Sambungan artikel PERTAMA
MENURUT Dr Saiful Bahri, pakar Tafsir dan dosen Pasca Sarjana PTIQ Jakarta, wacana pengarusutamaan gender (PG) yang menjelma di mana-mana bukan sesuatu kebetulan dan tidaklah muncul sebagai sebuah gerakan independen. Tapi lebih merupakan desain global yang memiliki target jangka panjang.
Di antaranya upaya desakralisasi syariat (hukum Islam) dan yang paling mendasar adalah desakralisasi (penghilangan kesakralan) nilai-nilai yang ditanamkan dan dipegang dalam pernikahan yang dalam agama Islam dikenal sebagai ”mîtsâqan ghalîdhan”.
Maka wacana-wacana tersebut diperjuangkan sampai final memasuki ranah konstitusi di tingkat internasional. Sebagai sebuah lembaga representasi perkumpulan paling bergengsi di dunia, PBB pun akhirnya takluk di tangan para pejuang kesetaraan gender. [Kesetaraan Gender dan Desakraisasi Agama, Dr. Saiful Bahri, M.A).
Sebagaimana diketahui, paham gender juga telah di ajarkan di beberapa kampus dan perguruan tinggi Islam. Beberapa kampus di UIN/IAIN juga menggunakan panduan penyusunan silabus pengajaran berbasis gender. Dalam mata kuliah sebagaian mahasiswa diajarkan bagaimana menafsirkan al-Qur’an dalam kerangka paham feminisme. Juga silabus yang menggunakan metode hermeneutika dalam menafsirkan al-Qur’an, seperti halnya kaum feminis Barat yang menggunakan metode seperti dalam memaknai Bibel.
Menempatkan al-Qur’an dalam kerangka paham feminisme atau pendekatan hermeneutika berakibat fatal. Sebab isinya hanya akan mendekonstruksi hukum-hukum Islam (syariat), dan menempatkan al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj tsaqafi).
Padahal dalam Islam, di sisi Allah, pria dan wanita itu sama. Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 35 cukup memberi penjelasan. Baik laki-laki maupun perempuan akan mendapat ampunan dan pahala yang sama besar jika mereka ta’at, sabar, bersedekah dan senantiasa mengingat Allah.
Di ayat lain, Allah tidak pembedaan lelaki dan perempuan dalam urusan amal. Sebab Amal sholeh dan keimanan dalam Islam tidak ditentukan jenis kelamin (QS Ali-Imran: 195).
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لاَ أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُواْ وَأُخْرِجُواْ مِن دِيَارِهِمْ وَأُوذُواْ فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُواْ وَقُتِلُواْ لأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ ثَوَاباً مِّن عِندِ اللّهِ وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang- orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan.” (QS: Ali Imran: 195]
Karena itu, dalam silatnas tahun 2014, Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia (MIUMI) merilis Fatwa 01/Silatnas-3/MIUMI/IX/2014 tentang Paham Kesetaraan Gender sebagai tindak lanjut Fatwa MUI tentang Paham Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme Agama dan Fatwa MUI tentang Kriteria Maslahat tahun 2005.
Isinya menjelaskan, fatwa yang menyoroti paham-paham liberal ini merusak sendi-sendi syariat Islam. Karena dampak paham ini di antaranya menggugat syariat Islam. Misalnya mengguat aturan dalam warisan, talak, iddah, shlat/khutbah Jumat, shaf shalat, ketentuan kambing aqiqah, batasan aurat, lesbianisme, penghalalan kawin beda agama.
Walhasil, gerakan gender hanyalah proyek Barat yang hanya akan menjauhkan kaum wanita dari fitrah dan kodratnya. Sebab dalam Islam tidak dikenal kesetaraan tapi keserasian. Perbedaan tak menghalangi keduanya, namun, saling melengkapi karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Sementara Islam sangat memuliakan wanita, sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
اِسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim: 3729)
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku.” (HR Tirmidzi).*/Masykur Abu Jaulah