Muhammad al-Fatih betul-betul ditempa spiritualnya oleh Syeikh Syamsuddin. Sultan al-Fatih pernah mengirimkan uang sebanyak seribu dinar kepadanya. Namun Syeikh Syamsuddin menolaknya. Bahkan, Syeikh tidak memberi penghormatan berdiri untuk sang Sultan ketika mau pamit keluar. Sultan al-Fatih pun kecewa.
Seorang pembantu Sultan mengatakan, “Mungkin dia melihat dalam dirimu ada perasaan sombong karena penaklukan ini, yang sebelumnya tidak bisa dilakukan para Sultan sebelum kamu. Dengan demikian, Syeikh bermaksud menghapuskan rasa sombong itu darimu”.
Demikianlah cara Syeikh Syamsuddin memberi pelajaran kepada sultan al-Fatih. Agar supaya sultan selalu berjalan di atas syari’ah tidak terbuai oleh kekuasaan.
Pelajaran keras diberikan sejak Muhammad al-Fatih masih kecil. Pada suatu hari, ia memanggil Muhammad al-Fatih kemudian memukulnya keras, karena melakukan kesalahan ringan. Pukulan keras Syeikh ini ternyata dikenang terus oleh al-Fatih. Hingga ia dewasa memangku kesultanan. Hingga suatu saat ia memanggil Syeikh Syamsuddin dan menanyainya: “Mengapa Anda memukulku waktu itu padahal aku tidak melakukan apa-apa yang layak dipukul?”
Maka Syeikh menjawab: “Karena aku ingin mengajarimu rasanya kezhaliman dan bagaimana orang yang terzhalimi tidur, agar ketika engkau menduduki posisi kepemimpinan, engkau tidak menzhalimi seorang pun!”.
Mendengar penjalasan Syeikh, al-Fatih langsung meminta maaf kepada Syeikh, karena memiliki pikiran negatif dan akhirnya mencium kepala serta tangan gurunya tersebut.
Syeikh Syamsuddin begitu terhormat di mata sang Sultan. Muhammad al-Fatih, meski menjadi sultan yang kekuasannya meluas hingga separoh negeri Eropa, tidak pernah meremehkan nasihat Syeikh. Sang Syeikh pun tidak pernah menjadi penjilat, tidak pernah memberi penghormatan berlebihan. Ia tidak takut kecuali kepada Allah. Karena itu, setiap kali sultan datang menziarahi, Syeikh Syamsuddin tidak pernah berdiri dari tempat duduknya untuk menyambutnya. Justru sebaliknya ketika yang menziarahi Sultan, sultan-lah yang berdiri untuk menyambut gurunya tersebut lalu mencium tangannya.
Jasa Syeikh Syamsuddin sangatlah besar untuk kesultanan Utsmani dan sultan al-Fatih. Beliau mendidik sultan dengan dua hal besar:
- Melipatgandakan semangat gerakan jihad di dalam Dinasti Utsmani
- Terus-menerus menanamkan dalam diri sultan Muhammad sejak kecil bahwa dialah yang dimaksudkan dalam hadis Nabi: “Sungguh Konstantinopel itu akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik panglima adalah panglima (yang menaklukkannya) dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukkannya” . Hingga akhrinya pikiran Muhammad al-Fatih benar-benar dipenuhi dengan pemikiran bahwa memang dialah yang dimaksudkan dalam hadits ini.
Para hali sejarah mengatakan bahwa Syeikh Syamsuddin itulah Sang Penakluk bagi konstantinopel. Dialah yang telah mengajarkan kepada al-Fatih berbagai ilmu, baik ilmu setrategi perang maupun ilmu falak, sejarah dan matematika.
Ahli Ilmu Kedokteran
Syeikh Syamsuddin bukan hanya ahli bidang syariah, tasawuf dan akhlak, namun ia juga dikenal ahli pengobatan. Syeikh memiliki kepedulian terhadap penyakit jasmani, sebagaimana ia peduli dengan penyakit-penyakit rohani. Dia menulis kitab berjudul Maadat al-Hayat. Dalam buku tersebut, Syeikh mengatakan, “Sangat keliru jika dikatakan bahwa penyakit-penyakit itu berpindah dari satu orang ke orang lain dengan cara menular. Penularan ini sangat kecil dan renik, hingga tidak mampu dilihat oleh mata telanjang. Penularan ini terjadi karena adanya kuman yang hidup”.
Dia dikenal orang pertama yang melakukan penelitian kuman pada abad ke-15 M. Dimana pada saat itu belum ada mikroskop. Ia jauh mendahului ilmuan Eropa. Eropa baru melakukan penelitian tentang kuman empat abad setelah Syeikh Syamsudin. Dilakukan oleh Louis Pasteour, ahli Biologi dan Kimia asal Prancis. Namun, dalam dnia ilmu Biologi, Louis Pasteour lebih dikenal daripada Syeikh Syamsuddin.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Karya-karya Syeikh cukup beragam, mulai tentang akhlak, tasawwuf, hingga kedokteran. Di antara karyanya adalah; Madaat al-Hayat, Kitab al-Thibb, Hallul Musykilat, al-Risalah al-Nuriyah, Maqalatul Auliya’, Risalah fi Dzikrillah, Talkhish al-Mata’in, Daf’u al-Mataa’in, Risalah fi Syarh Haaji Bayaram Wali. Syeih Syamsuddin meninggal dunia di kota tempat tinggalnya, Koniyoka, wilayah Turki pada tahun 863 H/1459 M.
Begitulah jasa seorang ulama dalam kemenangan kaum Muslimin. Dalam setiap persoalan apapun yang menimpa hajat kaum Muslimin, ulama tidak dapat ditinggalkan. Mereka adalah warisan Nabi. Peran politik, atau militer ternyata tidak berarti tanpa peran ulama di dalamnya. Mereka pemimpin umat untuk melanjutkan dan memelihara syiar dan kemuliaan Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam berwasiat: “Duduklah kamu dengan orang-orang agung menurut Allah, dan bertanyalah kamu kepada para ‘Ulama dan berkumpulah kamu dengan para ahli hikmah.” (HR. Tabrani).*
Penulis adalah anggota MIUMI Jawa Timur dan peneliti InPAS Surabaya