AKHIR Mei 2011, tepat sehari keberangkatan tugas dakwah, Roli Noberto mendapat kabar menyengat dari almamaternya. Sarjana Komunikasi Islam alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah M Natsir, Jakarta, ini dipindahkan tugasnya dari semula ke Cibinong, Jawa Barat, menjadi ke Magelang, Jawa Tengah. Padahal, da’i muda dari Sumatera Barat ini sudah bersosialisasi ke Cibinong. Bahkan ia sudah mendapatkan rumah kontrakan yang bakal ditinggalinya selama setahun di sana.
Roli protes kepada Ustadz Misbahul Anam, dosen STID M Natsir yang juga mengatur penempatan para da’i. Namun, STID tetap pada sikapnya.
“Kami punya pertimbangan tertentu sampai detik-detik akhir untuk penempatan da’i. Tapi insya Allah, saya punya feeling, antum dan Madeni akan lebih baik di lereng Merapi daripada di Cibinong,’’ ujar Ustadz Misbah mendinginkan Roli.
Oleh Pembina Dewan Da’wah Kyai Kholil Badhawi, Roli dititipkan kepada keluarga tokoh FKUI (Forum Komunikasi Umat Islam) di Dusun Demo, Kelurahan Kalibening, Kec Dukun. Di sini, Roli Noberto dikenal sebagai Ustadz Abdul Rasyid. Sedangkan Madeni tinggal bersama keluarga Sardi di depan Masjid Al Fatah, tak jauh dari kediaman Roli.
Tepat setahun kemudian, Roli berkirim SMS ke Ustadz Misbah. Bukan cepat-cepat minta ditarik ke Jakarta, dia malah mengajukan permohonan agar tugasnya di Dukun, bisa diperpanjang setahun lagi.
‘’Saya sempat heran, ada apa ini. Ternyata, dia kecantol sama kembang desa lereng Merapi,’’ tutur Ustadz Misbahul Anam, tatkala menyampaikan taushiyah walimatul urusy pernikahan Roli Noberto-Mia Marlinasari di Desa Talun, Dukun, Magelang, Ahad, 27 Mei lalu.
Walimahan pengantin berlangsung semarak. Selain keluarga mempelai, juga hadir para tokoh pendidikan dan agama setempat, termasuk para pengurus komunitas Al Barokah yang menggerakkan da’wah di sana. Juga kawan-kawan dari beberapa ormas Islam seperti FKUI, FPI, Muhammadiyah, dan NU.
Dari keluarga besar Dewan Da’wah, hadir Kyai Kholil Badhawi, Ustadz Misbahul Anam (STID Natsir), Nurbowo (LAZIS Dewan Da’wah Pusat), Ustadz Fauzan dan Nasrul (Ketua dan Sekretaris Dewan Da’wah Magelang), Ustadz Yuli Fajar (Dewan Da’wah Jawa Tengah), dan Ustadz Madeni (Da’i Dewan Da’wah di Magelang).
Kepada Pembina Dewan Da’wah, seorang tokoh sepuh setempat berbisik-bisik. “Sebelum saya meninggal, tolong kabulkan permintaan terakhir saya kepada Dewan Da’wah. Tolong Ustadz Rasyid dan Madeni biar tinggal di Dukun sini, jangan ditarik ke Jakarta,’’ katanya terpatah-patah.
‘’Nggih, baik, insya Allah,’’ jawab Kyai Kholil, yang membuat marem tokoh tersebut.
Gencarnya pemurtadan
Sang tokoh sepuh, pembida Dewan Da’wah ini punya alasan sendiri, mengapa Rasyid dan Madeni tidak boleh buru-buru ditarik. Maklum, semenjak musibah meletusnya Gunung Merapi, musibah lain juga menghantui warga desa, berupa serangan akidah.
Sang tokoh berharap, lereng Merapi perlu membutuhkan lebih banyak lagi da’i.
Bersama Ustadz Roli dan Madeni, saya sempat berkeliling merekam pola gerakan deislamisasi di desa-desa di Lereng Merapi Kecamatan Dukun Magelang ini.
Di antara modusnya adalah mendampingi warga desa-desa terpencil yang masih belum atau kurang terbina dakwah Islam. Di Desa Bojong, Windusari, Tanen, dan Desa Sumber, misalnya, kalangan misionaris membuat Program Tinggal di Desa (Living In). Mereka tinggal lama di desa terseut dengan membawa kader-kader misionaris muda dari luar negeri. Sebut saja dari Amerika untuk tinggal beberapa pekan bersama keluarga Muslim di kawasan tersebut.
Seorang warga mengatakan, orang-orang muda ini datang dan mengajarkan praktik pluralisme. Misalnya, penduduk dicekoki faham bahwa semua agama benar dan baik, tujuannya sama, sehingga tidak masalah orang Islam berpindah ke lain agama sesuai kemampuannya.
Akibatnya, pernah dalam satu keluarga, terdapat anggota yang beragama Islam dan non-Islam.
Kalangan misionaris bahkan secara terbuka door to door menawarkan kebutuhan pokok masyarakat seperti sembako (sembilan bahan pokok), alat sekolah, dan prasarana pertanian. Beberapa rumah penduduk dibangun atau direnovasi denganbantuan gereja, dengan syarat tertentu yang harus dipenuhi. Agar “legal”’, program ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan pengurus RT maupun Kepala Desa. Dengan menguasai sektor-sektor bisnis strategis, misionaris mampu menawarkan dan memberikan pekerjaan bagi anak, remaja, atau pemuda tamatan SMP dan SMA muslim yang masih menganggur.
Ada juga cara menarik, misalnya membuka Sanggar Seni, Lembaga Kursus dan Bimbel, atau Taman Baca gratis. Program ini menyasar anak-anak muslim mulai SD sampai SMA.
Dan terakhir melalui akulturasi budaya. Kalangan misionaris memanfaatkan budaya lokal sebagai alat penyebaran agama, misalnya rebana, kuda lumping (jathilan), topeng ireng, wayang kulit, dll.
“Jurus-jurus mereka sangat efektif sehingga di beberapa dusun telah terjadi pemurtadan besar-besaran. Bahkan ada satu dusun yang kini umat Islamnya tinggal 2 keluarga yaitu Dusun Tangkil dan Ngargomulyo,’’ ungkap Ustadz Roli.
Roli menambahkan, desa-desa yang paling rawan pemurtadan Desa Sumber, Ngargomulyo, Kalibening, Krinjing, Keningar, dan Wates. Karenanya, ia berharap aka nada banyak da’I yang dikirim ke tempat ini.*/nurbowo