Oleh: Musthafa Luthfi
SECARA mengejutkan Arab Saudi memimpin sekutu dari negara-negara Arab dalam sebuah operasi “Aashifatul Hazm” (Badai Penghancur) untuk menyerang Yaman dengan menargetkan basis-basis milisi pemberontak Syiah Al Hautsi (Syiah Al Houthi) yang didukung Iran setelah melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah di negeri ujung tenggara Jazirah Arab itu.
Serangan udara yang dimulai sejak Kamis (26/3/2015) itu bertujuan untuk mengakhiri kudeta kelompok Syiah Al Hautsi yang dilakukan pada akhir tahun 2014.
Sejak kudeta atas pemerintahan transisi di Yaman pimpinan Presiden Abdurabbuh Mansyur Hadi yang dilakukan oleh kelompok Syiah pro Iran dengan dukungan militer pro mantan Presiden Ali Abdullah Saleh, Yaman menjadi fokus perhatian dunia Arab. Berbagai upaya solusi politis ditawarkan Arab untuk mengakhiri kudeta dan mengembalikan pemerintahan sah sebagai syarat untuk kembalinya faksi-faksi yang bertikai ke meja perundingan.
Namun respon Al Hautsi dan mantan Presiden Saleh adalah semakin memperluas pendudukannya ke berbagai daerah dengan kekuatan senjata mengingat sekitar 70 % senjata Yaman dikuasainya dua kubu yang sebelumnya pernah sebagai musuh bebuyutan tersebut. Al Hautsi dan Saleh ingin mengubah situasi di Yaman sesuai kepentingan mereka dan membuang kesepakatan yang telah dicapai berdasarkan Inisiatif Dewan Kerjasama Teluk (GCC) yang mendapat legitimasi PBB.
Puncak dari upaya kedua kubu untuk menguasai Yaman adalah keputusan untuk menyerang kota Aden di wilayah selatan sebagai pusat pemerintahan sementara setelah ibu kota Sana`a dikuasai Al Hautsi, guna menangkap Presiden Hadi sekaligus mengakhiri pemerintahan transisi. Mereka yakin termasuk sponsornya (Iran) bahwa dunia Arab tidak akan mampu berbuat sesuatu guna menyelamatkan pemerintahan Hadi.
Namun kali ini perkiraan mereka dan Iran meleset sebab Arab Saudi dan negara-negara Teluk dengan dukungan sejumlah negara Arab lainnya tidak akan membiarkan Yaman jatuh ke milisi pro Iran setelah melihat malapetaka yang terjadi sebelumnya di Libanon, Irak dan Suriah. Bahkan Sudan yang selama ini ditengarai dekat dengan rezim Teheran juga ikut ambil bagian dalam serangan ke Yaman dengan tiga pesawat tempur.
Selain negara-negara GCC, dilaporkan Maroko, Mesir, Sudan dan Yordania ikut serta dalam serangan udara tersebut bahkan Mesir, Pakistan, Sudan dan Yordania menyatakan kesediaan mereka untuk mengirim pasukan darat bila dibutuhkan disamping dukungan Turki yang menolak pengaruh Iran di Yaman. Hingga hari Ahad (29/3/2015) dilaporkan, operasi militer Aashifatul Hazm atau Badai Penentuan berhasil melumpuhkan sebagian besar pertahanan udara Al Hautsi dan militer pro mantan Presiden Saleh.
Selama ini memang banyak pihak termasuk Iran menilai Arab selalu ragu-ragu mengambil keputusan menentukan terutama yang berkaitan dengan operasi militer untuk melindungi kepentingan mereka dan lebih banyak bergantung kepada negara besar terutama AS. Namun kali ini Arab dibawah komando Saudi mengejutkan semua pihak dengan keputusan tegas melakukan operasi militer guna menghentikan kudeta Syiah Al Hautsi yang pro Iran.
Sikap tegas Saudi dibawah pimpinan baru Raja Salman Bin Abdul Aziz mengingatkan kembali ke masa Raja Faisal Bin Abdul Aziz pada era tahun 70-an abad lalu yang dikenal tegas dan berani saat terjadi perang Arab-Israel. Operasi badai penentuan ini paling tidak telah membuktikan bahwa meskipun kondisi dunia Arab yang masih lemah akibat masih berlangsungnya pergolakan di sejumlah negara Arab, namun pusat penentuan keputusan masih eksis bila bahaya esksistensi Arab terancam.
Bagi dunia Arab letak geografis Yaman yang sangat strategis di pintu masuk salah satu jalur teramai pelayaran internasional di Laut Merah akan berdampak langsung ke seluruh Arab bila negeri Sheba itu jatuh ke genggaman Iran. Karena itu sejumlah analis Arab menilai bahwa serangan atas basis-basis Al Hautsi dan militer Saleh bukan sekedar menyelamatkan pemerintahan sah akan tetapi untuk menyelamatkan Arab seluruhnya.
“Bila operasi ashifatul hazm ini sukses menyelamatkan Sana`a dan Aden (dari kekuasaan Al Hautsi) maka berarti sukses pula menyelamatkan dunia Arab, “tandas sejumlah analis dan pakar Arab. Bahkan sebagian penulis Arab mengobarkan semangat kepada pasukan sekutu Arab dengan penggalan syair “laa budda min shana`a wa in thaala al-safar” (harus bertolak dari kota Sana`a meskipun jalan menujunya panjang), sebagai gambaran nilai strategis Yaman sebagai titik tolak untuk mempertahankan eksistensi Arab.
Target utama
Dengan demikian dapat dibaca bahwa operasi “badai penentuan” pimpinan Arab Saudi itu setidaknya bertujuan untuk mencapai dua target utama yakni pertama menyelamatkan pemerintahan sah sekaligus menghindari Yaman dari perang sektarian.
Sedangkan target kedua adalah untuk memulihkan kembali kepercayaan diri dunia Arab tentang kemampuan strategis yang dimilikinya tanpa harus menunggu bantuan atau lampu hijau dari Barat terutama AS.
Terkait target pertama, dunia Arab terutama GCC yang aktif membantu pemulihan situasi di Yaman, memang berkepentingan dengan terciptanya situasi kondusif di negeri Sheba itu dengan mempertahankan pemerintahan sah sebagai pengelola negara yang masih carut marut akibat belum terlaksananya hasil dialog nasional pasca lengsernya Ali Abdullah Saleh dari kursi kekuasaan yang dinikmatinya selama lebih dari tiga dekade.
Setidaknya keberadaan pemerintahan transisi pimpinan Presiden Mansyur Hadi yang mendapat dukungan lebih dari 90 % rakyat lewat referendum pada Februari 2012 dapat sebagai fasilitator kelanjutan dialog faksi-faksi yang bertikai di Yaman. Pemerintahan ini juga telah mendapat legitimasi PBB dan masih diakui sebagai pemerintahan sah satu-satunya oleh masyarakat internasional.
Arab dibawah komando Saudi mengejutkan semua pihak dengan keputusan tegas melakukan operasi militer guna menghentikan kudeta Syiah Al Hautsi yang pro Iran.* (bersambung)
Penulis adalah pemerhati dunia Islam