Oleh: Kholili Hasib
ILMU akidah di lembaga-lembaga pendidikan Indonesia telah diajarkan dengan metode dan manhaj yang telah diberlakukan masing-masing lembaga. Di sekolah madrasah ada pelajaran akhidah akhlak. Di perguruan tinggi Islam — khususnya fakultas Ushuluddin — berupa mata kuliah ilmu tauhid dan ilmu kalam. Namun, framework pengkajian di perguruan tinggi Islam menggunakan pendekatan historis dan antropologis. Seperti diterangkan dalam buku Amin Abdullah, Studi Islam: Normativitas dan Historisitas (Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1999). Bahwa dua pendekatan tersebut menjadi pisau analisis studi Islam, termasuk studi ilmu akidah di perguruan tinggi Islam Indonesia.
Dalam bukut tersebut dijelaskan; pendekatan historis antropologis adalah pendekatan studi yang menekankan kepada pemahaman keagamaan berdasarkan berbagai sudut keilmuan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan interdisipliner, baik lewat pendekatan filosofis, psikologis, sosiologis, kultural dan antropologis (Studi Islam: Normativitas dan Historisitas hal. V).
Framework kajian adalah kerangka acuan dalam studi suatu ilmu. Framework lebih fokus kepada kajian konseptual, tidak sekedar metode. Oleh sebab itu framework lebih dalam dan substansial. Dalam studi pendidikan akidah, framework merumuskan apa itu konsep akidah, konsep Islam dan sebagainya. Karena itu kesalahan framework akan berakibat lebih fatal daripada metode. Makanya, pendidikan akidah itu bukan sekedar belajar sifat-sifat Allah, af’al (perbuatan) Allah saja. Akan tetapi kita mempelajari konsep dasar Islam yang memberi efek terhadap fikiran, hati dan perilaku kita.
Jika framework studi akidah mengikuti jalan orientalis seperti pendekatan historis antropologis, maka dalam studi tidak ada batasan-batasan ushul dan furu’. Tidak ada penegasan konsep akidah, dan kaitannya dengan ilmu-imu syariat lainnya.
Persoalan dari pendekatan tersebut adalah, framework kajian akidahnya menempatkan ajaran agama bersifat relatif dan terkait dengan konteks sosial-budaya tertentu.
Dalam kajian ilmu kalam misalnya, mahasiswa diajarkan aliran-aliran mu’tazilah, jabariyah, qadariyah, khawarij, Syiah, Ahlussunnah, dan lain-lain. Namun, mahasiswa tidak diajarkan mana aliran itu yang murni akidahnya, dan mana yang keliru. Tidak ada petunjuk mana pendapat yang benar dan mana pendapat yang menyimpang berdasarkan tolak ukur naql dan aql.
Akibatnya, dibuat kesimpulan bahwa munculnya aliran-aliran itu akibat perkembanga sejarah, tidak ada sangut pautnya dengan konsep kebenaran dan kebatilan. Framework ala orientalis ini akan menjauhkan tujuan diajarkannya mata kuliah akidah yaitu menambah dan mempertebal keimanan.
Framework ini pernah digunakan oleh pemikir liberal asal Aljazair, Mohammad Arkoun. Ia menamakan studi keislamannya yang menggunakan pendekatan historis-antropologis itu dengan nama Islamologi Terapan (al-Islama al-Tathbiqiyah). Dalam pandangannya, macam-macam pemikiran Islam; Syiah, Mu’tazilah, Ahlus Sunnah dan lainnya, adalah produk sejarah. Dan produk sejarah itu tidak ada yang final. Setiap zaman mempunyai suatu “sistem pemikiran” yang menjuruskan cara mempraktikkan ilmu pengetahuan pada zaman tersebut. Sistem pemikiran ini disebut Arkoun dengan episteme . Ia mengatakan, “Pemikiran Islam seperti ini lebih tepat disebut angan-angan sosial” (Mohammed Arkoun, al-Fikr al-IslāmiNaqd wa Ijtihad, hal. 9).
Pandangan sekuler tersebut berasal dari pemikiran sosiolog Barat. Peter L. Berger dalam The Social Reality of Religion menjelaskan bahwa dalam perspektif sosiologis, agama-agama dimasukkan sebagai produk budaya. Michael S. Northocott juga mengatakan pendekatan sosiologi dan antropologi agama dinyatakan, agama adalah bentuk konstruk sosial budaya (Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama).
Framework kajian studi akidah tersebut jika ditelaah, mengandung dua persoalan besar. Pertama mengajarkan relativisme beragama, kedua, karena berparadigma relatif, maka pendekatan normatif otomatis di buang.
Dr. Amal Fathullah Zarkasyi, MA – peneliti bidang akidah dari ISID Gontor – pernah mengatakan, bahwa pengajaran ilmu tauhid dan ilmu kalam di Perguruan Tinggi tidaklah cukup. Menurutnya, harus ditambah dengan beberapa materi lain yang mendukung dua materi pokok tersebut seperti: Nusus Kalamiyyah (teks-teks ilmu kalam), al-Qadaya al-Kalamiyah al-Mu’ashirah (Isu kalam Kontemporer), Madzahib al-Haddamah (madzhab-madzhab yang rusak).
Purek IV ISID tersebut menambahkan, dampak negatif dari framework sekuler tersebut adalah tidak sedikit para mahasiswa yang berada pada situasi kebingungan dan kebimbangan setelah mengetahui perbedaan-perbedaan yang cukup tajam antar aliran kalam. Solusinya, harus kembali kepada framework Islam, yakni berdasarkan pendekatan wahyu al-Qur’an, hadis, penggunaan teks-teks agama sebagai dalil sebagai parameter untuk menimbang mana aliran yang benar mana yang menyimpang.
Agama, ajaran dan aliran pemikiran agama diteropong dengan analisis sosiologis non-teologis. Bahwa ajaran dan aliran pemikiran tidak sakral, senantiasa berubah.
Ahlus Sunnah-Syiah, misalnya, ditempatkan sebagai produk murni sosial politik belaka. Pandangan ini akhirnya melalaikan sisi-sisi substansial dari perbedaan tersebut. Kajian seperti ini hanya diskriptif, menggambarkan fenomena perkembangan aliran-aliran saja. Mahasiswa menerima apa adanya secara taked for garanted. Tidak dibawa kepada analisis kritis (tahliliyyah naqdiyah).
Karena itu, sangat disayangkan jika usai belajar ilmu akidah, para mahasiswa justru menipis keimanannya. Harusnya setelah lulus mata kuliah ilmu akidah, para mahaiswa menjadi benteng-benteng akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Karena itu kajian-kajian ilmu akidah di perguruan tinggi perlu menggunakan framework para ulama ahli akidah. Misal framework Abdul Qohir al-Baghdadi, Imam al-Ghazali, al-Syahrastani dan lain-lain. Kajian-kajian ulama’ tersebut menggunakan pendekatan normatif, dan metodenya analisis kritis. Adapun pendekatan historis bisa dipakai, hanya sekedar untuk mengkaji riwayat hidup seorang tokoh ahli kalam atau pemikir lainnya. Bukan digunakan pada pokok-pokok ajaran akidah Islam.
Pendidikan akidah seharusnya mampu meluruskan ilmu. Pandangan alam Islam di sini menjadi ‘kaca’ penilai. Konsep tentang Allah, konsep wahyu, konsep kenabian, konsep manusia, konsep alam, konsep manusia, konsep kebenaran, konsep otoritas dan lain-lain semestinya diajarkan sebagai landasan utama belajar ilmu-ilmu yang lain.*
Penulis adalah alumnus S-2 Jurusan Ilmu Akidah ISID Gontor, Peneliti InPAS Surabaya