Oleh karena itu, rencana pmemerintah untuk merealisasikan proyek Food Estate perlu dikaji ulang tingkat urgensitasnya
oleh: Mela Ummu Nazry
Hidayatullah.com | TIGA tahun setelah dicanangkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), proyek lumbung pangan atau Food Estate terus menuai polemik. Klaim keberhasilan Food Estate (lumbung pangan)dalam meningkatkan produktivitas pangan oleh Menteri Pertanian dan Gubernur Kalimantan Tengah, berbanding terbalik dengan fakta di lapangan.
Proyek ini justru menemui banyak permasalahan, yakni banyak terjadi gagal panen, perambahan hutan dan tanah masyarakat adat, hingga akhirnya berdampak pada terjadinya bencana alam serta konflik sosial. (Jakarta, Maret 2023, tropis.co.id).
Senada dengan hal tersebut, Dari awal perencanaan Food Estate di Sumatra Utara, Ombudsman RI menduga sudah terdapat tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum. Contohnya tidak adanya kajian atas dampak lingkungan dan sosial yang lengkap kemudian permasalahan pembebasan lahan hingga penghargaan budaya lokal.
Karenanya, rencana pemerintah untuk mengembangkan Food Estate di Kalimantan Tengah ditolak oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Proyek tersebut dinilai sarat akan kepentingan ekonomi, investasi, dan hanya menguntungkan segelintir orang.
Food Estate atau komplek pangan skala-luas lambat laun juga akan merubah pola kerja pertanian yang semula berbasis pada ketahanan pangan rumah tangga menjadi pola kerja pertanian komersial ala Food Estate. Oleh karena itu, rencana pmemerintah untuk merealisasikan proyek Food Estate perlu dikaji ulang tingkat urgensitasnya hari ini.
Sebab masalah utama ketahanan pangan terletak pada sisi keadilan dan distribusi, bukan dari sekedar meningkatkan Jumlah produksi semata. Yakni dari harga yang harusnya terjangkau, ketersediaan akses, serta pemenuhan hak-hak para petani.
Karenanya solusi atas masalah ketahanan pangan adalah kembali pada konsep tata kuasa petani dan masyarakat, tata kelola praktik lokal, tata produksi hulu ke hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan tata konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan setempat, bukan dengan membuat komplek pangan skala luas yang subyek atau pelakunya adalah pemerintah dan para investor, bukan petani lokal.
Sebab hal demikian akan menciptakan banyak masalah yang justru tidak akan mengantarkan pada keberhasilan program ketahanan pangan yaitu kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi rumah tangga yang dihasilkan dari ketersediaan pangan yang cukup mulai dari jumlah maupun mutunya tetap aman, merata dan mudah dijangkau.
Akan tetapi hanya akan meningkatkan produksi pangan berlebih yang menjurus pada komersialisasi pangan, yang tidak berbanding lurus dengan kemampuan konsumen (masyarakat) dalam memperoleh pangan yang mereka butuhkan.
Sebab hasil produksi Food Estate akan dijual kepada masyarakat luas, dengan harga jual yang telah ditetapkan oleh para korporate yang mengelola Food Estate dan dari pihak para investor. Bahkan bisa jadi akan lebih mengutamakan ekspor pangan keluar negeri ketimbang memenuhi pasokan pangan dalam negeri.
Dan pemenuhan pangan dalam negeri kembali dipenuhi dengan jalan impor. Lagi-lagi rakyat kecil tak mendapatkan nilai manfaat dari keberadaan Food Estate ala kapitalis ditengah-tengah mereka.
Sebab pemilik dan penguasa Food Estate ala kapitalis adalah pemerintah yang diwakili oleh korporate lokal dan para investor. Hal demikian akan semakin banyak menciptakan masalah, sebab produksi massal pangan dari Food Estate juga akan berpengaruh besar terhadap daya saing dalam hal penjualan produk pangan para petani lokal diluar Food Estate dengan pangan hasil produksi Food Estate.
Pangan hasil produksi petani lokal diluar Food Estate tidak akan laku terjual. Jikapun dijual terpaksa harus menerima harga yang sangat jauh dari harapan. Hal demikian akan memberikan pengaruh besar bagi timbulnya kemiskinan dan beragam masalah sosial dimasyarakat.
Maksud untuk mencapai target ketahanan pangan dengan proyek Food Estate ala kapitalis yang konsepnya dijalankan pemerintah hari ini tidak akan terealisasi.
Berbanding terbalik dengan konsep Food Estate dalam Islam. Akan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada para petani lokal dan masyarakat dalam menggarap lahan pertanian, semaksimal kemampuan mereka.
Dalam Islam, pemerintah akan menyediakan beragam sarana yang dapat memudahkan para petani dalam mengelola lahan pertanian miliknya. Sebab lahan pertanian yang digarap dan ditanami akan menjadi hak milik para petani yang menanaminya.
Pemerintah dalam Islam akan membangun infrastruktur yang dapat memudahkan distribusi hasil pertanian para petani kesegala penjuru negeri yang mereka mau, sehingga distribusi produk pertanian akan berjalan dengan baik, dan masyarakat akan dapat memenuhi kebutuhan pangannya dengan mudah.
Pemerintah akan membangun jalan-jalan yang akan dilalui para petani untuk mendistribusikan hasil pertaniannya dan membawanya ke pasar-pasar.
Pemerintah akan membangun pasar dimana para pembeli dan penjual mudah bertemu dan bertransaksi, pemerintah akan membangun pabrik pupuk yang dibutuhkan oleh para petani dan mendistribusikannya kepada para petani dengan harga murah atau bahkan gratis, pemerintah akan membuat industri pembuatan alat dan mesin pertanian yang akan memudahkan para petani dalam beraktivitas dilahan pertaniannya dan mengolah hasil pertaniannya.
Pemerintah akan membangun lembaga-lembaga penelitian tempat dihasilkannya bibit unggul yang akan dipakai oleh para petani dilahan pertaniannya. Sehingga bisa dihasilkan Food Estate dalam skala besar yang kepemilikan lahan dan penggarapannya dilakukan seratus persen oleh para petani lokal dan masyarakat.
Hal demikian akan benar-benar menyumbangkan pada ketahanan dan kedaulatan pangan yang sesungguhnya pada masyarakat luas dan disatu waktu akan menyumbangkan kestabilan politik dalam negeri.
Sebab pemerintah dalam Islam yang menerapkan syariat Islam akan benar-benar melakukan fungsinya sebagai pengurus urusan rakyat, bukan sebagai calo atau makelar yang pandai menjual aset negara atas nama investasi.
Karena sejatinya pemerintah adalah pemimpin dan periayah (pengurus) urusan masyarakat yang wajib memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya dengan mekanisme yang telah ditetapkan syariat Islam, dan menutup setiap celah penjajahan gaya baru termasuk dalam proyek Food Estate ala kapitalis yang sarat dengan kepentingan para pemilik modal besar, para kapitalis dan sekelompok oligarki penguasa negeri. Wallahualam.*
Penulis peminat masalah kebijakan publik