Meski sejarah masuknya Islam di Mentawai belum bisa dibuktikan secara tertulis, Islam kini terus menggeliat, setelah masuknya dakwah
Hidayatullah.com | RAMADHAN 2006. Malam belum terlalu larut. Hakim Sanagiri sedang tadarusan bersama para remaja. Tiba-tiba berdiri seorang laki-laki di halaman masjid. Sambil memegang kayu dia menghardik, “Hentikan! Mengganggu orang tidur saja!”
Tadarusan pun berhenti. Para remaja tampak ketakutan. Hakim bertindak cepat. Dengan memohon perlindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia songsong lelaki bertubuh kekar itu.
“Pak, tidak ada maksud untuk mengusik ketenangan para tetangga yang tidak seiman. Kami hanya menjalankan ibadah kami, tolong pengertiannya,” Hakim mencoba memberi pengertian.
Sayang, lelaki yang memang non-Muslim itu tak mau mengerti. Dia tetap minta tadarus dihentikan. Hakim mulai kehilangan kesabaran.
“Maaf, Pak. Kalau harus berhenti, tidak bisa. Lagipula ini kan baru jam sembilan malam. Tapi kalau mengecilkan volume pengeras suara, bisa kami lakukan. Selajutnya, ya terserah Bapak,” kata Hakim.
Kalimat terakhirnya itu seakan mengisyaratkan Hakim siap menerima risiko apapun. Termasuk bila lelaki itu nekad melakukan kekerasan.
Di luar dugaan, pria itu berbalik arah meninggalkan masjid. Selamatlah malam itu.
Kejadian itu dilaporkan ke takmir masjid. Tahulah Hakim bahwa kejadian itu bukanlah yang pertama. Sebelumnya bahkan pernah diancam dengan parang segala, sehingga tadarusan terpaksa dihentikan.
Hakim tak ingin memperpanjang masalah. Ia hanya mengajak takmir masjid untuk memberi pengertian kepada para tetangga masjid yang non-Muslim, dengan cara kekeluargaan. “Alhamdulillah, dengan cara itu akhirnya tadarusan berjalan lancar setiap malam,” kenang Hakim.
Begitulah pengalaman menegangkan pertama Hakim sejak bertugas di Siberut, sebuah pulau terpencil di Kepulauan Mentawai. Ia berdakwah di sini atas penugasan dari Pesantren Hidayatullah Mentawai.
Berdakwah di Siberut memang tidak gampang. Selain umat Islamnya minoritas, juga berhadapan dengan keadaan alam.
Jarak Siberut dengan Tanah Tepi (daratan Sumatera) sekitar 100 kilometer. Jalan-jalan yang menghubungkan antar desa berupa jalan tanah. Alat transportasi utama hanya perahu motor. Biayanya mahal, sekali jalan ongkosnya Rp 200 – Rp 300 ribu. Itupun dengan catatan, air laut lagi pasang (naik). Pada masim kemarau, transpotasi sungai ke pedalamam Siberut nyaris lumpuh total, karena airnya amat dangkal.
Bila berhubungan dunia luar, misalnya ke ibukota Kabupatetn Mentawai, Tuapeijat di Pulau Sipora, juga cuma bisa menggunakan kapal laut. Itu pun harus lebih dulu ke Padang (pelabuhan Muara). Soalnya, belum ada kapal penumpang dengan trayek langsung Siberut-Tuapeijat.
Susahnya, kapal ke Padang hanya ada dua kali seminggu pada Kamis dan Ahad. Itu pun, lagi-lagi, sangat tergantung pada kondisi cuaca. Bila cuaca buruk (gelombang besar), bisa berminggu-minggu Siberut terputus dari dunia luar. Akibatnya, yang terbiasa makan nasi bisa kelaparan karena pasokan beras tak kunjung tiba. Hakim pernah mengalam hal itu.
Nasi Basi
Awalnya, ketika hendak ditugaskan ke Siberut, Hakim sempat dihinggapi perasaan ragu. “Apakah saya mampu mengemban amanah ini? Mengingat, daerah yang dihadapi mayoritas non-Muslim. Apalagi, ilmu saya masih jauh dari cukup,” begitu kebimbangan yang menelusup ke pikiran.
Syukurnya, Hakim bisa segera menepis keraguan itu. “Dengan Bismillah, saya tancapkan tekad untuk berangkat juga. Seberapa berat pun tantangan menghadang akan saya hadapi. Inilah ‘jual-beli’-ku pada Allah. Untung atau rugi, terserah Allah saja,” tutur Hakim.
Tentu, Allah bakal menguji setiap hamba-Nya kelaparan, ketakutan, dan keguncangan. Dan ujian yang diberikan kepada Hakim, ternyata tidak ringan.
Saat itu, sudah dua minggu kapal tidak masuk dari Padang. Persediaan beras sudah habis. Celakanya, mau beli, uang juga sudah tidak ada.
Malamnya, Lastri Astuty, istri Hakim yang sedang hamil tua, tersentak. Perutnya terasa melilit. Bukan karena hendak melahirkan anak pertama. “Saya lapar sekali baja’ (uda),” tutur Lastri lirih.
Hakim bergegas ke dapur. Ternyata kantong beras sudah benar-benar rebah, tak ada lagi sedikit pun isinya. Untunglah di dalam lemari yang terbuat dari kotak kertas masih ada sepotong sagu bakar, lalu diberikan kepada istrinya. Tapi Lastri cepat-cepat menjelaskan bahwa sagu itu juga sudah dia makan pagi tadi. Namun tetap saja lapar.
“Rupanya lain dengan saya yang asli Mentawai, dari kecil sudah menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Bagi Lastri, yang namanya makan itu, ya makan nasi. Kalau sagu tetap saja tidak merasa kenyang,” jelas Hakim.
Melihat tubuh hamil berat yang kelaparan di malam pekat itu, terbersit niat untuk mengetuk pintu dan meminjam satu gelas beras pada tetangga di sebelah rumah. Tapi karena tetangga itu non-Muslim, rencana itu diurungkan.
“Bagaimana bila bertahan saja sampai pagi, Dik? Meminjam ke sebelah, tidak mungkin. Ini bukan soal lapar saja, tapi menyangkut marwah diri dan juga izzah Islam,” tutur Hakim.
Lastri maklum dengan maksud suaminya. Ia beranjak ke dekat tempat tidur, lalu dari bahwah ranjang kayu itu tangannya menarik piring plastik yang separonya berisi nasi. “Ini sisa nasi kemarin sore, Mas,” jelasnya.
Sebenarnya, sejak ditinggal ke masjid tadi, calon ibu ini sudah berencana memakannya, tapi takut terjadi apa-apa bila tanpa kehadiran suaminya. “Lapar sekali Mas, bagaimana kalau nasi basi ini saja saya makan?” tanya Lastri lirih.
Hakim tak kuasa mengucap sepatah kata. Apa boleh buat, melihat istri hamil berat yang kelaparan di malam buta, ia pun terpaksa mengizinkannya.
“Tapi sebelum nasi basi itu masuk ke mulutnya, saya berdoa. ‘Ya Allah yang menentukan, jangan jadikan nasi basi itu penyakit, tetapi jadikanlah sebagai vitamin bagi istri dan anakku yang dikandungnya.’”
Alhamdulillah, setelah menyantap nasi basi dan minum segelas air hangat, wanita berdarah Jawa itu merasa kenyang. Lebih dari itu, dia tidak sakit perut. Dan, Hanifah, bayi yang seminggu kemudian lahir dari rahim Lastri, ternyata tumbuh menjadi anak yang sehat.
Islam di Mentawai
Seperti kedua orangtuanya, awalnya ia pemeluk Nasrani. Setelah tamat SD dan memeluk Islam, ia berganti nama dengan Muhammad Hakim Sakarigi. Oleh almarhum Bakri Tasirebeb (tokoh Islam Mentawai), Hakim kemudian diboyong ke panti asuhan milik Bakri di Padang.
Beberapa waktu di panti asuhan, Bakri memberi pilihan kepada Hakim: terus sekolah, bekerja, atau memilih jalan dakwah dengan nyantri ke Pondok Pesantren Hidayatullah Sipora Mentawai, yang diasuh Ustadz Mustaqim Dalang (kini juga Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Mentawai).
“Saya akhirnya memilih yang terakhir. Soal rezeki, jodoh, dan masa depan, saya serahkan kepada kehendak Allah,” kata Hakim mantap.
Alhamdulillah, setelah beberapa tahun di Pesantren Hidayatullah, Hakim tak cuma mendapat ilmu, tetapi juga mendapatkan jodoh. Ya, Lastri Astuty itu.
Sebelum bertugas di Siberut, Hakim pernah ditugaskan melakukan safari Ramadhan ke pelosok Sipora, salah satu pulau di Mentawai. Itu terjadi beberapa saat setelah menikah. Ibaratnya, janur kenduri pernikahan belum lagi kering, ia sudah harus siap menjalankan tugas para nabi itu.
Selama bulan puasa, ia mengisi pengajian dari satu lagai (desa) ke lagai lainnya. Bila di satu desa pas hari Jum’at, ia pula yang menjadi khatib shalat Jum’at. Selesai dengan safari Ramadhan, tugas dakwah berikutnya sudah menunggu. Kali ini lebih berat, tak lain berdakwah di Siberut. Itulah yang dilakukan Hakim, hingga sekarang.
***
Meskipun umat Islam terbesar di dunia ada di Indonesia, keberadaan umat Islam di atas Bumi Sikerei-Mentawai tergolong minoritas. Umat Islam di Mentawai hanya sekitar lima persen.
Sejarah masuknya Islam di Mentawai belum bisa dibuktikan secara tertulis atau peninggalan benda kuno. Namun beberapa sumber (tokoh Islam) menjelaskan, bahwa Islam masuk ke Mentawai sekitar tahun 1800 terletak di Pasar Puat Pulau Pagai Utara.
Namun menurut catatan Buya Masoed Abidin, seorang tokoh Muslim Sumatera Barat dalam bukunya, “Islam Dalam Pelukan Muhtadin Mentawai” menuliskan, Mentawai sudah didiami oleh orang-orang Islam (Melayu) duaratus tahun lebih dahulu (1792, di Tunggul, Selat Sikakap, Pagai) menurut John Crisp ).
Padahal Misionaris Kristen/Protestan baru mengenal Mentawai tahun 1901 di bawah Pendeta August Lett dan rekannya A. Kramer dari Jerman. Pastor Katolik baru menjejakkan kaki di kepulauan ini tahun 1954 di bawah Pastor Aurelio Cannizzaro. Menurut Buya Masoed, bedanya, Misionaris Kristen masuk dengan Pendeta dan Pastor, sedang Islam masuk melalui orang-orang penganut Islam itu.
Kemudian Islam berkembang di Pulau Sipora tahun 1930. Jejak ini dilacak berdasarkan pengakuan warga pribumi Mentawai sejak tahun 80 an sudah di Mentawai bersama keluarga menganut ajaran Islam. Dalam perkembangannya, Islam di Mentawai sudah mulai maju. Hal ini dibuktikan adanya beberapa organisasi Islam dan sekolah berbasis pendidikan Islam.
Aktivitas gerakan dakwah Islam di Mentawai pun mulai menyebar ke seluruh pelosok Bumi Sikerei. Termasuk diantaranya adalah keberadaan Pondok Pesantren Hidayatullah yang sampai saat ini berjalan damai. Sedikitnya ada 80 santri belajar memahami Islam secara sempurna (kaffah) di sana. Dari 80 santri yang belajar Islam, sekitar 80 persen santri mualaf (mantan non Islam).
Mustaqim Dalang menjelaskan, ponpes Hidayatullah berdiri di Mentawai baru tahun 1996. Sejak kehadiran Ponpes menambah warna Islam di Bumi Sikerei, khususnya dunia pendidikan berbasis agama Islam. Sebab konsep berdirinya ponpes sebagai bentuk partisipasi membangun umat, baik mental spiritual maupun akidah secara khusus.
“Pusat Yayasan Hidayatullah ini ada di Kalimantan Timur dengan misi menyebarkan da’i untuk melakukan gerakan dakwah ke pelosok yang ada di Indonesia, khususnya daerah terpencil. Dalam hal ini, Mentawai termasuk daerah penyebaran da’i untuk menyampaikan dakwah di tengah-tengah kehidupan multi etnis,” jelas putra kelahiran NTT Kabupaten Alor ini.
“Kita berdakwah bukan mencari orang untuk masuk Islam, apalagi sampai memaksa kehendak orang lain. Kita hanya menyampaikan Islam melalui sikap dan prilaku sehari-hari sebagai seorang muslim yang sejati. Kalau pun ada orang Mentawai masuk Islam, itu karena kemauan mereka sendiri tanpa ada ajakan khusus secara terorganisir,” katanya.
Menariknya, Ponpes Hidayatullah 80 persen santrinya mualaf. Santri mualaf tersebut masuk Islam melalui pendidikan ponpes yang dihantar langsung oleh kedua orangtuanya. Kesaksian seorang santri mualaf masuk Islam disaksikan oleh orangtuanya, meskipun orangtua sendiri belum menganut ajaran Islam.
“Kami tidak pernah mencari siswa untuk masuk Islam dan sekolah di ponpes ini. Mereka para santri datang sendiri ke ponpes dari berbagai desa yang ada di Mentawai untuk menuntut Ilmu. Kemudian santri mualaf tersebut di asramakan untuk mendapatkan pembinaan akidah Islam. Kalau konflik tidak ada di tengah keluarga santri. Sebab kami tidak pernah mengajak anak orang masuk Islam, melainkan datang sendiri dan dihantar langsung oleh orang tuanya,” ujar Mustaqim yang juga Ketua Yayasan pesantren ini.
Memasuki bulan Ramadhan, beberapa santri senior disibukkan untuk mengisi ceramah di beberapa mushalla dan masjid yang ada di Mentawai. Umumnya para santri sudah siap pakai untuk terjun ke lapangan sebagai bentuk kegiatan ekstrakurikuler pelajaran di Ponpes Hidayatullah. Namun tidak semua para santri disibukkan untuk mengisi syafari Ramadhan yang ada di mushalla dan masjid di Tuapejat.
Mustaqim mengakui, masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam pengelolaan ponpes, terutama kesejahteraan para santri. Sebab selama ini biaya ponpes dikelola secara swadaya dan dibantu oleh pemda Mentawai serta beberapa lembaga swasta lainnya yang ada di Kota Padang.
Selain kehadiran pesantren Hidayatullah, organisasi Islam juga mengirimkan para dainya untuk mengembangkan dakwah Islam. Diantaranya adalah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Dewan Da’wah juga mengirim para dai-dai nya yang dikenal tangguh ikut menaklukkan dakwah di pedalaman Mentawai.
Meski Mentawai terdiri hanya empat kecamatan –Kec. Siberut Utara, Siberut Selatan, Sipora dan Kec. Pagai Utara Selatan– namun posisinya berjarak lebih kurang antara 90 hingga 120 mil laut dari pantai Padang. Tak ada hubungan transportasi langsung dari Pariaman (ibu kabupaten) ke gugusan kepulauan ini. Yang ada hanya hubungan kapal perintis atau kapal kayu (antar pulau) dari Muara (Padang) dan Bungus (Teluk Kabung) menuju keempat kecamatan ini. Itupun sampai sekarang (1996), belum ada hubungan rutin setiap hari. Baru terhitung dua atau tiga kali setiap minggunya.
Meski demikian, sarana transportasi ini sudah tergolong maju dibandingkan tiga dasawarsa yang lalu, dimana untuk mendatangi pulau-pulau tersebut hanya ada beberapa kali dalam sebulan. Sekolah, kantor pos, puskesmas, pasar dan kantor telephon sudah ada di sini. Listrik pun telah masuk meski hanya pada malam hari. Meski jalannya lebar-lebar, tidak ada kendaraan roda empat, kendaraan roda dua pun masih bisa dihitung dengan jari.
Masih terasa sulit untuk mendatangi satu kecamatan di Selatan dari kecamatan di utara kepulauan ini. Namun semarak Islam tetap terasa.Keberadan pesantren dan perkembangan umat Islam menjadikan suasana lain. Bulan Ramadhan kali ini juga membawa suasana tersendiri di bumi Mentawai. Setiap malam sayup-sayup terdengar suara tadarus al-Qur’an.*