Oleh: Hamid Abud Attamimi
Hidayatullah.com | SEMU sama, ujungnya adalah terusiknya Rasa Keadilan. Tak ada yang mau diperlakukan tidak adil, maka jika kau melakukan sesuatu, tanyakan pada hatimu, maukah jika orang lain melakukan hal yang sama terhadapmu.
Sekarang semakin banyak yang merasakan, seolah cuma dia yang harus mengalami dan merasakan. Apakah memang begitu realitasnya?
Mungkin tak sepenuhnya benar, tapi jika banyak yang merasa seperti itu, kita tak boleh diam dan Pemerintah dalam hal ini, harus lebih punya ‘sense of crisis’.
Mengapa harus Pemerintah?
Bukankah Pemerintahan ini selalu mengatakan bahwa mereka dipilih dan dipercaya oleh mayoritas warga negara melalui Pemilu yang paling Demokratis. Lalu apakah keterpilihan dan keterwakilan tak melahirkan tanggung jawab moral?
Jika Pemerintah mempunyai justifikasi kekuatan mereka atas dukungan mayoritas, maka dukungan macam apa yang tak melahirkan sikap mental penuh empati atas apa yang dialami dan dirasakan Pemilihnya? Rakyat adalah pemilik sah negeri ini, dan seperti yang diamanatkan oleh konstitusi, bahwa penyelenggaraan negara adalah semata demi menciptakan kesejahteraan, kemakmuran yang adil dan merata.
Rakyat berhak menyuarakan, apakah Keadilan disemua lini kehidupan telah dijalankan dengan patut, atau malah sebaliknya, sesungguhnya antara cita-cita dan kenyataan semakin jauh.
Jika rakyat atau sekelompok warga bicara, dan jelas apa yang disuarakannya, maka secara psikologis, Pemerintah tak seharusnya memulai dengan menilai kosa kata yang dipergunakan, apalagi menyimpulkan dan bahkan berprasangka atas maksud dan tujuan penyampaian.
Jauh lebih elegan jika Pemerintah memberi jalan untuk lebih langsung mendengar dan memberikan alternatif pola-pola dialog yang konstruktif.
Begitulah jika jargon demokrasi ingin terus didengungkan dan dijadikan tameng, bukan berkilah dan berkelit yang ujungnya makin menjauhkan dua fihak yang seharusnya bisa bertemu dan duduk bareng. Ini tentang hati yang merasa semakin dijauhkan, kepedulian yang tumpul, sehingga suara harus semakin keras diteriakkan dan jarak makin menganga dan menjerumuskan.
Siapapun yang sedang menerima dan menjalankan amanah, seharusnya bisa mengambil Ibrah (pelajaran) dari apa yang pernah terjadi pada bangsa ini dan dialami para pendahulu. Begitulah ciri Pemimpin yang bijak, yang sadar betul, suatu saat dia akan kembali menjadi rakyat lagi, lalu apa yang akan mereka wariskan dan ingin sebagai apa ia dikenang, Pemimpin yang menyelamatkan atau menyengsarakan.
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an memerintahkan kita untuk menetapkan hukum di antara manusia secara Adil, karena sejatinya sifat adil adalah sikap pertama dan utama yang harus melekat pada seorang Pemimpin.
Begitulah maka Umar Bin Khattab sebagai Amirul Mu’minin dapat tidur nyenyak ditengah padang pasir beralaskan tanah dan berbantal tongkatnya, tanpa pengawalan siapapun, karena keadilan sendi utama Kepemimpinannya.
Jika keadilan tak menjadi perilaku utama seorang Pemimpin, maka sebenarnya secara tersurat dia sedang menerapkan gaya kepemimpinan berdasarkan hawa nafsunya. Hawa nafsu yang bersandar pada kepentingan, bahkan bisa jadi dikendalikan oleh mereka diluar dirinya.
Sebagai rakyat pun kita harus tetap bijak, bermuhasabah, introspeksi, sangat mungkin ini semua bermula dari kesalahan kita semua. Selama ini kita kurang menyandarkan semua segi kehidupan dalam keseharian pada nilai-nilai agama, banyak perintah-Nya yang kita lalaikan, bahkan kita cenderung menganggap remeh pada dosa-dosa kecil yang kita kerjakan.
Boleh jadi pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan semakin dekat, dengan kerasnya usaha kita dalam bertaubat dan memperbaiki diri, menjaga keluarga dan tak lelah mengajak masarakat terus memperbaiki diri. Apapun musibah yang sedang menimpa bangsa ini, tak pernah boleh menjadikan kita kecuali makin mendekat pada penghambaan kepada Allah… Aamiin.*
Penulis adalah aktivis pendidikan dan dakwah, tinggal di Cirebon