Hidayatullah.com–Zonis Israel akhirnya mereaksi pembukaan permanen jalur penyeberangan Rafah untuk warga Gaza dengan mengancam akan memutus saluran listrik dan air untuk Gaza.
Kantor berita Fars melaporkan, media massa Israel mengutip Yisrael Katz, Menteri Keuangan Israel, menyebutkan bahwa Tel Aviv akan membalas pembukaan kembali jalur penyeberangan Rafah dengan memutus seluruh saluran air dan listrik untuk Jalur Gaza.
Dikatakannya, “Tel Aviv harus menggunakan kesempatan ini untuk memutuskan hubungannya secara total dengan Jalur Gaza dan kemudian pihak Mesir dapat memasukkan barang-barangnya ke Gaza.”
Pejabat tinggi Israel ini menekankan pentingnya pemutusan segala bentuk hubungan Israel dengan Jalur Gaza secepatnya dan penghentian suplai listrik, air, serta pengiriman bahan pangan. Menurutnya, Mesir harus terbebani oleh Jaur Gaza dan bertanggung jawab mencegah masuknya segala bentuk senjata ke wilayah itu.
Namun Jurubicara Hamas kemarin (28/5) meminta para pejabat tinggi Mesir untuk mengabaikan tekanan dari pihak asing dan Israel terkait pembebanan Jalur Gaza terhadap pemerintah Kairo.
“Ancaman tersebut kosong dan tidak bermakna. Gaza merupakan bagian dari Palestina dan karena itu, pembukaan jalur penyeberangan Rafah tidak bisa menghapus tanggung jawab Israel terhadap Gaza.”
Pasca Revolusi
Sebagaimana diketahui, pihak berwenang Mesir membuka secara permanen perbatasan Rafah yang terhubung dengan Jalur Gaza pada Sabtu, mengizinkan perlintasan bebas bagi pendatang untuk pertama kalinya dalam empat tahun ini.
Penyeberangan perbatasan akan dibuka pada pukul 09.00 – 17.00 waktu setempat (13.00 – 21.00 WIB) setiap hari kecuali Jumat dan hari raya nasional, berdasarkan laporan kantor berita nasional Mesir, MENA.
Pembukaan perbatasan itu sejalan dengan sejumlah upaya Mesir supaya mengakhiri perpecahan Palestina dan sepenuhnya menerapkan rekonsiliasi nasional Palestina.
Keputusan itu akan memungkinkan bagi warga Palestina untuk keluar masuk di wilayahnya secara bebas dan menetapkan pengecualian visa bagi perempuan untuk semua usia dan lelaki di bawah 18 atau di atas 40 tahun serta warga yang ingin belajar ke Mesir.
Kebijakan itu merupakan salah satu dari tren dan pendekatan baru dalam kebijakan luar negeri Mesir setelah pemerintah Husni Mubarak lengser.*