyyah).
Salah satu golongan sufasta’iyyah (sophist) itu adalah golongan ‘indiyyah (epistemological subjectivist) yang menganut faham bahwa tidak ada kebenaran objektif dalam ilmu; semua ilmu adalah subjektif; dan kebenaran mengenai sesuatu hanyalah semata-mata pendapat seseorang.
Jika semua ini dikaitkan dengan kajian Al-Quran maka akibatnya tidak ada kaum Muslimin yang mempunyai pemahaman yang sama mengenai Al-Quran karena semua pemahaman itu tergantung pada interpretasi masing-masing. Tentu kaum Muslimin tidak bermaksud begitu apabila manafsir atau mena’wil Al-Quran .
Surat al-Ikhlas dalam Al-Quran misalnya, dapat difahami dengan mudah oleh kaum Muslimin bahwa Allah itu Esa, Allah tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada yang setanding dengan Dia. Walaupun terdapat perbedaan pendalaman pemahaman mengenai tauhid antara orang awam dan ulama, namun tidak ada seorang Muslim-pun yang mengatakan Allah itu satu di antara yang tiga atau tiga di antara yang satu.
Seorang Muslim awam yang memahami keesaan Allah dengan “mathematical oneness” tidak keluar dari akidah Islam yang benar, walaupun kurang halus pemahamannya. Untuk memperhalusnya, Muslim tidak perlu pada hermeneutika.
Sebaliknya, konsep trinity itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya, karena pada tataran lafaz yang zahir sekalipun, trinity itu memang susah difahami.
Sebagai kesimpulan, hermeneutika itu berbeda dengan tafsir atau pun ta’wil dalam tradisi Islam. Hermeneutika tidak sesuai untuk kajian Al-Quran baik dalam arti teologis atau filosofis.
Dalam arti teologis, hermeneutika akan berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang zahir dari Al-Quran dan menganggapnya sebagai problematik. Diantara kesan hermeneutika teologis in adalah adanya keragu-raguan terhadap Mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, sebagai “textus receptus.”
Keinginan Muhammad Arkoun, misalnya, untuk men-“deconstruct” Mushaf Utsmani, adalah pengaruh dari hermeneutika teologis ini, selain dari pengaruh Jacques Derrida. Dalam artinya yang filosofis, hermeneutika akan mementahkan kembali akidah kaum Muslimin yang berpegang bahwa Al-Quran adalah Kalam Allah.
Pendapat almarhum Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Al-Quran adalah “both the Word of God and the word of Muhammad” adalah kesan dari hermeneutika filosofis ini. Semua itu tidak menguntungkan kaum Muslimin, dan hanya menurunkan derajat validitas Al-Quran seolah-olah sama dengan kitab yang lain.
Sebenarnya memang ada kemungkinannya orang Kristen semakin maju dengan hermeneutika, tetapi kaum Muslimin hampir pasti akan mundur ke belakang dengan hermeneutika itu. Sepertimana bahasa Arab telah menjadi standar bahasa Hebrew dan bahasa-bahasa Semit yang lain, maka Al-Quran semestinya juga menjadi benchmark bagi kitab suci yang lain, karena Al-Quran adalah kitab suci yang terakhir dan yang authentic di antara kitab-kitab yang lain.
Dengan perkataan lain, kajian Al-Quran terutamanya mengenai penafsirannya, tidak memerlukan hermeneutika. Kita khawatir akhir-akhir ini kita begitu bergairah mengimpor istilah hermeneutika untuk kajian Al-Quran tanpa menyelidiki dahulu latar belakang istilah itu sendiri yang mempunyai muatan pandangan hidup berlainan dengan pandangan hidup Islam.
Sebenarnya jika akan digunakan bahasa asing juga, maka istilah exegesis atau pun commentary yang selama ini digunakan sudah cukup memadai untuk Al-Quran. Kenapa kini exegesis atau commentary mesti ditukar dengan hermeneutics?
Saya akan mengakhiri makalah ini dengan satu peringatan dari hadis Rasulullah ﷺ. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda;
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
Yang artinya: “Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekali pun kamu akan mengikutinya juga. Kemudian Rasulullah ﷺ ditanya: “Apakah mereka [yang diikuti] itu kaum Yahudi dan Nasara?” Rasulullah menjawab: “Siapa lagi [kalau bukan mereka].” (HR: Bukhari & Muslim, juga diriwayatkan Ibnu Majah, Ahmad). wallahu a’lam bi al-sawab.* (habis)
Penulis buku “Nafi, Isbat dan Kalam” (Bunga Rampai Postulat Pemikiran Islam), Penerbit: PIMPIN dan Bentala, Peneliti INSISTS