Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Ngopi-ngopi Pak Moeldoko dengan mantan pengurus senior Partai Demokrat (PD), akhirnya keterusan jadi asyik menuju Kongres Luar Biasa (KLB), yang diadakan di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara.
KLB memang bukan hal yang tabu dalam sebuah partai politik. Tapi tentu KLB itu diselenggarakan dengan syarat-syarat dan ketentuan yang ada dalam partai bersangkutan. Begitu pula di PD, juga mesti mengikuti persyaratan yang sudah diatur dalam AD/ART nya.
Peraturan dibuat agar organisasi partai berjalan dengan tertib aturan. Tidak mudah menjatuhkan Ketua Umum terpilih dengan KLB yang diada-adakan karena ketidaksukaan pada Ketua Umum yang ada.
Maka persyaratan dibuat sesulit mungkin, agar marwah partai tidak mudah diombang-ambingkan dengan permainan segelintir elit internal partai dan apalagi di luar partai. Tidak sesuka hati bisa mengadakan KLB.
Persyaratan yang dibuat PD, adalah KLB diikuti oleh 2/3 DPD dan 1/2 Cabang yang ada. Dan ditambah harus sepersetujuan Ketua Majelis Tinggi PD. Dan penyelenggara KLB adalah DPP. Persyaratan itu dibuat di kongres partai, dan ditempelkan pada AD/ART nya.
Setiap partai politik, tentu punya kebijakannya sendiri dalam mengatur organisasi partainya. Demikian pula PD. Maka mestinya semua pihak memahami, bahwa itu hasil dari keputusan bersama yang mesti jadi azimat untuk dijaga bersama.
Persyaratan untuk melakukan KLB di Sibolangit-Deli Serdang ini sama sekali tidak mengacu pada aturan partai. Tidak satu pun aturan partai dalam AD/ART yang dipakai.
Peristiwa KLB PD, ini seolah mengulang peristiwa KLB PDI Medan, tahun 1996. Mengangkat Soerjadi, sebagai Ketua Umum. Mencopot Megawati yang terpilih lewat KLB Surabaya, 1993. Dua pekan kemudian dikuatkan lewat Munas PDI di Jakarta, mengukuhkan kepemimpinan Megawati, sebagai Ketua Umum PDI.
Baca: Badai Partai Demokrat Tidak Sekadar Mendongkel AHY, Lebih Jauh dari Itu
Lalu perebutan kantor PDI di jalan Diponegoro, yang sudah ditempati Megawati sekitar tiga tahunan. Terkenal dengan peristiwa “kerusuhan 22 Juli”, yang populer dengan nama kudatuli. Penyerangan kantor PDI itu sungguh peristiwa kelam. Setidaknya 5 orang meninggal dan puluhan luka-luka dan di rawat di rumah sakit.
KLB PD dilaksanakan di tempat terpencil, dan seperti disembunyikan dari pers. Sampai hal itu dibocorkan oleh Andi Arief, pengurus PD. Kenapa mesti disembunyikan? Kok sikapnya malah gak pd (percaya diri) benar jika akan mengambil alih PD lewat KLB.
Bisa dipastikan KLB PD itu bukan KLB berdasar AD/ART partai. KLB asal-asalan, grusa-grusu… bahkan banyak yang menyebut KLB abal-abal. Itu karena agenda KLB cuma mau mencopot AHY, yang tidak jelas apa kesalahannya. Dan tergiur pada figur Pak Moeldoko, yang juga entah terbius oleh apa.
Pastilah Presiden Jokowi Tahu
Pak Moeldoko itu orang yang sehari-hari dekat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dekat karena ia adalah Kepala Staf Kepresidenan (KSP). Sehari-hari Pak Moel ada di dekat Pak Jokowi.
Saat AHY melayangkan surat yang menanyakan apakah Presiden Jokowi tahu ulah orang dekatnya, yang mau kudeta kepemimpinan di PD. Surat itu diakui Sekneg sudah diterima presiden. Tapi presiden enggan membalas surat itu. Katanya, itu masalah internal.
Sebenarnya tidak masalah surat itu mau dibalas atau tidak dibalas. Terpenting ada signal yang jelas dari PD, bahwa laku orang dekat presiden itu tidak elok, dan agar tidak diteruskan.
Tapi tampaknya, Pak Moel masih jalan terus, itu bisa tampak dari laku percaya diri Jhoni Allen Marbun cs yang terus mengumbar narasi bahwa KLB akan digelar bulan Maret. Maka spekulasi mengatakan, bahwa ada “restu” setidaknya lampu hijau dari Pak Jokowi untuk diadakannya KLB itu.
Maka Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) perlu mengunggah video, dan jelas-jelas pasang badan, tidak saja untuk sang putra AHY, tapi untuk menyelamatkan PD.
SBY mengatakan, bahwa PD bukan partai yang mau dijual. Tidak itu saja, banyak narasi yang jelas menyatakan sikapnya, bahwa ia akan mempertahankan partai yang dibesarkannya.
Meski ada pula narasi khas SBY, yang ingin tidak secara “terang-terangan” berhadapan dengan Presiden Jokowi. Ia katakan, bahwa ia yakin bahwa Pak Jokowi tidak tahu ulah anak buahnya itu. Pak Jokowi orang baik, tidak mungkin akan melakukan hal demikian, kata SBY. Gaya penyampaian ini biasa disebut gaya melokalisir kasus/persoalan. Dan seolah perbuatan “jahat” itu ditujukan hanya pada Pak Moeldoko.
Tapi tentu semua pastilah faham dengan apa yang disampaikan Pak SBY itu. Dan itu isyarat, agar menghentikan ulah anak buahnya. Tapi lalu KLB tetap digelar, maka jelas bahwa SBY sudah tidak diperhitungkan lagi keberadaannya, setidaknya oleh istana.
Baca: Copot AHY Lewat KLB, Itu Irrealitas Tanpa Pijakan
SBY itu jenderal smart, yang berpikir dan jika lalu bertindak senantiasa dengan perhitungan yang matang. Maka itu ia disebut lawan politiknya, atau orang yang tidak mengenalnya sebagai jenderal peragu. Padahal itu justru kekuatan dan kelebihannya.
Dan bagaimanapun juga hadirnya Pak Jokowi sebagai presiden, itu juga atas jasa tidak kecil dari Pak SBY. Soal itu tidak perlu dipungkiri. Jelas tampak dukungan Pak SBY dalam Pilpres 2009, itu pada Pak Jokowi-JK. Bahkan ketimbang dengan Prabowo-Hatta. Padahal Hatta Rajasa itu besannya sendiri.
Pasti Pak Jokowi amat ingat itu, dan jika saat ini melakukan sebaliknya terhadap Pak SBY, tentu banyak variabel yang mengikuti, yang sulit diurai. Maka lagi-lagi pernyataan tidak ada yang abadi dalam politik, yang ada adalah kepentingan, menjadi sah adanya.
Pasca KLB PD
Jangan lagi bicara, bahwa KLB Sibolangit-Deli Serdang, itu KLB abal-abal jika yang dilakukan pasca KLB itu pengesahan dari Menkumham. Pendekatan kekuasaan yang lalu menjadikannya sah menurut hukum. Dan tampaknya skenario ini setidaknya yang dipakai.
Pendekatan kekuasaan setidaknya sudah diperlihatkan dengan terselenggaranya KLB di masa pandemi Covid-19, meski lalu dibubarkan, dan itu setelah pengangkatan Moeldoko sebagai Ketua Umum PD menggantikan AHY.
Maka, KLB itu diselenggarakan, dan hanya dengan waktu sekitar 40 menit Pak Moeldoko diangkat jadi Ketua Umum menggantikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dan lagi, sungguh menggelikan, justru Pak Moeldoko tidak hadir di arena KLB, cuma muncul by phone, menyatakan bersedia jadi Ketua Umum PD.
Pasca KLB Sibolangit-Deli Serdang, ini bukan akhir kepemimpinan AHY, ini awal dari permainan. Justru soliditas partai yang dipimpinnya akan teruji, jika mampu melewati badai ini. Publik melihat ada kezaliman kekuasaan atas PD, dan itu bisa jadi nilai tersendiri buat partai ini.
Melihat itu, Ketua Majelis Tinggi PD, Pak SBY, menyampaikan sikapnya, “Sebuah perebutan kepemimpinan yang tidak terpuji, jauh dari sikap kesatria dan nilai-nilai moral,” ujarnya, di Cikeas, Bogor, Jum’at (5 Maret).
Ditambahkan, bahwa tindakan yang dilakukan Moeldoko itu hanya mendatangkan rasa malu, bagi orang-orang yang pernah bekerja bersamanya.
“Termasuk rasa malu dan rasa bersalah saya yang dalam beberapa kali memberikan kepercayaan dan jabatan kepadanya. Saya memohon ampun kehadirat Allah Swt, Tuhan Yang Mahakuasa, atas kesalahan saya itu.”
Partai Demokrat yang masih memiliki SBY, terlalu kuat untuk diambilalih dengan cara paksa demikian. PD tentu tidak sama dengan PPP, Hanura, dan PAN, yang dengan mudahnya diacak-acak.
Jika saja Menkumham lalu menyatakan KLB PD Sibolangit-Deli Serdang sah, maka Presiden Jokowi tanpa disadari telah menulis sendiri namanya dengan tinta hitam, semacam Soeharto saat pengambilalihan PDI dari Megawati di KLB Medan 1996, yang hingga kini dikenang dengan buruk. Kita lihat saja akhir dari semuanya… (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya