Fitrah merupakan komponen penting dalam Islam yang erat hubungannya dengan prilaku dan iltizam seseorang dalam mematuhi perintah Allah SWT
Oleh: Dr. Sohirin Mohammad Solihin
Hidayatullah.com | ADA banyak ragam pendapat tentang fitrah (bacanya: fitroh). Dalam lexiography fitrah berarti inshaqa yang berarti membelah suatu kejadian.
Hal ini sejalan dengan ayat yang menyebut, idha al-sama infatarat dan juga fatara al-samawati wa al-ard yang berarti Allah membelah penciptaan langit dan bumi.
Allah SWT sebagai pencipta alam semesta menyediakan tatanan kehidupan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul-Nya agar diikuti oleh umat manusia demi keselamatan dalam mengarungi bahtera kehidupan.
Sebagian besar pendapat menyebut adanya hubungan antara fitrah dengan keislaman seseoramg seperti disebut oleh baginda Rasulullah ﷺ,
كل مولود يولد على الفطرة، حتى يكون أبواه يهوِّدانه وينصِّرانه ويمجِّسانه
Dalam hadits di atas kata fitrah yang berasal dari kata fatara, berarti penciptaan Allah pada seorang hamba di mana sejak awal mengakui keesaan dan kebenaran ajaran-Nya.
Fitrah merupakan sifat dan kecenderungan seseorang dalam mengikuti ajaran keagamaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada para nabi dan rasul-Nya. Menurut jumhur ulama setiap anak terlepas dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh orang tuanya, saat lahir dari rahim sang ibu dia dalam status keislaman.
Dalam perkembangan selanjutnya bisa jadi berubah menjadi kufr karena pengaruh lingkungan di mana ia dibesarkan.
Sebagian ulama menganggap kata fitrah berarti sikap konsistensi atau istiqamah. Lebih tegas disebut bahwa pengertian fitrah berkaitan erat dengan penciptaan manusia di mana sejak awal memiliki ma’rifatullah.
Makna fitrah berarti Islam. Hal ini merupakan cara pandang ulama salaf dalam mengartikan kata fitrah.
Berdasarkan argumentasi di atas, sepotong hadits yang menjadi landasan tentang fitrah, memberi isyarat bahwa tidak disebutnya kata Islam merupakan bukti keaslian atau originalitas keislaman yang melekat pada diri manusia sejak lahir. Pendapat ini diperkuat dengan ayat,
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
:Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.) Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS: Surat a-Rum [30]: 30).
Kitab tafsir klasik menerjemahkan fitratallah allati fatara al-nas alayha berarti din al-Islam. Sedang kata la tabdil li khalqillah bermakna agama Islam tak mungkin berubah.
Namun demikian terdapat pendapat yang mengatakan bahwa kata fitrah seperti yang tersebut dalam ayat di atas bukan berarti Islam karena tidak mungkin seorang anak yang baru lahir dapat memahami ajarannya. Seseorang tidak mungkin mengikuti kebenaran tanpa melalui proses berfikir, tambahnya. Pendapat ini berlandaskan ayat yang menyebut,
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur.” (QS: An-Nahl [16]: 78).
Katanya lagi anak yang baru lahir belum dapat berfikir karena akalnya juga masih belum berfungsi. Allah SWT menciptakan panca indera berupa pendengaran dan penglihatan dan bahkan pemikiran atau al-afidah sebagai instrumen dalam mencerna kebenaran.
Bahkan terdapat kalangan yang menyebut bahwa kata al-fitrah berarti sikap konsistensi dalam mempertahankan nilai kebenaran dan keadilan. Hanya saja pengertian ini tidak dapat dibenturkan atau dikontraskan antara fitrah yang berarti keislaman mau pun kebenaran.
Mengapa demikian? Karena pada hakekatnya ajaran Islam menyeru agar mengikuti yang haq demi keselamatan kehidupan di dunia dan akherat.
Jika dirununt lebih jauh Islam memiliki berbagai dimensi pengertian yang pada intinya berkaitan dengan menegakan kedamaian berdasarkan nilai-nilai keadilan guna menyelamatkan ummat manusia dari gunjangan jiwa yang melanda kehidupan saat dikuasai oleh keinginan hawa nafsu.
Imam Ibnu Asyur juga menyebut bahwa fitrah berkaitan erat dengan sikap konsistensi saat berinteraksi di tengah masyarakat. Menurutnya, komitmen seseorang dalam mempertahankan fitrah yang diberikan oleh Allah bersifat fluctuative.
Dalam memaknai fitrah juga diseleraskan dengan pemikiran filsafat yang dikemas oleh kalangan non-Muslim. Bagi yang pernah belajar pedagogical science tentunya ingat pemikiran John Lock yang dikenal dengan Tabula Rasa Theory.
Katanya, setiap bayi yang lahir dinisbatkan laksana kertas putih tanpa noda dosa sedikit pun. Terjadinya orientasi pemikiran kehidupan dan keagamaan disebabkan adanya cultural influence.
Maka seseorang yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan komunis misalnya, tentu saat dewasa dia akan menjadi komunis pula. Persoalannya, bagaimana John Lock yang notabene non-Muslim alur pemikirannya senafas dengan hadits rasulullah ﷺ.
Apa sempat kepergok membaca hadits itu yang menyebabkan teori pendidikan yang dikemas mirip dengan pedoman keagamaan (baca: Islam).
Sedikit mengaitkan teori tawil al-Quran, setiap mufassir memiliki nuansa pemikiran yang berlainan sesuai dengan thaqafah serta lingkungan budaya yang pernah diserap seiring dengan perkembangan intellectual maturity.
Selain itu bahasa dan pesan ajaran al-Quran tidak pernah usang dalam merespon isu dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Pemikiran tafsir klasik memiliki penekanan yang berlainan dengan pendapat yang menyembul di era pemikiran Islam setelah mengalami persentuhan dengan budaya luar khususnya di kalangan ilmuan Barat.
Nuansa tafsir klasik kebanyakan berkutat dalam memberi makna mufradat atau kosa kata ayat-ayat al-Quran. Sejak pertumbuhannya tidak pernah merujuk kepada fikrah dari kalangan non-Muslims.
Kembali kepada pembahasan masalah fitrah yang menjadi tema sentral dalam kajian ini ternyata di kalangan ulama kontemporer, terdapat kelompok yang memberi jastifikasi nilai ‘kebenaran’ sekali pun datang dari sumber lain.
Bahkan terdapat pula yang mengadopsi ide pemikiran yang dikembangkan oleh pihak lain dalam meng-elaborasi makna dan cakupan dalil-dalil keagamaan baik yang bersumber dari kitab suci al-Quran mau pun hadits. Hal ini memberi isyarat semakin meluasnya pemikiran Islam di tingkat globalintas geografis dan etnis kemanusiaan.
Diversifikasi Keagamaan
Kelihatannya memang merupakan iradah ilahiyyah di mana penciptaan manusia tidak seluruhnya menjadi Muslim, melainkan terjadi polarisasi dari segi kecenderungan keagamaan sesuai dengan impactful environment yang berkembang.
Hal ini dapat kita dilacak di beberapa ayat yang menyebut,
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dialah yang menciptakan kamu, lalu di antara kamu ada yang kafir dan ada yang mukmin. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al-Baqarah [2]: 64).
Ayat berikut menjelaskan bahwa Allah SWT menciptakan kemanusiaan dengan ragam pemikiran dan affiliasi keagamaan,
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُدْخِلُ مَنْ يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ وَالظَّالِمُونَ
مَا لَهُمْ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia akan menjadikan mereka umat yang satu. Akan tetapi, Dia memasukkan orang-orang yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Adapun orang-orang zalim, mereka sama sekali tidak memiliki pelindung dan penolong.” (QS: As-Syura [42]: 8).
Dengan melihat ke dua bukti di atas maka dapat disimpulkan bahwa adanya diversifikasi keagamaan merupakan takdir ilahi. Hanya saja kita mesti dapat menyikapi hikmah terjadinya polarisasi pemikiran dan juga tentang isu keagamaan.
Adalah merupakan sunnatullah akan terjadikan pluralistic di setiap ciptaan. Jangankan soal pemikiran, alam semesta ini juga diwarnai berbagai tumbuh-tumbuhan, bunga-bunga dan juga buah-buahan yang beraneka ragam bentuk mau pun rasa.
Orang Afrika saat pertama kali makan rambutan, katanya, nikmat dan tak pernah terbayang sebelumnya. Demikian juga buah durian yang berbentuk seperti tempurung berduri, ternyata di dalamnya terdapat bungkukan berwarna kekuningan dengan aroma dan rasa yang begitu lezat.
Rasanya otak manusia yang merupakan anugerah Allah SWT juga memiliki kemampuan yang berlainan dalam mencerna pemikiran. Apa sebenarnya hikmah di balik kemunculan ragam pemikiran yang berbeda?
Dalam refleksi sederhana tentunya dimaksudkan agar komitmen keagamaan mampu bersaing dalam mengetengahkan nilai kebajikan. Konsep amar ma’ruf misalnya, tidak boleh dipahami secara sempit dalam mengetengahkan konsep kebaikan dan keadilan sehingga orang yang mendengar merasa yakin untuk menjadikannya sebagai modal utama dalam menggapai ‘kebahagiaan’ dunia dan akherat.
Interaksi Lintas Etnis
Setiap anak cucu Adam dibekali naluri bersosialisasi. Dalam ilmu sosiologi manusia disebut social being.
Bahkan kalangan ulama kontemporer menyebutnya sebagai khalq al-ijtimai yang berarti mahluk kemasyarakatan. Interaksi kemanusiaan merupakan kemestian dalam memenuhi nalurinya yang bisa jadi berdasarkan etnis, agama, profesi dan bahkan ideological affiliation.
Kadang-kadang manusia terobsesi ingin mengejar kebahagiaan yang hanya akan dapat dicapai melalui interaksi kemasyarakatan. Jika terdapat sementara kalangan yang gemar meng-isolir diri tanpa greget ingin membaur dengan pihak lain, berarti bertentangan dengan fitrah kejadiannya.
Bukti tentang manusia sebagai social being dapat kita saksikan di pelbagai lini kehidupan. Berbagai jenis platform perkumpulan baik berupa keagamaan mau pun lainnya yang bersifat professi mau pun political groupings, merupakan upaya memenuhi sifat keaslian dan natural tendencies.
Hanya perlu disadari saat bersosialisai bisa jadi mengalami benturan pemikiran dan silang pendapat serta behavioral conduct yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan.
Kelompok manipulator, koruptor, dan exploitator bermunculan menghadang dan bahkan mereduksi nilai-nilai fitrah dalam mengarungi bahtera kehidupan. Adalah menjadi semacam legalitas bahwa dunia ini laksana theatre terbuka yang menampilkan berbagai drama kehidupan dan bahkan benturan yang tidak mungkin ter-elakan.
Untuk itu, tiap orang hendaknya selalu waspada akan adanya faktor eksternal yang akan menggerus fitrah yang menyelinap di bagian terdalam dalam diri manusia.
Ada sementara anggapan yang menyebut bahwa mencapai kebahagiaan di akherat hanya dapat dilakukan dengan mengisolir diri dan meninggalkan kehidupan keduniaan.
Pendapat ini sangat mengelirukan. Banyak acuan dalam al-Quran agar tidak meninggalkan kehidupan keduniaan. Melakukan zikr berjam-jam seharian tanpa menghiraukan eco-sytem lingkungan dan urusan pendidikan dan nafkah keluarga, juga tidak dibenarkan.
Penulis pernah berjumpa dengan seorang pemuda keturunan Tionghoa melakukan kegiatan bisnis yang selalu dibanjiri oleh customers. Kami mengantar isteri karena kebetulan bisnisnya berkaitan dengan aneka ragam peralatan keperluan rumah tangga.
Walhasil commercial center miliknya menjadi buronan ibu-ibu. Saya katakan, ‘Anda ini memang trouble maker dan membuat para suami kewalahan karena isteri mereka berbondong-bondong membanjiri barang jualan Anda’.
Oh tidak, jawabnya. Saya jualan dengan harga sangat rendah. Saya berusaha berbuat yang terbaik dan amanah serta tidak pernah melakukan eksploitasi. Bahkan niat saya semata-mata ingin menolong orang yang berpenghasilan rendah, tambahnya.
Yang mengherankan sistem bisnisnya, katanya, dikelola dengan mengikuti pola dan jejak moral nabi Muhammad ﷺ. Konon dia begitu impressive saat membaca sirah kenabian di mana ajarannya tidak bertentangan dengan naluri atau fitrah kemanusiaan.
Dulu saya mengikuti agama Hindu tetapi ajarannya tidak masuk akal. Seorang yang ingin masuk syurga, katanya, harus mengisolir diri tinggal di hutan dan menjauh dari interaksi kamanusiaan sebagai manifestasi spiritual.
Lah, Nabi Muhammad ﷺ justeru pernah bekerja sebagai manager untuk menopang kehidupan sehari-hari. Menuju akherat, katanya lagi, ya, harus menjalani kehidupan dunia yang tidak boleh kita tinggalkan. Kehidupan duniawi mesti dijadikan sebagai lahan menuai kebaikan melalui interkasi kemanusiaan, tegasnya.
Al-Quran menganjurkan agar kita bersosialisasi tidak meninggalkan kehidupan duniawi karena kehidupan di alam methapysic tak mungkin tercapai dengan mengurung diri seperti bersemedi di tengah hutan belantara atau mendekam di tempat peribadatan tanpa melakukan kegiatan menegakan kebaikan atau amar ma’ruf di tengah masyarakat. Lihat pesan ayat ini,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ
كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila shalat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS: Al-Jumu’ah (Jumat) [62]: 10)
Dalam kegiatan keagamaan seperti yang dikemas oleh Jamaah Tabligh misalnya, kita sering mendengar ungkapan yang menekankan pentingnya khuruj sampai berbulan-bulan ke daerah lain dan bahkan ke luar negeri meninggalkan keluarga tanpa memikirkan nafkah mereka.
Hujjah mereka sangat sederhana. Urusan keluarga pasrah saja kepada Allah SWT, begitu katanya.
Pandangan seperti ini sangat rancu dan seseorang yang fitrahnya sehat akan tetap memikirkan tanggung jawab keluarga, isteri dan anak dengan upaya menjalankan kebajikan mencari nafkah yang pada intinya juga merupakan bagian dari spiritual devotion atau ibadah.
Di tingkat kepakaran atau professionalism segala potensi keilmuan menurut bidang masing-masing hendaknya dikerahkan untuk menegakkan kebajikan dan meng-eliminasi berbagai jenis kemungkaran yang muncul di tengah masyarakat.
Sikap seperti ini mesti dijalankan demi mempertahankan fitrah jangan sampai terjerumus dalam prilaku yang merugikan pihak lain. Jika Anda seorang pakar kesehatan dan memilih profesi sebagai dokter, hendaknya dimanfaatkan untuk memburu amal shaleh melalui profesinya.
Seorang dokter yang fitrahnya sehat tidak mungkin terpikirkan hendak meng-ekploitasi seorang pesakit mau pun menyalah gunakan obat-obatan semata-mata karena ingin mengeruk keuntungan.
Jika Anda seorang birokrat dalam kepemerintahan jangan sekali-kali menggunakan harta milik negara untuk kepentingan pribadi. Harap muhasabah diri bahwa jabatan yang dimiliki merupakan amanah yang mesti ditunaikan dengan kejujuran dan keihlasan dalam mengabdi kepada negara dan bangsa.
Nah, sikap seperti ini berarti dalam waktu yang sama sebagai upaya pemeliharaan dan merawat fitrah agar tetap tegar mempertahankan nilai-nilai kebenaran sebagai manifestasi ibadah.
Jadi agama yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad ﷺ tidak dapat dipisahkan dengan pengabdian masyarakat. Ibadah mahdah yang titik sentralnya dilakukan dengan kegiatan kerohanian merupakan sarana penting dalam merawat fitrah jangan sampai terlepas dari busur utama dan tetap mengacu demi kemaslahatan dan kebaikan.
Shalat lima waktu yang jadi kemestian juga merupakan wasilah pemeliharaan fitrah agar tetap konsisten tidak mudah hanyut oleh gelombang hawa nafsu yang destruktif.
Krisis Keumatan
Di sebut dalam al-Quran bahwa kaum muslimin sebagai umat pilihan (khayru ummah) sesuai dengan kehendak Allah SWT. Namun kenyataanmya belum seperti yang diharapkan.
Di negeri kita yang merupakan populasi Muslim terbesar terjadi berbagai ketimpangan. Berita yang terus bergulir berkisar pada masalah korupsi yang juga dilakukan oleh mereka yang beragama Islam.
Bahkan mahkamah yang diharapkan sebagai penegak hukum dan benteng keadilan juga terimbas berbagai keganjilan dan bahkan nilai keadilan dapat dibeli oleh sementara kelompok dalam memenangkan perkara seperti sengketa tanah mau pun lainnya.
Padahal Allah telah menyediakan perangkat hukum dan peraturan yang mengacu kepada amr ma’ruf agar masyarakat dalam keadaan harmonis dan berkeadilan.
Dunia Arab yang merupakan meanstream Islam juga dilanda krisis dan bahkan terjadi konflik berdarah yang tak kunjung henti di setiap regional. Penduduk negeri Yamen menderita kelaparan dan ribuan anak-anak yang tak berdosa membusung kurang asupan makan dan gizi akibat perang dengan Saudi Arabia.
Suriah, Lebanon, Iraq dan Libya juga dilanda konflik sesama anak bangsa. Rakyat Sudan menderita kelaparan akibat perebutan kekuasaan di antara petinggi militer.
Dua juta penduduknya melarikan diri mencari tempat yang aman. Tak terbayangkan mereka tinggal di tempat-tempat yang tidak layak huni.
Keadaan rakyat Palestina terutama di jalur Gaza sangat mengenaskan. Kebiadaban tantara ‘Israel’ tak henti-henti menggempur dan melakukan expansi pemukiman di tanah milik bangsa Palestina.
Ironisnya kebengisan bangsa Yahudi terhadap rakyat Palestina tidak pernah terdengar reaksi atau protes dari kalangan umat Islam sebagai rasa solidaritas terhadap mereka.
Mereka benar-benar terabaikan oleh saudara-saudara di belahan dunia Islam. Fitrah mereka seolah-olah daying down tak lagi memiliki ghirah dan kepedulian menentang kezaliman.
Para pemimpin dunia Islam secara umum masih belum mampu menerjemahkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang terkandung dalam al-Quran dan hadits Rasulullah ﷺ.
Sepertinya fitrah mereka semakin tenggelam yang menyebabkan mereka jauh dari nilai-nilai keadilan. Mereka lebih suka menjadikan para pemimpin kafir sebagai mitra politik dalam mengendalikan kebijakan dan masa depan kenegaraan.
Nilai-nilai risalah yang menggesa agar para pemimpian tidak beraliansi dengan orang kafir tidak pernah digubris dan bahkan nampak lebih akrab sesama mereka.
Benar-benar dunia Islam makin terpuruk dalam kondisi yang mengenaskan serta dalam keadaan yang begitu parah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Entah kapan keadaan ini akan berakhir.
Rakyat menjerit menjadi korban dentuman rocket dan bom yang dimuntahkan dari teknologie yang diciptakan oleh kekuatan kafir. Sumber alam dan ekonomi tercabik-cabik sedemikian rupa sementara para pemimpin asyik bermesraan dengan mereka.
Ini semua nampaknya akibat fitrah yang tidak terkendali. Isi kandungan kitab suci al-Quran tidak pernah meresap ke dalam kalbu hanya sebatas menikmati suara indah yang dilantunkan oleh pembacanya.
Mereka tidak pernah mentolerir mendalami isi kandungan al-Quran yang meyeru kepada keadilan dan jihad melawan kezaliman. Bahkan sementara kelompok menghendaki agar ayat-ayat yang menegaskan kebiadaban kaum Kristiani dan Yahudi tidak boleh disentuh dengan alasan akan mengundang ‘sense of intolerance’.
Ranah keagamaan tidak boleh dikaitkan dengan ketimpangan ekonomi dan social. Konsep keadilan dan hak-hak kaum lemah betul-betul terabaikan. Bahkan materi pendidikan dalam bidang sains dan teknologie mau pun system of governance dan leadership management sama sekali ngga ada muatan pesan-pesan risalah Islam. Agama dianggap masalah pribadi tidak boleh dikupas dan dihubung-hubungkan dengan masalah keadilan dalam mengatur kebijakan kenegaraan. Nilai-nilai salat yang dilakukan oleh para pemimpin bisa jadi hanya bersifat camouflage. Puasa Ramadan yang dijadikan sebagai sarana mengawal fitrah nampaknya masih belum efektif.
Di bidang peradaban sains dan teknologie umat Islam masih jauh ketinggalan padahal kitab suci al-Quran menekankan pentingnya menggali ilmu pengetahuan. Kami berfikir dan bahkan ngahuleng mengapa negeri kafir seperti Jepang dapat menguasi dunia sejak industry ringan sampai teknologi tinggi.
Mobil, komputer, handphone dll banyak mendominasi pasaran jagat raya. Bukan itu saja. Kota Makkah dan Madinah dibanjiri berbagai jenis sajadah, igal pengikat kepala orang Arab, baju jubbah juga bikinan negeri sakura.
Ya ampun, Jepang kok dahsyat kemajuan teknologinya sedangkan orangnya kecil berbadan pendek dan bermata sipit. Lah, orang Arab badan mereka tinggi kekar dan mata lebar membelalak kok kalah oleh orang Jepang.
Betapa manusia cebol bermata sipit itu mampu menguasai pasaran dunia dengan berbagai jenis produksi yang mereka ciptakan. Kami menerawang sambil narik nafas dalam, apa gerangan pemicu orang Jepang sehingga mampu menguasai pasaran dunia?
Apakah falsafah hidup yang mereka kembangkan? Adakah acuan dalam sistem kehidupan yang menggesa rakyatnya agar mencari ilmu serta belajar dan bekerja keras?
Sebaliknya dunia Islam yang memiliki kitab suci al-Quran yang menyeru pemeluknya agar tidak pernah berhenti mencari ilmu ternyata masih belum mampu berkompetisi dengan dunia luar?
Di mana yang salah dunia Islam ini kok umatnya terbelakang dalam berbagai hal? Ini tentunya pertanyaan yang cukup menohok dan selalu berkecamuk di benak pikiran kami.
Kalau kita lacak berbagai tulisan dari kalangan ulama yang memiliki visi ‘rekontruksi peradaban’ seperti Imam Muhammad Abduh dan juga Syeikh Syakib Arslan dalam tulisan yang terkenal, Mengapa dunia Islam mundur sedang dunia lain mencapai kecermalangan?
Adakah kita ini masih belum memahami rahasia dan falsafah kehidupan yang tertuang dalam pesan-pesan ilahi dan masih sebatas rethorica tanpa diimbangi dengan upaya yang memadai dalam pencapaian ilmu pengetahuan?
Nampaknya penggunaan nalar dan cara berfikir kita masih berkutat pada masalah khilafiyyah di samping fitrahnya semakin memudar sehingga mengakitbatkan dunia Islam ‘terseok-seok’ menjadi mangsa bangsa lain.
Berdasarkan diskripsi yang telah kita ketengahkan, fitrah merupakan komponen penting dalam Islam yang erat hubungannya dengan prilaku dan iltizam seseorang dalam mematuhi perintah Allah SWT.
Dalam interaksi kemasyarakatan hendaknya fitrah terus terpelihara jangan sampai terkontaminasi oleh berbagai prilaku yang mengarah pada ketidak adilan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa fitrah merupakan kecenderungan melakukan kebaikan beradasarkan norma-norma universal.
Seyongnya setiap Muslim memiliki komitmen merefleksikan fitrah, integrasi dan sikap amanah dalam segala aktifitas yang dilakukan baik secara pribadi, keluarga, kelembagaan dan kenegaraan.*
Kaprodi Fakultas Agama Islam, University Muhammadiyyah Malaysia (UMAM)