Oleh: Musthafa Luthfi
SELAIN perang multi nasional pimpinan AS melawan milisi Negara Islam (IS) di Iraq dan Suriah, isu nuklir Iran masih menjadi isu terhangat di kawasan Timur Tengah sehingga berbagai gejolak di sejumlah negeri Arab seakan terabaikan mulai dari Libya di ujung barat hingga Yaman di ujung timur dunia Arab. Dunia saat ini sedang menunggu kesepakatan yang akan dicapai oleh enam negara besar (lima negara anggota tetap DK PBB yakni AS, China, Inggris, Prancis dan Rusia plus Jerman) dan Iran.
Pada 2 Maret 2015 lalu, PM ‘israel’, Benjamin Netanyahu kembali memperihatkan posisi menentang kebijakan Presiden AS, Barack Obama terkait kebijakan negeri Paman Sam itu untuk terus mengupayakan solusi damai bagi penyelesaian isu nuklir Iran. Di hadapan anggota Kongres AS Netanyahu menyampaikan pidato “berapi-api“ terkait isu nuklir tersebut dan mendapat sambutan tepuk tangan meriah yang belum pernah didapatkannya di hadapan Kneset (parlemen) ‘israel’.
Netanyahu mengeritik pedas kebijakan Obama yang dalam waktu dekat diprediksi akan berhasil mencapai kata sepakat dengan Iran terkait program nuklir negeri Mullah itu. Para petinggi Iran dan sejumlah pejabat dari enam negara besar termasuk Menlu AS, John Kerry telah menyampaikan isyarat makin dekatnya kesepakatan antara kedua belah pihak.
Adapun beberapa hal yang masih mengganjal disebutkan hanya terkait pelaksanaan kesepakatan secara teknis dan mendetail seperti pencabutan sanki atas negeri Persia itu. Para pemimpin zionis nampaknya tidak senang dengan kesepakatan damai dimaksud sehingga terus berupaya mempengaruhi enam negara besar itu khususnya AS agar mengambil langkah tegas secara militer guna menghentikan ambisi nuklir Iran.
Pidato PM Netanyahu di Kongres awal Maret lalu itu oleh sejumlah pengamat dinilai sebagai upaya terakhir negeri Yahudi itu untuk menggagalkan kesepakatan enam negara besar dengan Iran dengan cara meyakinkan para anggota Kongres agar melakukan tindakan cepat guna menggagalkan kesepatan itu. ‘israel’ khawatir bahwa kesepakatan tersebut justeru akan mempersingkat waktu bagi Teheran untuk mewujudkan ambisi memiliki bom nuklir.
Adapun dalih lainnya adalah nuklir Iran menjadi “ancam serius“ eksistensi ‘israel’ tak lebih hanya bualan belaka yang sering menjadi bahan ledekan, karena masyarakat dunia sudah berkomitmen bahwa setiap negara pemilik senjata nuklir tidak mungkin menggunakannya untuk menghancurkan negara lain. Penggunaan senjata nuklir untuk menyerang negara lain adalah garis merah internasional sehingga hampir mustahil Iran akan menggunakannya untuk menyerang ‘israel’ karena akan berakibat kehancuran negara Persia itu sendiri.
Adapun dalih Netanyahu bahwa kesepakatan itu tidak akan menjadi kendala bagi Iran untuk memiliki senjata nuklir atau bahkan mempercepatnya untuk memiliki senjata pemusnah massal itu bisa jadi banyak benarnya. Karenanya upaya terakhir yang dilakukannya adalah melobi Kongres agar menghentikan kesepakatan dimaksud meskipun peluang ke arah itu oleh banyak pengamat dinilai sangat kecil.
Pidato berdurasi sekitar 40 menit itu sempat dijeda dengan sekitar 43 kali tepuk tangan meriah anggota Kongres yang meneriakkan dukungan terhadap posisi ‘israel’ yang menentang rencana kesepakatan enam negara Besar dengan Iran. Secara kebetulan pidato itu bertepatan pula dengan pembicaraan antara Menlu AS, John Kerry dengan mitranya Menlu Iran, Mohammed Javad Zarif di Wina guna membahas sejumlah masalah pending sebelum batas waktu kesepakatan berakhir pada 31 Maret 2015.
Netanyahu juga mengingatkan bahwa bila kesepakatan tersebut tercapai maka akan menimbulkan lomba senjata baru di kawasan Timur Tengah. “Kami telah mengingatkan sejak setahun yang lalu bahwa lebih baik tidak tercapai kesepakatan bila kesepakatan tersebut buruk dan lebih baik bagi dunia bila kesepakatan ini tidak ada,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui pada 17 Maret mendatang, ‘israel’ akan melangsungkan pemilihan umum legislatif yang akan menentukan apakah Netanyahu masih akan dipercaya sebagai orang nomor satu negeri Yahudi itu. Ada dugaan bahwa upaya mengganjal rencana kesepakatan nuklir negeri Mullah itu adalah salah satu bagian dari kampanye untuk mendapatkan simpati para pemilih ‘israel’.* (bersambung)
Penulis adalah pemerhati masalah Timur Tengah