Hidayatullah.com— Sejumlah tokoh Muslim di Eropa menjadi sorotan karena pandangan mereka yang dinilai menyimpang dari arus utama umat Islam, mulai dari dukungan terhadap sekularisme ekstrem hingga sikap terbuka terhadap ‘Israel’.
Tiga tokoh yang paling kontroversial adalah Hassen Chalghoumi dari Prancis, Noor Dahri dari Inggris, dan Ali El-Darja, aktivis Muslim Maroko–Italia dari Turin.
Hassen Chalghoumi, yang dikenal sebagai Imam Masjid Drancy di pinggiran Paris, menjadi salah satu figur paling kontroversial di Prancis. Ia secara terbuka mendukung pelarangan simbol-simbol keagamaan di ruang publik, termasuk larangan cadar dan jilbab di sekolah negeri.
“Saya mendukung laïcité (sekularisme ala Prancis) karena itu menjamin perdamaian sosial. Agama harus jadi urusan privat,” ujar Chalghoumi dalam wawancara dengan France 24 (26 Januari 2023).
Dalam sebuah pernyataan di media, ia secara tegas menolak niqab/burqa. Pada 22 Januari 2010, ia mendukung larangan niqab di Prancis, menyatakan kepada Le Parisien:
“Ya, saya mendukung pelarangan burqa, yang tidak punya tempat di Prancis, sebuah negara di mana perempuan telah memilih sejak 1945.”
Dalam wawancara sama, ia menyebut: “Burqa adalah penjara bagi perempuan, alat dominasi gender dan indoktrinasi Islamis,” katanya kepada Reuters.
Di media MEMRI (riset 14,5 tahun lalu, sekitar Januari 2011), ia mendesak agar umat Islam menghindari ekstremisme—niqab disebut sebagai bagian dari simbol identitas ekstremis—walau konteks lengkap membutuhkan akses lebih lanjut.
Chalghoumi juga kerap hadir dalam acara komunitas Yahudi dan menyuarakan dukungan kepada ‘Israel’. Dalam pidato di peringatan pembebasan Auschwitz, ia menyatakan, “Muslim sejati harus melawan anti-Semitisme, dan itu artinya juga berdiri bersama Yahudi di saat mereka diserang.” (Le Monde, 29 Januari 2022).
Dalam sebuah aksi protes antisemitisme di Prancis Juni 2024, Chalghoumi bahkan menuduh ideologis Hamas dengan pelaku kekerasan seksual.
“Tidak ada perbedaan antara ideologi Hamas dan mereka yang melakukan pemerkosaan,” ujarnya dikutip laman einpresswire.com.
“Para pemerkosa dan teroris Hamas berbagi pendidikan yang sama, kebencian yang sama, ” tambahnya.
Namun, banyak komunitas Muslim Prancis mengecamnya. Ia dijuluki sebagai “imam pemerintah” (Imam Plat Merah) karena dinilai terlalu tunduk pada kebijakan negara yang diskriminatif terhadap umat Islam.
“Dia tidak mewakili suara umat Islam di Prancis. Dia dipakai negara untuk melegitimasi kebijakan anti-Muslim,” kata Yasser Louati, aktivis HAM dan Direktur Justice & Liberties For All Committee (JLAC), dikutip dari Al Jazeera, 11 Februari 2021.
Sementara itu, di Inggris, Noor Dahri, pendiri Islamic Theology of Counter-Terrorism (ITCT), mengklaim dirinya sebagai Muslim Zionis. Ia secara terbuka menyatakan dukungan kepada ‘Israel’ dan menolak gerakan perlawanan dan pejuang Palestina seperti Hamas.
Dalam sebuah wawancara, Dahri menggambarkan dukungannya terang-terangan pada penjajah ‘Israel’.
“Saya mendukung hak ‘Israel’ untuk eksis… Saya membela IDF… setiap Muslim… harus mendukung ‘Israel’, orang Yahudi, dan ‘Israel’,” kutip laman ‘Israel’unwired.com.
Ia bahkan bangga menyebut dirinya seorang Muslim-Zionis. “Saya Muslim, tapi saya juga Zionis. Saya percaya Yahudi berhak atas tanah ‘Israel’,” tulis Dahri dalam kolomnya di The Times of Israel, 10 Oktober 2020.
Dahri juga mengecam keras gerakan Islam politik seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut-Tahrir, dan menyebutnya sebagai “akar radikalisasi.” Ia menganggap sebagian besar masjid di Inggris terlalu “lembek” dalam mengecam ekstremisme.
Namun, tokoh-tokoh Muslim Inggris mempertanyakan latar belakang keilmuannya. “Dia bukan seorang ulama. Dia lebih sering bicara seperti agen kontra-intelijen daripada seorang aktivis dakwah,” ujar Dr. Salman Sayyid, profesor kajian Islam di University of Leeds, dikutip oleh Middle East Eye, 5 Mei 2022.
Sementara itu, Ali El-Darja, tokoh keturunan Maroko yang aktif di Turin, Italia, juga menjadi perbincangan karena dukungannya terhadap pelarangan simbol agama Islam di ruang publik Italia.
Dalam wawancara dengan La Repubblica , 17 Desember 2021, ia menyatakan, “Islam bisa hidup damai di Italia jika kita melepaskan simbol-simbol yang membuat orang takut.”
Ia mendukung penuh kerja sama antara komunitas Muslim dan aparat keamanan, serta menolak ide penerapan hukum Islam dalam masyarakat Eropa.
“Syariah bukan untuk negara. Islam tidak butuh negara. Cukup jadi Muslim yang taat di rumah,” ujarnya dalam diskusi publik yang disiarkan oleh RAI News, 21 November 2022.
Namun, banyak komunitas Muslim Italia menilai El-Darja sebagai figur yang lebih mewakili kepentingan integrasi negara ketimbang umat.
“Ali tidak mewakili kami. Dia mengabaikan perjuangan Muslim yang menghadapi diskriminasi struktural,” kata Abdellah Touhami, juru bicara Asosiasi Masjid Torino, dalam wawancara dengan Il Fatto Quotidiano, 28 November 2023.
Ketiga tokoh tersebut sering diundang oleh media dan pemerintah Eropa sebagai representasi “Islam moderat”. Namun, bagi sebagian besar umat Islam di Eropa, mereka lebih mencerminkan Islam liberal ala negara, bukan suara mayoritas Muslim yang menginginkan kehidupan beragama yang bebas dari tekanan negara.
Ad-dahru dūlāb, wa fī dawratihi yazhar al-jabān wa al-khā’in, perfidus sub pallio.” (Zaman itu seperti roda; dalam putarannya akan tampak pengecut dan pengkhianat—musuh dalam selimut).*