Hidayatullah.com–Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat H. Amidhan menilai, eksaminasi publik oleh Komunitas Salihara terhadap keputusan Mahkamah Kosntitusi (MK) yang menolak peninjauan kembali UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama, terkesan kembali mau mengangkat isu lama.
“PNPS sudah final. Kalau mau dihapus tidak mungkin, kecuali ditingkatkan menjadi undang-undang. Justru seharusnya PNPS ini diperkuat,” kata Amidhan ditemui Hidayatullah.com di Universitas Indonesia, Kota Depok, Jawa Barat, Senin (1/11).
Amidhan mengatakan, pengagum kebebasan beragama dan berkeyakinan sengaja kembali mengangkat isu ini dengan blow up media mainstream.
Eksaminasi publik oleh Komunitas Salihara yang menganggap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pencabutan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, dinilai Amidhan sebagai sesuatu yang janggal dan terlampau berisiko.
Bila eksaminasi ini dibiarkan, menurut Amdihan, maka akan menimbulkan 2 masalah besar. Pertama, adanya eksaminasi ini akan membuat finalitas keputusan MK akan terancam dan negara menuju ketidakpastian hukum. Kedua, aliran sesat di Indonesia akan bertambah subur dan tak bisa dibendung.
“Dan yang paling membahayakan, Islam dan umat Islamlah yang paling dirugikan,” katanya.
SKB Tiga Menteri atau PNPS tersebut hanyalah kerangka atau format. Adapun substansinya, kata Amidhan, adalah adanya konsensus.
Di tempat terpisah, Partai Bulan Bintang (PBB) pun menyatakan hal senada. Sekretaris Jenderal PBB BM Wibowo, mengatakan, tak perlu alergi dengan Piagam Jakarta. Sebab naskah tersebut adalah produk para pejuang kemerdekaan dan tidak pernah dinyatakan terlarang hingga saat ini.
“Menurut saya, sebaiknya kita tidak merisikokan publik. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah final dan mengikat, bila menjadi kebiasaan putusannya dieksaminasi lagi, maka akan mengarahkan kepada (persepsi) ketidakpastian hukum yang menambah kerumitan,” ujar Wibowo.
Sebelum ini, Komunitas Salihara, yang banyak didominasi kalangan liberal, menganggap MK mendapat tekanan dan kepentingan politik mayoritas kaum (Muslim).
Komunitas Salihara lahir dari Komunitas Utan Kayu (KUK), komunitas yang dibentuk oleh sebagian pengasuh majalah Tempo. Di tempat ini pula ada Jaringan Islam Liberal (JIL). Di tempat ini, biasanya para intelektual muda mendiskusikan paham liberal di Indonesia.
Komunitas Salihara berdiri di atas sebidang tanah seluas sekitar 3.060 m2 di Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Terdiri atas tiga unit bangunan utama berisi Teater Salihara, Galeri Salihara, serta ruang perkantoran dan wisma. Teater Salihara sendiri bisa menampung hingga 252 penonton. Sebuah gedung teater model black box pertama di Indonesia. [ain/cha/hidayatullah.com]