Oleh: Abu Daud
BARU-BARU ini berita tanah air diramaikan dengan sebuah fenomena menarik yang kalau boleh penulis istilahkan dengan dua istilah, politisasi istilah Islami. Riset kota ‘Islami’ versi Ma’arif Insitute tidak tanggung-tanggung menempatkan tiga Kota Denpasar, Bandung, dan Yogyakarta pada posisi teratas.
Agar tidak mengulangi kritik-kritik banyak pihak, peneliti menunjukkan secara cukup jelas problematika dalam metode riset, penulis ingin menyoroti justru aspek politisasi ungkapan ‘Islami’ itu sendiri dalam publikasi tentang kota Islami. Kata Islam dengan tambahan ‘i’ dalam bahasa indonesia atau huruf ‘ي” (ya) dalam kata Arab ‘إسلامي’ bermakna nisbat kepada Islam. Islam sebagaimana dimaklumi adalah sebuah ‘diin’ yang memuat berbagai ajaran dan aturan tentang seluruh aspek kehidupan.
Sekali lagi maklum sudah bahwa ajaran Islam memuat aturan dalam segala aspek kehidupan, akidah, ibadah, akhlak, fikih, dst.
Yang menjadi pertanyaan mengapa harus ada nisbat kepada Islam bila memang tidak mengambil aspek-aspek tersebut sebagai metode riset?
Mengapa tidak mempublikasinya dengan Riset Kota Terbahagia, Teraman dan Tersejahtera yang ketiganya merupakan indikator umum (general) yang dipakai dalam seleksi?
Dari sini mungkin terlihat bagaimana publikasi itu sendiri bertujuan mengambil perhatian khalayak sembari mencoba merubah persepsi tentang kandungan makna ‘Islami’ itu sendiri. Sehingga dengan kata lain Islami tidak mesti melaksanakan rukun Iman atau Islam, cukup dengan indikator sangat general seperti terbahagia, teraman dan tersejahtera.
Di lain sisi ada inkonsistensi dan keengganan mendekati hal yang berlabel Islam bila yang dimaksud adalah ajaran-ajaran Islam yang sudah diketahui kepastiannya. Ada kegalauan besar di sebagian orang apabila ada perda-perda atau UU atau keputusan-keputusan pemda yang mengakomodir nilai-nilai Islami yang memang justru diajarkan secara turun-temurun dalam Islam, seperti larangan minuman keras beralkohol, larangan pornografi dan prostitusi, judi, dlsb.
Seakan-akan akomodasi nilai-nilai Islami ini merusak ‘modernisasi’ atau ‘kemajuan’ (baca: amoralisasi) kota atau masyarakat. Ketimbang disebut sebagai kota yang menerapkan nilai-nilai Islami, berbagai aturan ini akan dicemooh dengan ungkapan ‘syariatisasi’ atau ‘Islamisasi’ yang telah dianalogikan dengan sesuatu yang terkesan negatif dan radikal.
Hal ini tidak lain menunjukkan adanya fenomena ‘penafsiran ulang’ konsep Islami dan penuangannya dalam ‘wajah baru’ yang tidak mesti merujuk kepada Islam itu sendiri sebagaimana komentar dari salah seorang direktur Ma’arif Institut. Lihat: http://news.detik.com/berita/3212507/penjelasan-maarif-institute-terkait-hasil-indeks-kota-islami
Politisasi istilah ‘Islami’ ini pada akhirnya menegaskan popularitas Islam sendiri bagi para periset. Meskipun segan dan enggan dengan hal-hal yang berbau ‘core’ atau ‘inti’ ajaran Islam, menggunakan istilah Islami tetap menjanjikan daya pikat yang diharapkan dari publikasi riset itu sendiri.
Setidaknya bukti di lapangan menunjukkan realitas ketidakvalidan kota Islami versi Ma’arif Institut ini. Dari ketiga kota ini, mungkin Kota Denpasar di pulau Bali menjadi kota yang paling mengusik alam sadar kita bila diklaim sebagai kota paling Islami.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktek prostitusi baik oleh pramuria laki-laki (baca: gigolo) atau pramuria perempuan dengan mudah didapati di pantai ternama pulau ini. Harian Sydney Morning Herald bahkan tidak tanggung-tanggung dalam menyebutkan fakta yang mencegangkan bahwa Bali dilaporkan sebagai tujuan teratas turis-turis pedofilia dari Australia yang hendak mencari korbannya.
So, masihkah kita berani mengklaim Islami untuk sebuah kota yang gagal memberi rasa aman bahkan bagi anak-anak kecilnya?
Pemerhati masalah sosial masyarakat