Hidayatullah.com– Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh resmi menahan dua tersangka dalam kasus jarimah liwath atau hubungan sesama jenis, yang melibatkan pria berinisial QH (23) dan RA (21). Keduanya ditahan pada Rabu, 18 Juni 2025, setelah sebelumnya diamankan oleh personel Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH) Kota Banda Aceh pada 17 April 2025 lalu.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Banda Aceh, M. Rizky Julianda, dalam keterangannya kepada media menyebutkan bahwa penahanan terhadap kedua tersangka dilakukan setelah jaksa penuntut umum menyatakan berkas perkara mereka lengkap atau P-21. Proses hukum selanjutnya kini tengah memasuki tahap penuntutan.
“Keduanya dititipkan di Rumah Tahanan Kelas II B Banda Aceh untuk menjalani masa penahanan selama 20 hari ke depan, guna memperlancar proses persidangan,” ujar Rizky, Rabu (18/6/2025).
Kejari menyatakan, QH dan RA akan dijerat dengan Pasal 63 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, yang mengatur mengenai larangan dan sanksi terhadap perbuatan liwath. Dalam qanun tersebut, pelaku liwath diancam dengan hukuman cambuk di hadapan publik, maksimal 100 kali, atau hukuman penjara paling lama 100 bulan.
Kronologi Penangkapan
Kedua tersangka ditangkap oleh petugas WH dan Satpol PP saat sedang berduaan di dalam sebuah rumah indekos di wilayah Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Penangkapan dilakukan atas laporan warga yang curiga dengan aktivitas mereka yang dianggap menyimpang dan mencurigakan.
Saat diamankan, petugas menemukan bukti-bukti yang diduga kuat mengarah pada perbuatan liwath, termasuk pengakuan dari kedua tersangka yang mengakui telah melakukan hubungan seksual sesama jenis sebanyak lebih dari satu kali. Mereka juga sempat menjalani pemeriksaan psikologis dan kesehatan sebagai bagian dari prosedur penyidikan.
Menurut penyidik WH, QH dan RA merupakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Banda Aceh. Kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat dan menjadi peringatan serius terkait perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam yang berlaku di Aceh.
Proses Persidangan
Pihak Kejaksaan memastikan bahwa proses persidangan akan dilakukan secara terbuka sesuai ketentuan hukum yang berlaku, namun tetap menjaga martabat dan hak asasi para terdakwa.
Kejari Banda Aceh menegaskan komitmennya untuk menegakkan hukum syariat di wilayah Aceh secara adil dan profesional.
“Kami akan menuntut hukuman maksimal sesuai dengan ketentuan qanun, mengingat perbuatan mereka termasuk dalam jarimah hudud yang menjadi prioritas penegakan syariat di Aceh,” tegas Rizky.
Reaksi Masyarakat
Kasus ini memicu berbagai tanggapan dari masyarakat Aceh. Sejumlah tokoh ulama dan pemuda menyuarakan dukungan atas langkah WH dan Kejari Banda Aceh dalam menangani kasus ini secara tegas dan sesuai hukum syariat. Mereka berharap penegakan hukum ini bisa menjadi efek jera dan pelajaran bagi masyarakat.
Sementara itu, beberapa kalangan menyerukan agar penanganan kasus serupa tetap memperhatikan aspek pembinaan, khususnya bagi pelaku yang masih tergolong muda. Pendekatan hukum, menurut mereka, perlu diimbangi dengan edukasi dan dukungan psikologis agar pelaku tidak kembali mengulangi perbuatannya.
Penegakan Syariat di Aceh
Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum syariat Islam melalui Qanun Jinayat. Sejak diundangkannya Qanun Nomor 6 Tahun 2014, berbagai pelanggaran syariat seperti zina, khamar, maisir, dan liwath dikenai sanksi hukum berupa cambuk, denda, atau kurungan.
Kasus QH dan RA menambah deretan perkara liwath yang ditindak secara hukum di Aceh dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah daerah menegaskan akan terus memperkuat pengawasan dan penegakan hukum syariat sebagai bagian dari identitas dan amanah otonomi khusus Aceh.*