Oleh
Syamsuddin Arif*
Dunia pemikiran Islam di Indonesia kini memasuki “wajah baru” menyusul membanjirnya arus pemikiran Barat dalam studi keislaman (Islamic studies). Berbagai perguruan tinggi, baik Islam maupun Kristen, menawarkan program Religious Islamic Studies yang banyak mengacu pada pola kajian Barat. Sekitar dua dekade lalu, banyak sarjana Islam mulai berbondong-bondong pergi ke Barat untuk belajar Islam.
Lepas dari soal pro-kontra keunggulan dan kelemahan “metode Barat”, dukungan dana dan fasilitas akademik yang baik menyebabkan gelombang sarjana Muslim yang belajar Islamic studies ke Barat, sulit dibendung. Setiap tahun, ratusan sarjana Muslim Indonesia menyerbu McGill University, University of Leiden, Chicago University, Melbourne University, Hamburg University, dan sebagainya.
Soal belajar memang bisa dimana saja. Yang penting adalah sikap dan daya kritis sarjana Muslim terhadap “sajian” Barat. Prof HM Rasjidi, misalnya, meskipun lulusan Sorbonne University, Prancis, ia mampu mengembangkan daya kritisnya terhadap gagasan-gagasan sekulerisasi. Prof Naquib al-Attas juga jebolan Barat (University of London), tetapi justru berhasil menyusun pola-pola kajian Islam untuk “menandingi” Barat.
Yang menjadi pertanyaan, perlukah mengambil metode kajian keislaman (Islamic studies) dari Barat? Para penyokong gagasan ini biasanya beralasan bahwa metode Barat diperlukan untuk mengembangkan dan memecahkan kebekuan studi Islam, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam.
Diantaranya, dengan memperkenalkan metode penelitian empiris (seperti yang biasa dipakai dalam sosiologi dan antropologi agama), teori-teori baru, dan pemikiran-pemikiran kontemporer dalam ilmu sosial dan humaniora, seperti “teori interaksi simbol” (symbolic interaction)-nya Herbert Mead, teori tindakan komunikatif (theory of communicative action)-nya Habermas, “arkeologi ilmu” (archeology of knowledge)-nya Foucault, “strategi dekonstruksi”-nya Derrida, atau hermeneutiknya Gadamer —untuk menyebut sejumlah contoh saja.
Sebab, menurut Prof. Dr. Mastuhu, “Jika diamati secara mendalam, studi keislaman di IAIN dan di tanah air pada umumnya masih banyak didominasi oleh pendekatan normatif (dogmatis) dan kurang wawasan empiris-historis.” (Lihat: Tradisi Baru Penelitian Agama Islam. Bandung: Pusjarlit dan Penerbit Nuansa, 1998, hlm. x).
Karena itu, menurut para penyokong metode Barat, mempelajari dan menguasai gagasan-gagasan para pemikir Barat menjadi suatu “keharusan”.
Persoalannya, tentu bukan sekedar belajar. Bukan transfer pengetahuan semata, lalu selesai. Tetapi, sejauh mana para sarjana Muslim mampu menyadari berbagai konsekuensi dari alih metodologi dan impor pemikiran tersebut —terutama yang menyangkut masalah-masalah yang di dalam tradisi dikategorikan sebagai “yang sudah mapan” (tsawabit)— yang oleh Arkoun disebut sebagai “the unthinkable”, seperti persoalan-persoalan akidah, otentisitas al-Qur’an, kehujjahan hadits Nabi Muhammad Saw, dan sebagainya.
Pengalaman Kristen
Patut dicatat, suatu ide atau teori tidaklah muncul begitu saja, tanpa sejumlah asumsi dan presuposisi. Demikian pula gagasan pemikiran, tidak bisa terlepas dari konteks peradaban di mana teori itu dilahirkan. Suatu teori juga seringkali merupakan refleksi dari pergolakan dan krisis intelektual sang pemikir.
Pemikiran Imam al-Ghazali dan Ibnu Taymiyyah, misalnya, mencerminkan pergumulan intelektual dalam Islam. Sedangkan pemikiran Augustine, Aquinas, Pascal, dan Heidegger adalah beberapa contoh kasus pergolakan pemikiran dalam sejarah Kristen.
Tanpa menafikan hal-hal yang sifatnya universal dalam setiap pemikiran, tidak dapat dinafikan sama sekali adanya perbedaan-perbedaan prinsipil yang melandasi dan melatarbelakangi suatu gagasan. Misalnya, dalam ajaran Islam, Tuhan hanya satu, Allah saja (laa ilaaha illa Allah). Ini berbeda dengan doktrin trinitas dalam Kristen — bahwa ada Tuhan Bapak, Tuhan Anak (Yesus), dan Roh Kudus.
Pergumulan teologi dalam Kristen bisa dijadikan contoh kasus. Untuk menjelaskan teologi “three-in-one” yang cukup pelik ini, St Anselm harus menulis Cur Deus Homo, St Augustine menulis de Trinitate dan mengumandangkan slogan: “Credo ut intellegam” (aku percaya supaya aku bisa mengerti). Ungkapan senada dilontarkan oleh Tertullian: “Credo quia absurdum!” (aku beriman justru karena doktrin tersebut tidak masuk akal).
Dalam kamus Latin-inggris, ‘absurdum’ diartikan: irrational, senseless, against reason or common sense, clearly false or foolish, dan ridiculuous.
Mengakui betapa sulitnya mencerna apalagi mengimani teologi semacam itu, St Jerome menyatakan: “De mysterio Trinitatis recta confessio est ignoratio scientia” (misteri trinitas hanya dapat diimani dengan mengakui bahwa kita tidak bisa memahaminya). (baca: Proem ad 1.xviii in Isaias, dalam Patrologiae Latinae Cursus Completus, ed. Abbé Jacques-Paul Migne. Paris: Imprimerie Catholique, 1844-55).
Nah, dari kasus pergumulan teologi Kristen inilah muncul gagasan yang menyatakan perlunya menjembatani dan mempertemukan antara iman dan akal. Dan memang, sejarah intelektual Kristen adalah serangkaian upaya mencairkan konflik “faith” versus “reason”, konflik antara “dogma” dan “filsafat”, “agama” dan “sains”, dan seterusnya. Karena itu bisa difahami mengapa Siger de Brabant dikecam, Bruno di-eksekusi, Galileo di-immurasi (dibakar), dan Spinoza dikucilkan (ex-communicated).
Juga bisa dimaklumi mengapa Nietzsche memproklamirkan kematian Tuhan dan menyanjung Anti-Christ, lalu Feuerbach mengkritik doktrin trinitas (Dalam: Das Wesen des Christentums. Berlin: Akademie Verlag, 1956, Bab XXIV).
Bahkan Russell merasa perlu menjelaskan mengapa ia sampai murtad dari agamanya, antara lain:
“Saya katakan sungguh-sungguh bahwa agama Kristen, sebagai yang diorganisasi oleh gereja-gerejanya, telah dan masih merupakan musuh prinsipil bagi perkembangan moral dunia.” (Lihat: Why I am not a Christian. London: Routledge, 1992, hlm. 25)
Hal yang sama tidak terjadi dalam Islam —kecuali ada oknum-oknum yang sok ikut-ikutan Nietzche, misalnya, supaya dianggap filosof hebat. Karena itu, orang Islam semestinya tidak asal meminjam pendekatan studi agama yang diterapkan di Barat.
Berbeda dengan kitab suci al-Qur‘an bukan hanya diyakini sebagai Kalamullah tapi juga tidak diragukan lagi otentisitas (keaslian)nya, status Bibel masih diperdebatkan, karena sejarah penulisan dan proses transmisinya yang cukup complicated. (Lihat: Bruce M Metzger, The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption and Restoration. Oxford: Clarendon Press, 1968; dan The Cambridge History of the Bible. Cambridge: Cambridge University Press, 1969)
Karena itu tidak mengherankan bila kemudian Textus Receptus Bible diabaikan, dan timbul studi kritik teks, Quellenuntersuchungen, hermeneutika dan sebagainya. Ini diikuti dengan gagasan sekularisasi, yang muncul sebagai reaksi terhadap dominasi dan intervensi Gereja, gerakan reformasi yang dipelopori Luther, dan aliran liberal yang mengkritik dogmatisme iman Kristiani, menyerukan perlunya mencari ‘historical Jesus’ dan menolak doktrin ke-serbasempurnaan-an (impeccability) Paus. (Lihat: Kenneth S. Latourette, A History of Christianity. San Francisco: Harper & Row, 1975)
Jadi, apakah orang Islam sebaiknya ikut-ikutan memperlakukan al-Qur’an sebagaimana orang Kristen memperlakukan Bibel?
Hikmah
Mungkin ada yang berpendapat, “Mengapa tidak?” Bukankah Rasulullah Saw menyuruh kaum Muslimin mengambil hikmah dari mana pun sumbernya? Betul. Persoalannya, harus tahu membedakan antara emas dan besi berkarat, antara shampo dan oli, antara yang bermanfaat dan yang merusak.
Jangan karena terpikat dengan iklan oli, lalu digunakan untuk mencuci rambut. Ketika kaum Muslimin di zaman Bani Umayyah dan sesudahnya menerjemahkan dan mempelajari karya-karya filosof dan saintis Yunani, mereka tidak lantas menjadi skeptik, agnostik atau atheis, tidak melecehkan Nabi Muhammad Saw dan syari‘at yang dibawanya, dan tidak menjadi sekular atau liberal.
Contohnya banyak. Untuk menjadi seorang saintis yang manfaatnya terasa hingga zaman sekarang, al-Biruni tidak perlu menjadi seorang sekular atau liberal.
Mengingat fakta-fakta tersebut di atas, sangat disesalkan bila sejumlah cendekiawan Muslim mengimpor begitu saja ide-ide dan teori-teori para pemikir Barat, lalu menerapkannya untuk mengutak-atik Islam. Seraya mereka mengabaikan asumsi-asumsi teologis yang terkandung dalam pemikiran tersebut serta dampak negatif yang ditimbulkannya.
Lebih parah, jika gagasan-gagasan impor tersebut dijadikan panduan untuk mencari kebenaran dalam Islam. Islam diposisikan seolah-olah juga “agama yang kebenarannya belum final”.
Mereka mencari pencerahan (Aufklarung) dan penerangan (enlightenment) dalam kegelapan. Tak ubahnya orang yang berjalan dalam gelap-gulita sambil berusaha mendapatkan sepercik api (kamatsalil-ladzii istawqada naaran, Al-Baqarah:17).
Mereka akan jatuh, terperosok atau —kalaupun bisa jalan— tersesat. Perjalanan mencari kebenaran semacam itu tak akan kunjung selesai. Mereka terus search dan tidak akan berhenti re-search kebenaran, karena setiap kali kebenaran datang, mereka relatifkan atau bahkan mereka tolak sama sekali.
* Penulis adalah kandidat PhD di International Institute for Islamic Thought and Civilization-International Islamic University (ISTAC-IIUM), Kuala Lumpur.
Sumber: Majalah Hidayatullah Edisi Mei 2003