AL-QURAN KARIM menyitir eksplisit beberapa bentuk pertemanan yang teramat dekat dan khusus. Di antara istilah yang digunakan adalah bithanah. Berasal dari kata بطانة (bacanya bithoonah). Apa makna istilah ini?
Secara bahasa, bithanah berasal dari kata bathn ( البطن ), artinya bagian yang “paling ramah” (lunak, lembut, nyaman disentuh) dari sesuatu, yakni bagian darinya yang “menghadap” ke arah kita. Kebalikannya adalah zhahr (الظهر ), yaitu bagian yang keras, kokoh, yang membelakangi kita. Perut disebut bathn karena makna ini, dan kebalikannya adalah zhahr (punggung).
Derivat dari bentuk asli tersebut nyaris tidak bergeser maknanya. Pengertian-pengertian dasarnya akan memberi gambaran imajinatif yang memperlengkapi makna yang dimaksudkan bangsa Arab ketika mereka menyebut sesuatu dengan memakai salah satu derivat (bentuk turunan) dari kata ini.
Bagian dalam dari sesuatu disebut baathin ( الباطن ), lawan dari zhaahir الظاهر . Dua istilah ini juga termasuk di antara Asmaul Husna, karena Allah adalah Dzat yang mengetahui bagian dalam maupun luar dari segala sesuatu, yang tampak maupun tersembunyi darinya. Begitulah, jika seseorang mengetahui “jerohan” dan rahasia tersembunyi dari sesuatu, ia akan mengatakan “bathontu hadzal amra” ( بَطَنْتُ هَذَا الأَمْرَ ).
Klan, yakni keluarga besar yang menjadi bagian dari sebuah suku/kabilah, disebut juga bathn ( البطن ), karena ia bagian dalam darinya. Jika seseorang berjalan-jalan di dalam sebuah padang rumput, ia akan mengatakan “tabaththontu al-kala’” ( تَبَطَّنْتُ الكَلَأَ ). Sabuk yang menjadi pengikat pelana kuda/unta disebut bithoon ( البطان ), karena ia menempel ke perut kuda/unta itu.
Adapun bithanah sendiri, makna aslinya adalah bagian dalam dari baju, kebalikan dari zhihaarah ( الظهارة ). Jamaknya adalah “bathoo-in“, sebagaimana dinyatakan dalam Qs. ar-Rahman: 54.
مُتَّكِئِينَ عَلَىٰ فُرُشٍ بَطَائِنُهَا مِنْ إِسْتَبْرَقٍ ۚ وَجَنَى الْجَنَّتَيْنِ دَانٍ
Artinya: “Mereka bertelekan di atas permadani yang sebelah dalamnya dari sutera. Dan buah-buahan di kedua surga itu dapat (dipetik) dari dekat.”
Bithanah juga digunakan untuk menyebut baju dalaman — disebut syi’aar ( الشعار ) — yang dipakai di balik baju lain — disebut ditsaar ( الدثار).
Dalam penggunaan selanjutnya, makna-makna ini dipinjam untuk menyebut seseorang yang sangat dekat dengan kita, seperti bagian dalam baju atau baju dalaman yang bersentuhan langsung dengan kulit pemakainya.
Maka, teman yang seperti ini sifat kedekatannya, ia disebut dengan bithanah, dikarenakan ia sangat dekat dengan kita sedekat bagian dalam dari baju kita sendiri. Kita merasa nyaman bersentuhan langsung dengannya, senyaman kita mengenakan baju dalaman. Ia biasa masuk dan berkeliling dengan bebas dalam “dunia” kita serta mengetahui rahasia-rahasia tersembunyi di dalamnya, seperti seseorang yang bebas berjalan-jalan ke sana ke mari di sebuah padang rumput tanpa ditegur dan dipersoalkan.
Oleh karena itu, kita dilarang mengambil bithanah dari selain kaum muslimin sendiri, demi alasan-alasan keamanan (security), sebagaimana ditegaskan dalam Qs. Ali Imran: 118.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, dari luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”
Terakhir, maksud dari istilah bithanah sebenarnya sama dengan waliijah, hanya saja ia memotret gambaran kedekatan ini dari sudut yang berbeda. Jika istilah waliijah menekankan pada makna “masuk dan menyusup sehingga bercampur menyatu dan tidak bisa dibedakan”, maka istilah bithanah menekankan pada makna “menempel sedemikian dekat dan menjadi bagian dari diri kita sendiri”.
Konsekuensi akhirnya sama, yakni ia mengetahui rahasia dan urusan tersembunyi kita. Maka, berhati-hatilah! Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar, konsultan pendidikan PP Ar Rahmah Malang