Oleh: Ade Sudaryat
Hidayatullah.com | SEKILAS tidak ada hubungan linear antara permainan sepak bola dan distribusi harta. Namun, jika melihatnya dari sudut pandang filosofis-analogis terdapat hubungan antara permainan sepak bola dan distribusi harta.
Olah raga yang paling banyak digemari penduduk di seantero jagat ini sarat dengan nilai-nilai kehidupan keseharian. Karena kelekatannya dengan nilai-nilai kehidupan keseharian, tidaklah mengherankan jika olah raga yang satu ini semakin berkembang dari waktu ke waktu. Malahan, seiring dengan kemajuan zaman, kini sepak bola bukan lagi sebagai bagian dari olah raga belaka, namun juga telah menjadi sebuah industri. Kini klub sepak bola layaknya sebuah perusahaan, ada pemiliknya dan bisa menghasilkan cuan yang menggiurkan. Pemilik, pemain, dan pengurus klub lainnya dapat hidup layak dari sepak bola.
Sebagai sebuah industri, para pemain dituntut bertindak profesional. Secara manajerial, kini para pemain tidak bisa pindah antar klub secara bebas, tapi harus melalui perjanjian dan pentransferan pemain. Proses pentransferan pemain ini merupakan bagian dari industri sepak bola yang menghasilkan cuan. Satu klub bisa “menjual” pemainnya kepada klub lainnya dengan harga yang fantantis. Setiap saat, para pemain dituntut meningkatkan kompetensinya. Tujuannya selain untuk memperoleh skill permainan, juga untuk meningkatkan “harga jual”. Jika kompetensinya bagus, harga jual dan pendapatannya pun akan semakin bagus pula.
Jika kita menelusuri permainan sepak bola, setiap pemain secara mutlak harus memiliki keterampilan menangkap, mendapatkan, dan merebut bola dari lawan main tanpa melanggar aturan yang telah disepakati. Kemudian, setelah pemain dapat menangkap dan menguasai bola, kompetensi berikutnya yang harus dimiliki adalah keterampilan melepaskan bola, yakni mengoperalihkan dan menendang bola kepada kawan atau ke arah yang tepat.
Seorang pemain sepak bola yang baik adalah orang yang mampu merebut bola dari lawan main tanpa melanggar aturan, kemudian melepaskannya kembali, baik dioperalihkan kepada kawan maupun ditendang ke arah gol lawan. Bukanlah seorang pemain sepak bola yang baik, manakala ia hanya mampu merebut, menangkap, dan memainkan bola kemudian menguasainya sendiri tanpa dioperlalihkan kembali kepada kawan atau ke arah gol lawan.
Apabila kita renungkan, kehidupan kita pun layaknya permainan sepakbola. Kita berlari ke sana kemari untuk mendapatkan harta, jabatan, dan berbagai penunjang kehidupan. Kita pun dituntut menjadi “pemain bola kehidupan” yang baik, dapat menangkap “bola kehidupan” tanpa melanggar peraturan, dan tanpa mencidrai siapapun.
“Bola kehidupan” yang harus kita tangkap bisa berupa harta benda, pangkat, jabatan, dan kekuasaan. Semuanya harus didapatkan dengan melakukan permainan yang cantik, memukau, dan menyenangkan bagi para penonton atau orang lain. Sementara peraturan yang harus ditaati selama menjadi “pemain bola kehidupan” adalah peraturan agama, peraturan Allah dan Rasul-Nya, serta hukum positif yang telah disepakati bersama.
Seorang “pemain bola kehidupan” yang baik akan merasa takut jika ia melanggar peraturan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya serta hukum positif, sebab resiko yang diperolehnya adalah “kartu merah” yang akan menjadikan kehidupannya menderita di akhirat kelak. Sementara, selama hidup di dunia bisa saja, “pemain bola kehidupan” yang melanggar peraturan Allah dan Rasul-Nya nampak lebih bahagia daripada orang-orang yang taat akan peraturan Allah dan Rasul-Nya. Namun, di akhirat kelak, kondisinya akan sangat jauh berbeda.
Dalam hal ini layak kita renungkan kata-kata Aristoteles, seorang filosof Yunani, “Pada hakekatnya, kejahatan itu merusak jiwa pelakunya. Jika seseorang berbuat jahat, hanya tampaknya sajalah ia menang, senang, dan berkuasa, namun sebenarnya jiwanya menderita. Dengan kata lain, orang yang berbuat jahat sebenarnya telah menghancurkan jiwanya sendiri.” (Reza Wattimena, Filsafat Anti Korupsi, 2012 : 120).
Sebagai “pemain bola kehidupan” yang baik selayaknya kita tidak hanya piawai menangkap atau mendapatkan “bola kehidupan”, namun juga harus memiliki tekad kuat untuk mengoperalihkan “bola kehidupan” kepada orang lain atau kepentingan lain sesuai aturan Allah dan Rasul-Nya.
Epictetus, seorang filosof Yunani pernah berkata, “Kamu akan menemukan para pemain bola andal melakukan hal yang mirip dengan seseorang yang menangani kekayaan. Bukan bolanya yang dianggap berharga oleh mereka, tetapi yang dinilai baik tidaknya adalah seberapa mahir mereka melemparkan dan menangkap bola tersebut” (Henry Manampiring, Filosofi Teras, 2019 : 80).
Selayaknya kita menyadari, kita harus mampu “mengoperalihkan” sebagian harta yang kita miliki kepada orang lain. Dalam harta yang kita miliki terdapat hak orang lain yang harus ditunaikan melalui kewajiban zakat, infak, dan sedekah lainnya. Penunaikan kewajiban zakat, infak, dan sedekah lainnya merupakan upaya mengoperalihkan “bola kehidupan” kepada kawan main untuk diarahkan ke “gol kemanusiaan” yang kebaikannya akan kembali kepada diri kita.
Sebaliknya jika kita tidak mengoperalihkan harta yang kita miliki dengan cara berbagi dengan orang lain, kita laksana seorang pemain sepak bola yang setelah mendapatkan bola, ia menguasai dan memainkan bolanya sendiri. Ia egois, tidak mau mengoperalihkannya kepada pemain lainnya. Perilaku seperti ini, selain berpotensi melanggar peraturan, lama kelamaan ia akan merasa lelah sendiri, dan ia akan celaka karena kelelahan memainkan bolanya sendiran.
Orang yang menguasai hartanya secara egois, tidak mau berbagi dengan orang lain pun demikian. Lama kelamaan ia akan merasa kelelahan, merasa jenuh dengan harta yang berlimpah, namun ketenangan dan kebahagian menjauh darinya. Zakat yang ia lewatkan, infak dan sedekah yang ia tolak, ibadah kurban yang ia lewatkan begitu saja hanya akan menjadi belenggu, kecelakaan, dan penyesalan tiada akhir di akhirat kelak.
Tidak mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah merupakan penyesalan dan kepedihan pertama yang akan dialami orang-orang kikir yang meninggal. Ia menguasai hartanya seraya enggan berbagi dengan orang lain. Ia akan memelas, memohon kepada Allah agar dikembalikan ke dunia agar bisa hidup kembali, dan ia berjanji akan berbuat kebaikan, salah satunya adalah menyedekahkan hartanya.
“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang diantara kamu; kemudian dia berkata (menyesali), ‘Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematianku) sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh’ “ (Q. S. al Munafiqun : 10).
Selain berbagi harta, kita pun harus menggunakan segala hal yang diperoleh dalam kehidupan ini bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tapi juga untuk kepentingan seluruh makhluk Allah. Kekuasaan atau jabatan yang kita miliki harus benar-benar dipergunakan untuk kemaslahatan kehidupan seluruh makhluk Allah, terutama manusia. Jika tidak, kekuasaan yang dimiliki akan hanya menjadi belenggu kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
Ketika kekuasaan dipergunakan tidak semestinya, rasa malu, kecelakaan, dan kesempitan hidup akan dirasakan orang-orang yang menyalahgunakannya. Bukan rahasia lagi, bagaimana tertunduk malunya para pejabat dan penguasa yang divonis hakim karena melakukan tindak pidana korupsi. Padahal, sebelumnya mereka adalah para penguasa yang nampak berwibawa, disegani semua orang, dan selalu diberi pengawalan kemanapun mereka pergi.
Sebagai “pemain bola kehidupan” yang jatah bermain kita di lapangan kehidupan ini hanya sebentar, sudah selayaknya kita menjadi pemain yang baik. Kita harus melakoninya bukan hanya mampu mengejar “bola kehidupan”, mendapatkan dan menguasainya, namun juga harus mampu menggunakan dan membagi “bola kehidupan” yang kita peroleh untuk kemaslahan hidup seluruh makhluk Allah. Hanya dengan cara seperti itulah kehidupan kita akan menjadi baik di hadapan-Nya. *
Penulis Tinggal di Kampung Pasar Tengah Cisurupan Garut Jawa Barat