Oleh: Ilham Akbar Ryant
Hidayatullah.com |DUA puluh tahun terakhir, musuh-musuh Islam menghujani umat Islam dengan berbagai bentuk fitnah, dari antar komunitas kecil hingga antar negara. Tuduhan tidak mendasar dan klaim sepihak menjadi andalan. Intoleransi, teroris, tidak cinta negara dan tidak mematuhi undang-undang negara, menjadi santapan pengadu domba. Negara-negara Islam dianggap kolot, tidak mendukung kemodernan. Hukum-hukum Islam dianggap pengekang hak asasi manusia.
Padahal yang terjadi, Barat bisa keluar dari kegelapan lewat turats Islam dan belajar dari ilmuwan Islam, mereka memiliki hutang yang sangat besar dari dunia Islam. Transfer ilmu dari dunia Islam ke Barat pada zaman pertengahan (the Middle Ages), merupakan awal mula perubahan Barat meninggalkan zaman kegelapan(the Dark Ages). Barat dapat menguasai ilmu pengetahuan seperti saat ini, karena mereka dapat mentransfer dan mengembangkan sains dari ilmuwan Muslim.
Gerard of cremona misalnya, seorang penerjemah fenomenal dari Italia yang berhasil menerjemahkan banyak buku karya ilmuwan Muslim berbahasa arab ke bahasa latin, sebagai jembatan membuka wawasan Barat terhadap banyak pengetahuan. Bukan hanya dalam penerjemahan yang banyak mengambil dari Islam, sistem pendidikan juga menjiplak model kampus-kampus di Andalusia.
Namun, yang menjadi perbedaan mendasar antara sains Barat dan sains Islam adalah ilmuwan Islam mengembangkan sains dengan berpedoman pada aturan Tuhan, berbeda dengan Barat yang berlepas dari unsur ketuhanan. Akibatnya, mereka melakukan segala sesuatu terhadap alam sesuka hati mereka tanpa batasan.
Seluruh umat Islam tentunya menginginkan kejayaan yang dahulu pernah terjadi, bukan hanya untuk umat Islam secara khusus, tapi untuk keseluruhan alam, karena salah satu prinsip Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Maka dari itu salah satu cara untuk kembali meraih kejayaan adalah dengan mengetahui dan mempelajari turats.
Sampai saat ini, Barat masih banyak menerapkan jiplakan dari dunia Islam, yang kemudian dijiplak lagi oleh banyak negara di dunia. Dalam asas hukum misalnya, Indonesia banyak menggunakan asas hukum belanda. Di dalam hukum Acara Perdata dikenal sebuah asas yang menjadi pegangan, seseorang yang mempunyai hak atau mengemukakan suatu peristiwa, harus membuktikan adanya hak atau suatu peristiwa. Asas ini diatur di dalam pasal 163 HIR yang kemudian dikenal dengan asas “ ACTORI INCUMBIT PROBATIO”.
Asas ini sama seperti yang ada di dalam hukum Islam, yaitu
البينة علي من ادعى و اليمين على من أنكر
Artinya: Penuduh harus menunjukkan bukti, dan sumpah bagi yang mengingkari.
Contoh yang lain, masih dalam konstitusi Indonesia yang mengambil asas dari belanda. Sebuah asas universal yang berbunyi, “RES JUDICATA PRO VERITATE HABETUR”, artinya: Putusan hakim harus dianggap benar. Asas ini juga sama persis seperti yang ada dalam rumusan Islam yang berbunyi,
حكم الحاكم يرفع الخلاف
Artinya: Keputusan hakim adalah menghilangkan khilaf (pertentangan).
Yang terakhir, Dr. Abdul Mun’im Fuad dalam khutbah Jum’at menyampaikan, “Surat dari Khalifah Umar bin Khattab yang ditujukan kepada hakim Basrah yaitu Abu Musa Al Asy’ari, hingga saat ini masih tertempel di sekolah kehakiman di Prancis”.
Begitu istimewanya rumusan-rumusan yang dituliskan ilmuwan Islam di dalam turats. Hingga saat ini penerapannya di seluruh dunia belum tergantikan. Wallahu a’lam./Kairo, 31 Januari 2020
Penulis adalah mahasiswa Al Azhar, Mesir