Untuk menanamkan iman kepada anak harus dimulai sejak dini sekali, dari rumah, bahkan sudah dimulai saat memilih jodoh
Hidayatullah.com | BEBERAPA hari yang lalu sehabis shalat Maghrib di Masjid Baitul Atiiq, Kartasura salah seorang ibu jamaah shalat menghampiri saya. Ibu muda ini menitipkan anaknya yang kini belajar di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), tempat saya mengajar.
Peristiwa tersebut membuat saya menimbulkan banyak pertanyaan tentang realitas pendidikan keluarga di Indonesia (khususnya umat Islam). Pertama, kenapa orang tua lebih memprioritaskan pekerjaannya (mencari uang) ketimbang mendidik anaknya di rumah?
Kedua, apa pentingnya pendidikan (agama) keluarga? Dan ketiga, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah mandeknya pendidikan (agama) keluarga?
Tiga pertanyaan ini akan menjadi pembatas ruang lingkup tulisan ini agar tidak terlalu luas. Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita harus memahami kondisi kehidupan umat manusia di zaman modern hari ini.
Peralihan kebudayaan dari kehidupan yang bersahaja kepada kehidupan modern menurut Sidi Gazalba (1970) menyebabkan kebutuhan materiil manusia makin meningkat. Hampir segala keperluan dalam kehidupan hari ini tidak bisa lepas dari uang: makan dan minum, tempat tinggal, transportasi, sampai untuk beribadah (haji) pun butuh uang.
Hidup dalam dunia yang materialistis ini memaksa manusia untuk mengikuti keadaan tersebut. Berlomba-lombalah manusia dalam mencari pekerjaan, dengan anggapan semakin banyak uang semakin mudah dan baik kehidupannya.
Imam Suprayogo (2013) mengatakan keadaan demikian menyebabkan uang naik takhta dalam kehidupan manusia. Semakin keras usaha yang dilakukan dalam mendapatkan uang, maka semakin banyak pula yang dapat diraih dan dipenuhi dalam kehidupan.
Apa yang terjadi selanjutnya tentu bisa ditebak. Tidak sedikit di antara para orang tua yang terlalu sibuk bekerja ini akhirnya jarang berada di rumah.
Pagi-pagi buta mereka pergi bekerja, sore atau malamnya baru pulang dalam keadaan lelah, belum lagi kalau harus membawa pekerjaan yang belum selesai sampai di rumah. Setelah lelah bekerja yang didambakan adalah istirahat, tidur nyenyak.
Besok paginya lagi siklus yang sama terus berulang. Berhari-hari, bermingguminggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Dalam kondisi demikian para orang tua tidak punya waktu dan tenaga yang cukup untuk berinteraksi dan bercengkrama dengan anak-anak mereka secara optimal, apalagi mendidik mereka.
Perubahan ruang kehidupan karena pekerjaan (dengan raga lebih banyak berada di tempat kerja maupun pikiran yang selalu tertuju kepada pekerjaan) ini sangat berpengaruh terhadap interaksi orang tua dan anaknya. Terjadilah perubahan pola pikir orang tua dan anak.
Dalam pikiran orang tua, mereka harus bekerja keras mencari uang sebanyak-banyaknya agar dapat membiayai sekolah anak-anak mereka. Karena orang tua sibuk bekerja, maka guru-guru di sekolahlah yang harus mendidik mereka.
Orang tua cukup membayar sekolah untuk pekerjaan itu. Sedangkan dalam pikiran anak-anak waktu belajar itu di sekolah dengan guru gurunya. Kalau sudah pulang ke rumah bukan lagi waktu belajar, melainkan main dan istirahat. Pada akhirnya sekolah menjadi satu-satunya ruang pendidikan dalam kehidupan masyarakat.
Apa pentingnya pendidikan agama
Menurut Ahmad Tafsir (1996) terjadinya berbagai persoalan yang mengkhawatirkan di kalangan remaja menyebabkan para orang tua mempercayakan sepenuhnya pendidikan agama bagi anak-anak mereka ke sekolah, karena di sekolah diajarkan ilmu agama oleh guru agama. Ada juga yang memasukkan anaknya ke pesantren atau mendatangkan guru agama ke rumah secara rutin.
Dengan usaha tersebut, orang tua menganggap tugas mereka sudah cukup sehingga si anak dapat menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Sayangnya usaha di atas belum cukup.
Orang tua memegang peranan penting dalam mendidik anak sehingga tertanam keimanan yang kokoh. Akan tetapi, terdapat dua masalah serius yang seringkali menjadi penghambat, yakni 1) banyaknya orang tua yang belum menyadari perannya sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga dan 2) (menyebabkan) banyaknya orang tua yang tidak tahu cara mendidik anak.
Di dalam surat at-Tahrim ayat 6, Allah swt. memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar memelihara dirinya dan keluarganya dari api neraka. Akan tetapi banyak orang tua yang justru lupa akan tugas tersebut dan akhirnya tidak tahu cara menjalankanya.
Oleh karena itu bagi orang tua yang belum menyadari tugasnya sebagai guru keluarga, mereka harus kembali membaca dan mencamkan firman Allah swt di dalam al-Quran surat at-Tahrim ayat 6 tadi bahwa mereka memiliki tanggungjawab untuk mendidik dan menjaga keluarganya dari api neraka (keburukan yang amat sangat).
Perintah tersebut bukan ditujukan kepada guru di sekolah, atau kiai di pesantren, atau guru agama yang didatangkan secara rutin ke rumah, melainkan tugas orang tua. Sedangkan bagi orang tua yang tidak mengetahui cara mendidik yang tepat, maka mereka harus belajar agar dapat menjadi guru di rumah.
Mereka dapat memulai dengan peneladanan dan pembiasaan, dengan begitu pendidikan dapat ditanamkan pelan-pelan secara bertahap. Untuk menanamkan iman kepada anak harus dimulai sejak dini sekali, dari rumah, bahkan sudah dimulai saat memilih jodoh.
Dalam hal memilih jodoh ini, Rasulullah ﷺ memberikan empat kriteria sebagai pertimbangan, yakni kekayaan, keturunan, wajah, dan agama. Agama merupakan kriteria yang utama.
Setelah itu pendidikan dilaksanakan semasa bayi telah dikandung badan. Di sini sosok ibu memegang peranan yang sangat penting dalam proses tumbuh kembang anak yang dikandungnya. Apa saja yang dilakukan atau didapatkan oleh (calon) ibu akan berpengaruh kepada kandungnya. Apabila ia mendapatkan pendidikan keimanan, maka si bayi juga mendapatkannya.
Setelah bayi tersebut lahir, pendidikan agama masih harus tetap berlanjut. Pada usia bayi hingga remaja inilah peneladanan dan pembiasaan besar dampaknya.
Jika orang tua membiasakan perilaku yang baik-baik, maka anak yang pada masa ini merupakan peniru yang aktif juga akan menirukan perilaku-perilaku baik tersebut. Dalam masa perkembangan ini anak-anak akan menjadi pribadi yang penuh dengan akhlak (sebagai implementasi dari iman) yang baik jika diajarkan dengan baik, dan begitu pula sebaliknya.
Sidi Gazalba (1969) membagi tiga lingkaran pendidikan, yakni: 1) pendidikan rumah-tangga, 2) pendidikan lembaga-lembaga formal (sekolah), dan 3) pendidikan masyarakat. Menurutnya pendidikan rumahtangga (keluarga) merupakan pendidikan yang pertama dan utama.
Masanya mulai dari sebelum kelahirannya sampai si anak membina keluarganya sendiri. Pendidikan di lingkaran pertama ini memegang peranan yang amat penting.
Sebab pada masa inilah benih dipersiapkan sebelum ia tumbuh menjadi pohon. Kualitas benih ini pulalah yang nanti akan menentukan kualitas pohonnya: apakah pohon ini akan tumbuh subur sehingga menghasilkan buah yang manis atau ia akan layu dan tidak menghasilkan apa-apa, bahkan merugikan. Untuk menghasilkan benih yang berkualitas, maka pendidikan rumah-tangga haruslah berasaskan atau berpedoman pada prinsip-prinsip Islam (Gazalba, 1970).
Selanjutnya menurut H.M. Arifin (1997) rumah adalah tempat belajar pertama bagi anak-anak. Di dalam rumah inilah mereka ditanamkan kebiasaan yang baik dan dikenalkan cita-cita dan iktikad keluarga, bila dalam rumah tangga keluarga itu dalam kondisi yang baik, maka anak akan mendapatkan pengaruh yang baik pula dan bila sebaliknya maka pengaruh buruk lah yang akan didapatkannya.
Rumah merupakan tempat yang utama untuk mendidik agama. Bila di dalam rumah tangga agama dapat menjadikan kehidupan lebih mulia, riang gembira, bertambah kasih sayang, maka keimanan seorang anak akan semakin kokoh.
Untuk menunjang hal tersebut maka orang tua mesti menyediakan buku-buku, majalah-majalah, hiasan-hiasan, serta kenangan-kenangan yang bernafaskan keagamaan.
Apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah mandeknya pendidikan agama?
Untuk menjawab pertanyaan ini terdapat dua perubahan yang harus dilakukan, yakni perubahan paradigmatik dan praktik. Perubahan paradigmatik merupakan perubahan pemahaman secara fundamental mengenai pendidikan.
Sedangkan perubahan praktik merupakan perubahan dalam praktik pendidikan di dalam dan di luar keluarga.
Pertama, yang harus dilakukan adalah memahami posisi keluarga dalam pendidikan keluarga. Posisi orang tua sebagai pendidik pertama dan utama, menurut J. Drost (1999) seharusnya mengajarkan anak-anak mereka tentang Tuhan, pengalaman tentang pergaulan yang manusiawi, dan kewajiban mengembangkan tanggungjawab terhadap diri sendiri dan orang lain.
Dalam proses pendidikan ini, orang tua tidak melaksanakannya sendiri melainkan dibantu oleh sekolah sebagai bagian dari masyarakat. Sehingga harus dipahami bahwa sekolah hanyalah pembantu orang tua dalam mendidik anak mereka.
Kekacauan justru terjadi apabila posisi ini dijungkirbalikkan: sekolah menggantikan posisi orang tua sebagai pendidik utama.
Jika kesalahanpahaman mengenai peran pendidik utama dan pembantu ini terjadi, maka menurut Drost (2004) orang tua telah direndahkan menjadi “pelayan dengan tugas memelihara keadaan lahiriah anak didik agar sekolah dengan leluasa dapat berperan sebagai pendidik utama.”
Sekolah lalu memonopoli kehidupan anak: belajar di sekolah, hobi di sekolah, olah raga di sekolah, kesenian di sekolah, dan seterusnya. Orang tua cukup membayarkan uang dengan harga cukup mahal kepada sekolah, dengan begitu mereka mendapati diri mereka terbebas dari tugasnya sebagai pendidik. Padahal lingkungan pendidikan bila diurutkan adalah 1) keluarga, 2) masyarakat, dan 3) sekolah.
Sehingga perubahan pemahaman secara fundamental harus dilakukan baik oleh orang tua, sekolah, dan masyarakat secara keseluruhan. Masing-masing lingkungan pendidikan ini harus memahami posisi dan tugasnya:
- Orang tua yang dianugerahkan anak oleh Tuhan memiliki tanggungjawab terhadap pendidikan sang anak sampai ia mampu membina keluarganya sendiri,
- Sekolah harus memposisikan dirinya sebagai pendukung pendidikan yang diadakan oleh orang tua dengan mengajarkan ilmu atau pendidikan intelek, dan
- Masyarakat mendidik secara aktif maupun pasif, aktif karena masyarakat mendidiknya langsung dan pasif karena anak mendapatkan pengalaman dari masyarakatnya dengan cara melihat, mendengar, memikirkan dan menghayati segala sesuatu yang ada di masyarakat (Gazalba, 1970).
Kedua, setelah perubahan paradigmatik telah dilakukan maka perubahan secara praktis dapat dijalankan. Dari sisi keluarga, orang tua harus mulai mengevaluasi diri mereka sendiri sudah atau belum menjalankan tugasnya sebagai pendidik keluarga.
Dari sisi sekolah, guru (pendidik pendukung) harus mengadakan pertemuan dengan orang tua (pendidik utama) secara periodik, baik itu kunjungan ke rumah mereka atau orang tua yang datang ke sekolah. Pertemuan ini selain bermanfaat bagi keduanya untuk mengadakan pertukaran fikiran mengenai hal ihwal anak di rumah dan di sekolah, juga dapat dimanfaatkan oleh guru untuk membina para orang tua agar memiliki kemampuan dalam mendidik anak mereka di rumah.
Dari sisi masyarakat, anak harus diberikan lingkungan yang optimal dalam menyempurnakan dirinya secara individual sebagai salah satu anggota masyarakat komunal. Di sinilah ia menerapkan dan mengimplementasikan hasil pendidikan (agama) yang didapatkan di dalam keluarga dan sekolah.
Hubungan yang harmonis antara ketiga ruang pendidikan ini akan sangat membantu mengarahkan pendidikan anak kepada satu tujuan, yakni menyempurnakan dirinya sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia ciptaan Tuhan dan dapat menjalani kehidupannya di dunia ini sesuai dengan fitrah tersebut. Wallahu a’lam.*/ Moch. Ferdi Al-Qadri, mahasiswa PAI UM Surakarta, Pegiat SEED Institute
Referensi
- Arifin, H.M. 1977. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan sekolah dan Keluarga. Jakarta: Bulan Bintang.
- Drost, J. 1999. Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
- Drost, J. 2004. Sekolah: Mengajar atau Mendidik?. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
- Gazalba, Sidi. 1969. Pendidikan Islam dalam Masyarakat. Jakarta: Pustaka Antara.
- Gazalba, Sidi. 1970. Pendidikan Umat Islam: Masalah Terbesar Kurun Kini Menentukan Nasib Umat. Jakarta: Bhratara.
- Suprayogo, Imam. 2013. Masyarakat Tanpa Rangking: Membangun Bangsa Bersendi Agama. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
- Tafsir, Ahmad (ed.). 1996. Pendidikan Agama dalam Keluarga. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.