Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
Kabar menggembirakan berhembus dari Turki. Negara sekular buatan Mustafa Kemal Attaturk itu telah mencabur larangan memakai jilbab bagi guru agama. Satu kondisi yang selama ini diimpikan dan diperjuangkan oleh para Muslimah di negara yang menjadi pusat khilafah itu. Masa khilafah sering kali dikonotasikan dengan Ottoman Empire: imperium Utsmani. Satu istilah yang menurut Barat negatif. Karena orientasinya sangat islami. Lawannya mereka sebut kemudian dengan ‘Turki Modern’ (Modern Turkey), yang menurut mereka sebagai model kemajaun dan peradaban.
Al-Ghazw al-Fikri dari Turki
Turki, sebagaimana jamak diketahui, sejak era kemalisme merupakana negara sekular, yang dibungkus dengan istilah Modern Turkey di atas. Turki Modern ini dicatat dalam sejarah dimulai sejak 1808-1975. Eranya diawali oleh Sultan Mahmud II. Masa reformasi modern dimulai masa yang dikenal dengan Tanzimat (1839-1876). Titik kulminasi dari Tanzimat itu berada di era Abdul Hamid II (1876-1909).
Era kemajuan Turki yang paling menggembirakan Barat tentunya periode yang dikenal dengan The Young Turk (Turki Muda) (1908-1918). Dan, anehnya, era 1918-1923 disebut oleh peneliti Barat sebagai ‘peperangan orang Turki dalam merebut kemerdekaan’ (The Turkish War the Independence). Dan sejak runtuhnya khilafah Utsmaniyah Turki kemudian disebut sebagai negara Republik (biasanya era ini ditulis sejak 1923-1975). (Lihat, Stanford J. Shaw & Ezel Kural Shaw, History of the Ottoman Empire and Modern Turkey, Volume II: Revolution and Republic: The Rise of Modern Turkey, 1808-1975 (Cambridge University Press, 1977).
Tepatnya di masa kepemimpinan Mustafa Kemal Atatürk (1923-1938) nilai-nilai Islam di Turki benar-benar dibuat porak-poranda. Meskipun oleh negara Barat masa itu dianggap sebagai pendirian fondasi Republik Turki, bagi kaum Muslimin itu merupakan musibah besar yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ringkasnya, Mustafa Kemal adalah orang pertama yang menghembuskan upaya yang dikenal dengan “Perang Pemikiran” (al-Ghazw al-Fikri), kata Buya Hamka (w. 1981). Al-Ghazw al-Fikri kata penulis tafsir fenomenal Al-Azhar ini adalah: suatu teknik propaganda hebat, melalui segala jalan, baik kasar maupun halus, baik secara kebudayaan atau secara ilmiah, agar cara Dunia Islam berpikir berubah dari pangkalan agamanya dan dengan tidak disadarinya dia berpikir bahwa jalan benar satu-satunya supaya orang Islam maju, ialah meninggalkan Pikiran Islam. Untuk ini tak usah menukar agama. Biar tetap jadi orang Islam juga, tetapi tidak lagi meyakini ajaran Islam. (Prof. Dr. Buya Hamka, Ghirah dan Tantangan terhadap Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hlm. 29). Itulah upaya “akal bulus” pihak yang tak suka kepada Islam. Bukan saja fondasi akidahnya yang diguncang, syariatnya pun bila perlu tak sudah dipraktikkan.
Perang terhadap Jilbab
Dan salah satu bentuk dari al-Ghazw al-Fikri dari Turki itu adalah dilarangnya atribut-atribus Islam, diantaranya adalah ‘jilbab’. Pelarangan pemakaian iilbab dari Turki akhirnya merebak, sampai ke Indonesia. Pemerintah akhirnya membuat kebijakan yang mendiskreditkan jilbab sebagai pakaian syar’i bagi setiap Muslimah. Slow but sure, banyak pula kaum Muslimah yang “alergi” terhadap jilbab. Itu pula yang menjadi tujuan akhir dihembuskannya “perang” terhadap Jilbab itu: agar kaum Muslimah minder terhadap ajaran agamanya.
Ada kisah menarik dari Buya Hamka mengenai ini. Beliau pernah bertutur:
“Suatu kali saya bertemu dengan seorang wanita Islam terkemuka. Dia bertanya kepada saya: ‘Bagaimana hukum yang sebenarnya memakai kerudung? Bukankah itu cuman sunnat saja?’
Lalu saya jawab: ‘Lebih baik berkerudung saja. Sebab tanda seorang Muslimat bukanlah membincangkan hukum sunnat dan wajib saja. Apa yang diperintahkan Tuhan harus kita usahakan mengerjakannya.’
Bertemu sekali lagi dia masih bertanya. Bertemu lagi dan dia menanyakan soal itu-itu lagi. Lalu saya jawab: ‘Apa gunanya bertanya lagi? Kalau sudah bosan lepaskan saja kerudung itu. Siapa yang berani melarang? Bukankah sekarang zaman sudah modern?’
Nyonya itu terdiam!
Saya tahu bahwa dia telah mulai ragu dan dia telah ditimpa pengaruh penyakit “minder” sebagai seorang Islam, kata Buya Hamka.
Buya pun akhirnya mengingatkan dan memberikan teguran keras, “Kalau penyakit itu telah merata ke dalam rumah tangga Kaum Muslimin yang selam ini masih ada “bekas” kebudayaan Islam, itulah alamat rumah tangga kita akan ditimpa penyakit yang merana. Bila Ghirah telah mulai hilang, jiwa akan menjadi gelisah. Kulit menghendaki Barat padahal badan masih berada di Timur.
Dan apabila Ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah “takbir empat kali” ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” (Buya Hamka, Ghirah dan Tantangan terhadap Islam, hlm. 8).
Itu sebabnya ketika pemerintah Turki menghapus undang-undang larangan penggunaan Jilbab bagi guru agama Islam merupakan “angin segar” bagi seluruh kaum Muslimah, khususnya di Turki. “Angin segar” yang hanya dapat dihirup oleh dada-dada kaum Muslimah yang sadar akan perintah Tuhannya. Karena syariat agama mereka dapat ditegakkan dan didakwahkan dengan baik.
Jilbab itu HAM
Selain itu, penting dicatat bahwa pelarangan jilbab sejatinya melanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Karena bagi kaum Muslimih, di samping sebagai identitas, jilbab merupakan pakaian agama. Jilbab adalah perintah Allah. Jadi tidak main-main. Apa jadinya jika ada ajaran Allah yang dilarang dilaksanakan. Ini jelas pelanggaran HAM kelas tinggi.
Tentu bukan hanya di Turki – yang notabene dulu sebagai pusat khilafah islamiyyah, Turki Utsmani – negara-negara lain yang sekular juga perlu meniru langkah ini. Negara-negara yang masih mengidap islamophobia – yang saat ini ibarat api dalam sekam – seperti: Jerman, Perancis, dan yang lainnya harusnya memberikan kebebasan berjilbab bagi kaum Muslimah. Jangan lagi ada tindakan atau peraturan yang merugikan kebebasan Muslimah untuk melaksanakan perintah Tuhannya. Karena, sekali lagi, jika itu terjadi maka sudah berlaku pelanggaran HAM tingkat tinggi. Wallāhu a‘lam wa aḥkam. *
Penulis adalah pengasuh Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara dan Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) Sumut.