Oleh: Gusrizal Gazahar
DALAM menetapkan hukum, ulama terus berusaha mencari alasan hukum atau “illat”. Walupun tidak semua hukum itu bisa ditemukan ‘illatnya namun para ulama tetap memasukkan hukum itu ke dalam suatu timbangan yang memberikan sedikit banyaknya timbangan nalar. Maqashid syari’ah mereka jadikan sebagai slot alasan yang menguatkan kebenaran hukum yang ditetapkan.
Ketika saya membaca ada pernyataan “menghormati orang yang tidak berpuasa karena itu tak perlu ditutup rumah makan di siang bulan Ramadhan”, saya mencoba mencari tahu apa ‘illat atau alasan pernyataan itu.
Akhirnya saya temukan alasannya yaitu, “adanya orang yang musafir dan orang-orang yang punya udzur lainnya”.
Nah, tampaknya pernyataan “menghormati” tersebut merupakan suatu lompatan yang sangat jauh dibandingkan dengan fatwa ulama dalam masalah “rukhshah”.
Dua kaedah liberal dan pluralis agama, menurut saya telah menjadi sandaran pernyataan :
- Mayoritas harus berkorban apa saja demi minoritas.
- Penghormatan harus diberikan kepada siapapun yang berbeda karena kalau tidak, maka itu namanya “pemaksaan kehendak”.
Anehnya, dua kaedah itu hanya diterapkan bila umat Islam menjadi mayoritas.
Kalau mau menelusuri alasan yang dikemukan, untuk perosalan ini, bisa saja ide itu disetujui asal negara menjalankan dua fungsi yang berimbang. Beri fasilitas orang-orang yang punya ‘udzur untuk tidak kesulitan mendapatkan makanan tapi jamin pula agar yang makan itu betul-betul mereka yang mendapatkan rukhshah.
Dan jangan lupa, laksanakan teori itu dengan adil.
Konkretnya, harus ada petugas seleksi di setiap rumah makan karena ketika orang yang tidak berpuasa tanpa ‘udzur dibiarkan makan dan minum terang-terangan, itu sudah pelecehan dan penghinaan terhadap ajaran syari’at Islam!
“Tentu jawabannya bisa kita bayangkan. Itu sulit, itu wilayah pribadi dan alasan lainnya”.
Nah kalau ingin menghormati, hormatilah seluruh pihak! Jangan hanya sepihak. Itu logika pembuat pernyataan yang saya turuti.
Kalau mau diikuti alur berdalil (bukan berdalih) menurut syari’at Islam, maka ketahuilah bahwa rukhshah adalah hukum pengecualian yang tidak berlaku secara umum tapi berlaku karena alasan khusus di luar kebiasaan normal.
Bila demikian adanya, tentu pelaksana hukum asal (‘azimah), harus ditempatkan dalam penghormatan utama karena mereka sedang menjalankan ‘ibadah yang seharusnya dilakukan oleh pemilik ‘udzur bila bukan dalam kondisi ‘udzur tersebut.
Bila dibalik, maka jadilah pemilik ‘udzur mendapatkan kehormatan dan pelaku ibadah ashal menjadi kehilangan kehormatan.
Apalagi bila yang makan dan minum bukan pula mereka yang punya ‘udzur syar’iy ! Itu bukanlah menghormati mereka yang tak berpuasa tapi menghormati kemaksiatan dan kejahatan moral mereka yang durhaka!
Ingatlah sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam berikut ini !
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ ….ُ ”
“Dari Salim bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku mendengar Abu Hurairah berkata : Aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda :“Seluruh umatku akan diampuni kecuali Al-Mujaahiruun (orang-orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan)…” [HR. Al-Bukhariy]
Jadi, ini adalah pernyataan yang tidak ada alasan yang bisa diterima nalar sehat dan tak lebih dari menganggukkan mereka yang selama ini ingin mengembangkan SiPILIS (Sekukarisme, Pluralisme dan Liberalisme)
… إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“… Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”.
Namun ternyata bahasa ini tidak mempan sehingga tahun ini semakin menjadi-jadi bahkan dengan bumbu memanas-manasi oleh media masa penyudut umat Islam.
Kalau bahasa bujukan tak berkesan, tampak bahasa teguran yang harus dikemukakan.
“Saudara-saudara penguasa, berhentilah mempermainkan ghairah umat Islam terhadap agama mereka karena itu permainan yang sangat berbahaya!”*
Penulis Ketua Bidang Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat