Tindakan AS terhadap aktivis pro-Palestina menunjukkan inkonsistensi yang jelas terhadap nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan berekspresi, dan HAM
Oleh: Imam Nawawi
Hidayatullah.com | SEORANG mahasiswa Palestina bernama Mohsen Mahdawi, yang telah tinggal secara legal di Amerika Serikat sejak 2015, ditangkap saat menjalani wawancara untuk proses naturalisasi menjadi warga negara pada Senin (14/4/2025).
Mahdawi, yang merupakan mahasiswa Universitas Columbia dan dijadwalkan lulus bulan depan, berencana melanjutkan studi pascasarjana di kampus yang sama.
Namun, penangkapannya ini terjadi di tengah sorotan publik terhadap langkah keras pemerintahan Donald Trump terhadap mahasiswa imigran yang terlibat dalam aksi protes pro-Palestina di berbagai kampus di AS.
Kasus ini menunjukkan bagaimana aktivisme pro-Palestina semakin dipandang sebagai ancaman oleh otoritas AS.
Penangkapan Mahdawi mencerminkan meningkatnya ketegangan terkait isu ‘Israel’-Palestina di ruang publik dan akademik Amerika.
Di bawah pemerintahan Trump, tekanan terhadap mahasiswa imigran yang vokal menyuarakan dukungan bagi Palestina semakin intens.
Tak hanya berdampak pada kebebasan berekspresi, tindakan ini juga mengancam stabilitas status imigrasi mereka yang selama ini telah mematuhi aturan hukum.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya memperjuangkan hak asasi dan perlindungan bagi semua individu, tanpa diskriminasi politik atau ideologis.
Namun semakin heboh kala Aditya Wahyu Harsono (33), seorang ayah asal Indonesia dengan bayi berkebutuhan khusus, ditahan di Minnesota setelah visa pelajarnya dicabut secara diam-diam, diduga terkait unggahan donasi untuk Palestina.
Meski kuasa hukumnya mengajukan mosi pembatalan kasus atas dasar kemanusiaan, hakim Imigrasi Sarah Mazzie menolak permohonan tersebut.
Penangkapan yang terjadi empat hari setelah pencabutan visa tanpa pemberitahuan ini akan dilanjutkan sidangnya pada 1 Mei, menyoroti kompleksitas sistem imigrasi AS dan dampak aktivisme pro-Palestina bagi individu dengan keadaan keluarga rentan.
Langkah Relevan?
Apakah langkah AS ini relevan atau ini hanya kepanikan karena tidak lagi menemukan cara elegan menghadang laju masyarakat yang Pro Palestina?
Langkah AS menangkap aktivis pro-Palestina dapat dilihat dari dua sudut pandang: relevansi kebijakan atau sebagai bentuk kepanikan terhadap pergeseran opini publik global yang semakin mendukung Palestina.
Pertama, jika dilihat dari sudut pandang relevansi, tindakan ini mungkin dimaksudkan untuk melindungi hubungan strategis AS dengan ‘Israel’, yang merupakan salah satu pilar politik luar negeri Amerika.
Dengan menargetkan aktivis pro Palestina—terutama mereka yang terlibat dalam gerakan seperti BDS (Boycott, Divestment, and Sanctions)—AS berusaha mempertahankan narasi bahwa kritik terhadap ‘Israel’ adalah ancaman terhadap stabilitas regional maupun nilai-nilai tertentu.
Selain itu, langkah ini juga bisa dipandang sebagai upaya untuk meredam eskalasi protes yang dianggap “mengancam” ketertiban domestik, terutama di tengah meningkatnya polarisasi politik dan sosial di dalam negeri.
Namun, di sisi lain, tindakan ini bisa diinterpretasikan sebagai kepanikan karena AS tampaknya kesulitan menemukan cara elegan untuk menghadapi gelombang dukungan global terhadap Palestina.
Dalam beberapa tahun terakhir, solidaritas internasional terhadap Palestina semakin kuat, bahkan di kalangan masyarakat AS sendiri, termasuk generasi muda dan komunitas minoritas.
Gerakan pro-Palestina tidak lagi terbatas pada kelompok kecil, tetapi telah menjadi arus utama yang sulit dibendung.
Penangkapan aktivis mungkin mencerminkan kekhawatiran bahwa pendekatan diplomatik atau narasi propaganda tradisional tidak lagi efektif untuk membendung perubahan opini publik ini.
Daripada mencari solusi dialogis, tindakan represif seperti penangkapan justru menunjukkan kekurangan strategi yang matang dan inklusif.
Dalam kata yang lain, langkah AS ini lebih condong sebagai respons defensif yang kurang terencana, ketimbang langkah yang benar-benar relevan dalam konteks jangka panjang.
Alih-alih meredakan ketegangan, tindakan ini justru berpotensi memperkuat simpati terhadap Palestina dan memicu kritik terhadap AS atas pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.
AS telah menutup citra positif sebagai negara yang siap berbeda pandangan dan menunjung tinggi HAM dengan menangkap satu demi satu person pro Palestina. Sangat disayangkan, demi ‘Israel’, AS rela bermain dalam lumpur diskriminasi.
Inkonsistensi Nilai
Tindakan AS dalam menangkap aktivis pro Palestina—terutama ketika hal itu dilakukan dengan dalih yang tidak transparan atau di tengah kriminalisasi gerakan solidaritas—mencerminkan inkonsistensi AS terhadap nilai-nilai yang selama ini diklaim sebagai pilar demokrasi Amerika, seperti kemanusiaan, kebebasan berekspresi, dan hak asasi manusia (HAM).
Inkonsistensi dengan Nilai Kemanusiaan
AS sering kali memosisikan diri sebagai pelopor hak asasi manusia di panggung global, tetapi penangkapan aktivis pro-Palestina justru menunjukkan pengabaian terhadap prinsip dasar kemanusiaan.
Misalnya, dalam kasus Aditya Wahyu Harsono, seorang ayah dengan bayi berkebutuhan khusus ditahan tanpa mempertimbangkan kondisi keluarganya.
Tindakan ini bertentangan dengan nilai empati dan perlindungan terhadap individu yang rentan, yang seharusnya menjadi bagian dari komitmen kemanusiaan.
Pelanggaran Kebebasan Berekspresi
Selanjutnya kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi adalah salah satu hak fundamental dalam demokrasi, namun penangkapan aktivis pro-Palestina yang mengkritik kebijakan ‘Israel’ atau menyuarakan dukungan bagi rakyat Palestina menunjukkan bahwa AS tidak sepenuhnya mendukung prinsip ini.
Unggahan donasi untuk Palestina, misalnya, seharusnya dianggap sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan, bukan sebagai ancaman yang layak mendapat sanksi hukum.
Dengan melakukan represi terhadap aktivisme pro Palestina, AS justru menciptakan preseden buruk bahwa kebebasan berekspresi hanya diperbolehkan jika sesuai dengan agenda politik tertentu.
Kontradiksi dengan Komitmen HAM
Lebih jauh, Pemerintah AS sering kali menggunakan isu HAM sebagai alasan untuk campur tangan dalam urusan negara lain, tetapi tindakan represif terhadap aktivis pro-Palestina menunjukkan standar ganda dalam praktiknya.
Penangkapan tanpa pemberitahuan, pencabutan visa secara diam-diam, atau penolakan mosi kemanusiaan oleh hakim imigrasi adalah contoh nyata bagaimana sistem AS dapat melanggar hak-hak individu, terutama mereka yang memiliki pandangan kritis terhadap sekutu strategis seperti ‘Israel’.
Hal ini menciptakan kontradiksi antara narasi global AS tentang HAM dan realitas domestiknya.
Dalam kata yang lain, tindakan AS terhadap aktivis pro-Palestina menunjukkan inkonsistensi yang jelas terhadap nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan berekspresi, dan HAM.
Alih-alih menjadi teladan bagi dunia, langkah ini justru melemahkan kredibilitas AS sebagai pembela hak asasi manusia. Jika AS ingin menjaga integritas moralnya, maka pendekatan yang lebih inklusif, dialogis, dan berbasis prinsip universal harus diambil, bukan malah memperkeruh situasi dengan tindakan represif yang kontraproduktif.
Satu hal yang tak kalah penting, AS harus menyadari bahwa sebuah nilai yang gagal diwujudkan secara empirik dan konsisten pasti akan mengalami kehancuran.
Bukan dari luar, tapi dari inkonsistensi yang justru AS jalankan. Terlebih di era terbuka seperti sekarang, tak semua “sabda” AS langsung jadi kiblat warga dunia.
Dunia sepertinya tengah bergeser, mencari nilai mana yang adil dan negara mana yang mampu menegakkannya secara konsisten.
Di sinilah tantangan dan peluang negara-negara Islam memainkan peran lebih signifikan.
Aktivis Pro-Palestina satu sisi harus berani, sisi lain mesti cerdas, mengembangkan nilai dan pandangan-pandangan tajam yang benar-benar humanis dan universal secara elegan dan strategis. Langkah itu akan menjadi oase di tengah kehausan dunia akan penerapan nilai-nilai yang adil dan beradab.*
Penulis buku