Hidayatullah.com–IMAM Akbar tidak pernah bermimpi jika suatu saat dia akan datang ke pulau Nias, apalagi menjadi juru dakwah yang pasti merupakan beban berat. Namun takdir membuatnya menjadi seorang ustad dan da’I yang akan tugas di kepulauan Nias, pulau yang penduduk Muslim nya tidak sampai 10% dari total jumlah penduduk.
Awalnya, tahun 2005, kepulauan Nias di hantam gempa yang merusakan sebagian besar bangunan yang ada. Setahun kemudian, Imam Akbar berangkat ke Nias, tepatnya setelah lulus dari Ma’had Al Imarat Bandung (tahun 2006). Ia langsung dapat tugas dari AMCF ke Pulau Nias. Saat itu, misinya adalah rehabilitas moral dan berdakwah agar masyarakat Muslim nias dapat memahami Islam secara utuh.
Perjalanan ke Pulau Nias kala itu menggunakan kapal ASDP dengan perjalan 12 Jam lamanya. Yang ada di bayangan Imam Akbar, Pulau Nias masih tertinggal dari tempat-tempat lainnya masih primitif. Nanum begitu turun di pelabuhan Gunungsitoli, Imam kaget, ternyata masyarakatnya sudah maju.
“Ternyata sudah pakai baju semua, hehe.”
Begitu sampai di Nias, Imam langsung dibawah ke desa Sifahandro (sekarang sudah masuk Kabupaten Nias Utara). Saat itu Imam masih lajang. Perjalanan ke Sifahandro dari pelabuhan Gunungsitoli kurang lebih 2 jam ditempuh melalui jalur darat. Jalannya rusak dan berbatuan bahkan ada sebagian jembatannya saat itu yang menggunakan batang kelapa.
Ada kejadian aneh sewaktu di Sifahandro. Saat itu Imam sampai di Sifahandro waktu puasa Ramadhan. Saat itu anak-anak Muslim Nias menyalahkan lilin. Menurut pengakuan anak-anak, lilin yang dihidupkan untuk menyambut Malaikat Jibril yang dibuat dari cahaya. Saat itu, Imam menyampaikan bahwa kegiatan seperti ini tidak ada contohnya. Esok harinya, Imam didatangi oleh seluruh warga Muslim Desa Sifahandro untuk meminta klarifikasi ucapan Imam.
Alhamdulillah Imam bisa menyampaikan dengan tenang dan arif, sehingga masyarakat bisa memahami dan tidak mau lagi melakukan menyalakan lilin. “Mereka sadar atas perbuatan mereka, “ujar Imam Akbar.
Kejadian menarik
Pada tahun 2007 Imam pindah lagi ke Gunungsitoli untuk menjadi Koordinator da’i-da’I AMCF yang tersebar di Pulau Nias, Pulau Tello, Simuk, Hinako. Di Gunungsitoli, Imam aktif mengisi pengajian ibu-ibu yang berjumlah 25 tempat, termasuk khatib Jum’at.
Awal tinggal di Gunungsitoli ada kejadian yang sangat berkesan bagi Imam. Saat belanja di warung dekat tempat tinggalnya, ada seorang ibu beragama Kristen memberikan uang padanya dan ia diminta mendoakan.
“Ustad doakan ya agar menantu saya bisa secepatnya meninggal, padahal sudah berkali-kali minuman keras dia saya kasih racun tapi dia, tidak mati-mati juga,” tutur ibu itu.
“Begini aja bu, saya doakan biar anak mantu ibu bisa sadar dan mau bantu ibu kerja,” jawab Imam kala itu.
Dari pertemuan Ibu tadi di warung Imam bersepakat untuk saling belajar. Kala itu Imam diajarkan bahasa Ibrani dan Imam mengajarkan Iqro (Baca Al-Qur’an). Sayang baru berjalan 1 pertemuan tidak bisa berjalan lagi, dikarena Ibu itu harus ke Afrika.
Begitulah liku-liku dakwah di daerah pedalaman. Menurut suami Gusrianingsi ini,tugas di Nias penuh dengan tantang. Dan tantangan yang paling dirasakan adalah terbatasnya alat bantu atau media dakwah yang dapat digunakan sebagai tambahan referansi dakwah Islam.
Imam berharap kaum Muslim bisa meluangkan waktu atau setidaknya membantu sedikit kemampuan agar jalannya dakwah di Pulau Nias berjalan lebih lancar.*/Ayub
Yang mau bantu peradaga dakwah hubungi sdr. Ayub