Pusaran Konflik
Di saat suaminya sedang melangsungkan pendidikan di Bandung, Jabar, Ina dan anak keduanya tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan. Sementara anak pertamanya tetap bersekolah di Bali. Di Pamulang, Ina sengaja memasukkan anak keduanya di sekolah milik Muhammadiyah.
“Saya titip pesan sama gurunya, tolong dia diajarin shalat.”
Rupanya sang suami marah besar mengetahui anaknya dimasukkan sekolah Islam. Namun penjelasan saya sulitnya sekolah umum selain Islam di dekat rumah membuat sang suami memahami.
“Sekolah lainnya jauh, harus naik angkutan umum berkali-kali,”ucap Ina beralasan. Padahal, sebenarnya ia sedang berusaha secara perlahan-lahan menanamkan akidah keislaman pada buah hatinya.
Tahun 2011, kabar menakutkan menghampirinya. Datang kabar, sang suami akan datang bersama dua orang pengacara guna membawa surat persetujuan bercerai dengan hak perwalian anak ada pada suaminya. Atas persetujuan itu, Ina akan diberi uang Rp.50 juta.
“Saya bingung sekali. Saya tidak ingin kehilangan anak saya. Saya shalat dhuha, tahajud, istikharah. Hasilnya saya semakin kuat tidak bisa melepaskan anak-anak. Saya mikir, kalau mereka ikut bapaknya, mau jadi apa mereka.”
Pada hari yang dijanjikan, suaminya datang beserta dua pengacaranya. Tak terelakkan lagi, Ina dan suaminya adu mulut. Ina bergeming tidak mau membubuhkan tanda tangan. Karena itulah suaminya hendak melakukan pemukulan. Kedua anaknya berada ditengah pusaran konflik tersebut. Mereka mendampingi Ina. Air mata tumpah ruah. Ibu-anak saling berpelukan.
“Suami saya sudah mau lempar gelas. Tapi dia kalah dan sudah enggak bisa berbuat apa-apa karena anak-anak sudah menangis dan peluk saya semua,”ucap Ina yang berusaha tetap tenang dalam menceritakannya.
Seminggu setelah itu, suami Ina mengajukan permohonan izin cerai pada pimpinan di instansi tempatnya bekerja. Dukungan bercerai didapatkan Ina dari kedua anaknya. Apalagi ketika buah hatinya dengan kesadaran sendiri meminta ibunya untuk mengislamkan mereka.
“Mah, Islamkan aku, dong!”pinta kedua anaknya.
Proses Perceraian
Proses perceraiannya dengan suaminya, cukup lama dan berliku. Januari 2011, Ina dipanggil oleh pimpinan mantan suaminya. Ia ditanya mengenai penyebab suami Ina mengajukan izin perceraian. Bagi instansi pemerintah, perceraian staf sebagai hal yang tabu. Jalan menuju kesana sebisa mungkin dipersulit.
“Saya bilang pada pimpinan, Pak, kami sudah beda agama. Anak-anak juga sudah masuk Islam,” tuturnya.
Berhubung mantan suaminya bekerja sebagai pegawai pemerintah, maka sebelum diajukan ke pengadilan, mereka harus menempuh mediasi internal. Hal itu berlangsung sampai April 2012. Sebulan kemudian mantan suaminya mendapatkan izin dari pimpinannya untuk menggugat cerai Ina di PN Denpasar.
Selain gugatan cerai, mantan suaminya meminta hak perwalian kedua anaknya jatuh ke tangan pria asal Bali itu.
Menurut perempuan berusia 46 tahun itu, pernikahannya sudah tidak lagi bisa diselamatkan. Sejak tahun 2004, Ia tidak lagi diberi nafkah. Hal tersebut membuatnya melapor pada pimpinan mantan suaminya. Atas pengaduannya itu, Ina diberi kewenangan mengambil gaji suaminya.
Namun itu berlangsung hanya setahun saja. Setelah pimpinan suaminya ditugaskan ke Jakarta, Ina diancam oleh mantan suaminya. “Kalau nekat mengambil gajinya, saya akan dituntut mengembalikan uang dua kali lipat gajinya. Waktu itu gajinya Rp.1,5 juta/bulan,”ulasnya.
Akhirnya Ina hidup dari pemberian orangtuanya yang tinggal di Kendal. Bahkan pada waktu anak pertamanya masuk SMU, mantan suaminya tidak mau membiayai. Demi anak, Ina memberanikan diri meminjam uang ke tetangga di depan rumahnya.
Jangan Nikah Beda Akidah
Menjalani biduk rumah tangga masa lalu yang bagai neraka membuat Ina mewanti-wanti pada kedua anaknya untuk hati-hati memilih pasangan.
Pernikahannya yang karam menjadi pelajaran berharga tentang betapa kesamaan akidah menjadi syarat utama memilih pendamping.
Ina tidak menyangka keputusannya menerima pinangan pria berbeda agama itu justru berujung pada kesengsaraan.
Pada awal pernikahan, suaminya bersikap sangat baik padanya. Bahkan ketika anak mereka lahir, suaminya tidak beranjak dari tempat tidur rumah sakit. Seolah ia ingin memastikan Ina dan anak pertama mereka dalam keadaan baik. Namun, sikapnya berubah manakala jabatannya meningkat. Bahkan ketika jabatan suami makin tinggi dan ia makin banyak berinteraksi dengan para pengusaha tingkah suaminya makin berulah.
Tapi kini semua sudah lewat. Pasca keputusan cerai pengadilan, Pada bulan Oktober 2013, Ina secara tidak sengaja menemukan komunitas AQL Islamic Center, Tebet. Ia tidak menyangka di sana ada musholah dan komunitas pengajian.
Melalui seorang ustad, ia bersama kedua anaknya meminta diislamkan kembali. Akhirnya pada hari Ahad pagi bulan itu, ia dan kedua anaknya telah kembali memeluk Islam di depan jamaah AQL. Sungguh kenikmatan yang besar ia rasakan. Bahkan kini, kedua anaknya ikut aktif di Quranic Generation (Q-Gen), Organisasi kepemudaan yang menjadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman dan prinsip hidup di bawah AQL.*