Hidayatullah.com–Mentari terbenam di balik kapal-kapal feri yang membawa penumpang menuju kepulauan Yunani, ratusan pengungsi yang kepanasan dan lelah berbaris di depan sebuah trailer yang terletak di tempat parkir yang luas. Mereka belum makan ataupun minum sejak jam 4 pagi.
Sudah jelas bahwa pemerintah Yunani sedang mencoba untuk membantu pengungsi selama Ramadhan. Tetapi meskipun begitu, kondisi di Piraeus sangatlah buruk.
Hedda Grew, seorang relawan Tim NGO Swedia, mengatakan puasa Ramadhan hanya menambah ketegangan diantara orang-orang yang despresi tentang keadaan mereka.
“Mereka tidak bisa minum, mereka tidak bisa makan, mereka hanya duduk di tenda mereka yang panas sepanjang hari, dan hal itu merupakan gabungan antara Ramadhan dan menunggu,” kata dia dikutip laman PRI’s The World.
Saya berjalan ke sebuah wilayah yang lebih sepi di kamp tersebut di mana saya bertemu dengan Amal Herh, seorang ibu muda empat orang anak yang berasal dari Aleppo.
Namanya mempunyai arti “Hope (Harapan)” dalam bahasa Inggris. “Saya mempunyai banyak harapan,” kata dia. “Tetapi saat ini saya harus kuat, lebih kuat, untuk keluargaku.”
Amal menunjukkan wajah yang meyakinkan, tetapi saya dapat melihat penderitaan di matanya. Dia mengatakan padaku bahwa Ramadhan membuatnya lebih lama di rumah.
“Saya ingin pergi ke Aleppo pada Ramadhan, memasak dan air dingin serta tempat yang baik, tidak seperti ini,” kata dia. “Beberapa buah yang bagus, bukan jeruk setiap hati. Kamu tidak dapat menyukai makanan yang sama setiap hari, ya kan?
Saya mengatakan padanya saya mengerti. Orang-orang itu mengatakan padaku bahwa Ramadhan merupakan sebuah waktu yang sangat menyenangkan sekali dalam setahun, dengan keluarga, dan makanan khusus.
“Tetapi saya tidak mengatakan apa yang bisa saya katakan padamu, karena saya sangat sedih sekarang, karena saya merindukan rumah.”
Malam selanjutnya saya menerima undangan berbuka puasa yang sangat berbeda dengan Anna Stamou, seorang wanita Yunani yang telah masuk ke dalam Islam, dan suaminya, Naim el Ghandour, presiden Asosiasi Muslim Yunani. Naim dilahirkan di Mesir.
Setelah berbuka puasa Anna menjadi penerjemah bagi Naim karena dia berbicara dalam bahasa Yunani. Dia sedih karena ribuan pengungsi Muslim merayakan Ramadhan di kamp-kamp. Tetapi dia mengatakan padaku dia senang mengetahui Yannis Mouzalas, menteri migrasi Yunani, berupaya menunjukkan dukungan selama Ramadhan.
“Hal itu sangat menggembirakan kami,” kata dia.
Para pengungsi berada dalam keadaan yang menyedihkan di Yunani. Tetapi Naim, yang meninggalkan kampung halamannya Mesir pada 1967, bersyukur setidaknya mereka jauh dari kekeraaan.
“Mereka lebih baik daripada berada di sana dan mungkin bom akan menjatuhi kepala mereka sekarang jika tetap di sana dan mereka dapat merayakan, tidak apa-apa,” kata dia.
Tetapi berkah Ramadhan terbaik bagi mereka adalah dengan berakhirnya pertempuran.
“Aku berharap akan ada sebuah solusi dengan Eropa untuk menghentikan perang,” kata dia. “Karena itu lah permasalahannya – untuk menghentikan perang. Mereka semua ingin kembali. Kami pastinya berharap bahwa Ramadhan selanjutnya akan dapat kami temui tanpa perang.”
Setelah itu saya terus kembali memikirkan Amal di tendanya di Piraeus. Tidaklah mudah merasakan martabatmu menjauh, khususnya selama liburan. Aaya berharap saya dapat membawakan mereka air dingin dan jeruk yang baru saja dikupas dari Aleppo selama Ramadhan.*/Jeanne Carstensen dan Jodi Hilton sedang melakukan peliputan tentang krisis pengungsi di Yunani dengan dukungan dari Pulitzer Center.Diterjemahkan Nashirul Haq AR