Oleh: Ilham Kadir
PERKENALAN saya dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bermula ketika berdomisili di Kabupaten Bogor, saat itu, seorang tetangga mengajak untuk ikut liqo’. Liqo’ adalah bahasa Arab yang jika diindonesiakan berarti pertemuan, namun yang dimaksud liqo’ bagi PKS adalah pertemuan rutin untuk belajar agama bersama-sama yang dibimbing oleh seorang murabbi. Murabbi adalah kata lain dari guru, pendidik, atau ustad.
Fungsi liqo’, antara lain, sebagai wadah pengkaderan bagi PKS, dan para peserta liqo juga bertahap dari satu jenjang ke jenjang berikutnya, yang pada tahap tertentu seorang kader dapat menjadi murabbi jika telah memenuhi syarat.
Tidak sampai di situ, para murabbi pun tetap diharuskan ikut liqo’ sesama mereka yang akan mendatangkan murabbi dengan level yang lebih tinnggi lagi. Biasanya mereka diambil dari para tetua yang telah malang-melintang di dunia aktivis dan dakwah yang disebut qiyadah (para pemimpin). Pengkaderan lewat liqo’ juga disebut dengan tarbiyah, yang biasa juga dimaknai dengan pendidikan.
Inilah yang membedakan PKS dengan partai mana pun di Indonesia, karena para anggotanya adalah didikan mereka sendiri, dengan itu tidak heran jika mereka begitu militan berjuang membesarkan PKS tanpa mengharap pamrih, dan semua itu mereka lakukan demi dakwah, sebagaimana slogan PKS waktu itu, ‘partai dakwah yang Bersih, Peduli, Profesional’.
Ada yang unik dari kegiatan liqo’ ala PKS ini, yaitu tidak adanya paksaan untuk bergabung sebagai aktivis partai, dan tidak ada pula anjuran untuk memasarkan PKS pada khalayak ramai, bahkan tidak ada kewajiban untuk memilih PKS dalam pemilu. Dan, konten tarbiyah dalam liqo’ pun tidak pernah menyinggung partai, hanya diwajibkan mengaji, menghafal al-Qur’an, dan menguasai materi-materi dasar dalam agama, semacam ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah dengan tambahan wawasan sejarah dan dunia Islam. Walaupun semuanya sangat tergantung pada murabbi, karena ada pula murabbi yang kurang wawasan sehingga acara liqo sekadar konsolidasi partai yang tidak mengedepankan tarbiyah dan dakwah.
Namun itu tidak bertahan lama, sebab pada pemilu 2009 PKS berubah menjadi partai terbuka yang bisa diisi oleh golongan mana pun, termasuk non-muslim. Yang paling menyayat hati para kader, tidak sedikit di antara mereka yang telah berjuang membesarkan PKS namun karena tidak punya uang sehingga tereleminasi sebagai calon legislator.
Pemilihan caleg sangat tergantung dengan tebalnya kantong. Demikian pula, tidak sedikit calon kepala daerah yang lebih peduli, bersih, cerdas, dan juru dakwah justru ditinggal dan tidak didukung PKS karena alasan tidak mampu menyetor uang mahar. Ya, partai dakwah itu menjelma menjadi partai pemburu mahar.
Tulisan ini bermaksud mengangkat sejarah dan perkembangan partai dakwah yang kembali melakukan Musyawarah Nasional (Munas) ke-4 di Depok pada tanggal 14-15 September 2015 ini.
Sejarah Awal
Kisah itu bermula dari di Aula Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, ketika sekumpulan ustad mengadakan konferensi pers karena telah mendirikan partai dengan nama Partai Keadilan yang disingkat dengan PK. Presidennya adalah Nur Mahmudi Ismail dan Sekertaris Jenderalnya Anis Matta.
Pada 21 Mei tahun 2000 M, ketika KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI, ia pun mengangkat Nur Mahmudi sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan, sang menteri mengundurkan diri sebagai presiden PKS, lalu diganti dengan Hidayat Nur Wahuid.
Pada tanggal 2 Juli 2003, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum mensyaratkan agar partai peserta Pemilu 2004 adalah partai yang minimal mendapat 2 persen seuara pemilih 1999, karena hanya mendapat 1,4 persen maka PK lalu mengubah namanya menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk dapat mengikuti Pemilu tahun 2004.
Pada tanggal 1 Oktober 2004, Hidayat Nur Wahid terpilih sebagai Ketua MPR priode 2004-2009, dan ia pun mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden partai. Akhirnya, sidang Majelis Syura pada 26-29 di Jakarta, Tifatul Sembiring didapuk menjadi Presiden PKS priode 2005-2010.* (BERSAMBUNG) “Fenomena Anis Matta”
Ilham Kadir, Peneliti MIUMI, Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor