Oleh: Pepen Irpan Fauzan
Hidayatullah.com | BANYAK orang mengidentikkan kultur dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah berlangsung di tengah masyarakat. Lalu, bagaimana dengan tradisi? Itupun akan dijawab dengan jawaban yang relatif sama: sebagai sebuah kebiasaan turun-temurun.
Pemahaman umum terkait kedua konsep itu, sehingga rata-rata jawabannya mirip-mirip seperti itu.Konsep kultur adalah konsep yang sangat sentral dalam sosiologi dan antropologi.
Penggunaan sorotan kultural dalam memahami kehidupan sosial itu sangat penting, kata Pranowo (2001:27), karena hal itu memungkinkannya untuk bisa memahami dunia non-fisik dari suatu masyarakat. Khususnya, yang berkaitan dengan cara masyarakat tersebut melihat dunia nyata ( world view) yang pada gilirannya mempengaruhi perilaku sosial mereka sendiri.
Konsep ini digunakan untuk menunjuk aspek non-biologis dari kehidupan sosial yang meliputi segala hal yang diperoleh melalui proses belajar dan bersifat simbolik—(khusus terkait simbol, penulis akan membahasnya tersendiri pada bagian lain). Ia meliputi konvensi, adat-istiadat, bahasa, kepercayaan, nilai-nilai, jalan hidup dan juga kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu. Peacock (1986:7) menyebutnya sebagai “the taken-for-granted but powerfully influential understanding and codes that are learned and shared by members of a group.”
Istilah taken-for-granted menunjuk pada suatu keberterimaan secara suka rela. Tos tidituna kitu, misalnya dalam bahasa orang Sunda.
Ini menunjukkan, keberterimaan dirinya terhadap “sesuatu” yang tengah berlangsung—yang ia sendiri tidak tahu secara pasti sejak kapan dimulainya. Yang jelas, ketika ia hadir, “sesuatu” itu telah hadir terlebih dahulu. Karena diyakini telah berlangsung lama—dan oleh karena lamanya itu menjadi bernilai penting, sesuatu yang bernilai tinggilah yang bisa bertahan lama—ia pun secara pasrah menerimanya, tanpa reserve. Karena itulah jadi sangat berpengaruh dan mengatur pola hidup, baik secara sadar ataupun tidak sadar.
Dari sinilah kemudian muncul konsep tradisi. Yakni, pengertian tentang hubungan masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk pada sesuatu yang diwariskan dari masa lalu, namun masih berwujud dan berfungsi hingga masa kini. Dengan kata lain, masa lalu yang hadir pada masa kini. Itulah tradisi.
Antara Warisan dan Penciptaan-Ulang
Jamiyyah PERSIS, yang telah lahir hampir seratus tahun yang lampau, tentu telah mewariskan tradisi, pada jamaahnya. PERSIS yang pada awal kemunculannya menolak tradisi (budaya lokal), kini justeru memiliki tradisi tersendiri dan diwariskan.
Pengajian jamaah PERSIS, misalnya, telah menjelma menjadi tradisi. Ada kekhasan dalam pengajian jamaah PERSIS. Tidak ada shalawatan, tidak ada barzanzi, tidak ada puji-pujian religius.
Yang ada, pembawa acara yang melakukan sambutan, muqaddimah, lalu langsung masuk materi utama dari muballigh (asatidz). Kekhasan lainnya, tematik pembahasan, kalau bukan tema aqidah, kemungkinan besar adalah masalah fiqih ibadah. Itu sudah menjadi trade-mark made-in PERSIS, walau tentu saja bukan satu-satunya.
Pada suatu saat, ada orang PERSIS ikut pengajian umum oleh muballigh non-PERSIS. Ketika sang juru dakwah menyampaikan dalil dari hadis Nabi ﷺ, Si Mustami PERSIS bertanya: “(Apakah) hadisnya itu sahih, tidak? Maka, respon Si Muballigh: “Anda PERSIS, ya?”
Ada trade-mark, identitas kelompok, yang melekat pada jamaah PERSIS. Dan, itulah di antaranya bagian dari kultur (yang diwariskan) PERSIS. Warisan itu pula yang menyebabkan kritik muncul, seolah PERSIS “garing”, jauh dari kultur jamaah yang bersifat estetis.
Ketika era KH. Isa Anshary, jamaah PERSIS terlibat aktif dalam dunia politik, wajah kultural PERSIS tergantikan, menjadi lebih struktural. Strateginya berubah. Positifnya, jamaah PERSIS dikenalkan dengan konsep-konsep kenegaraan. Bahkan secara praksis-ideologis. Karena kebutuhan politik, jumlah jamaah-anggota PERSIS meningkat tajam.
Ketika kepemimpinan berganti ke tangan KHE. Abdurrahman, jamaah PERSIS kembali dibawa ke arena kultural. Kelebihan ustadz Abdurrahman, ia bisa menghadirkan (kembali) tradisi awal PERSIS: sebagai madrasah.
Dulu, disebutnya studie klub. Khittah perjuangan ini kembali difungsikan pada jamaah. Tentu dengan reformulasi tertentu melalui tangan dingin sang ustadz legendaris ini. Yakni, melalui pengembangan pesantren dan kursus tamhidul muballighin.
Keberhasilan Ustadz Abdurrahman harus dilihat dari kaca mata strategi kebudayaan. Ia memfungsikan dirinya sebagai “perantara budaya”, yang menyeleksi dan menjaga kebudayaan luar yang masuk pada jamaah. Ia juga sekaligus memberikan legitimasi pada budaya-budaya baru yang dianggap relevan.
Ketika Ust Abdurrahman mengembalikan khittah PERSIS (dari strategi struktural ke kultural) sesungguhnya yang dilakukannya adalah, mengutip Hobsbawn, sebuah invented-tradition: tradisi yang diciptakan (ulang).
Ia merupakan repetisi, pengulangan, dari periode awal yang “sempat hilang” karena konteks pertarungan politik (struktural). Ustadz Abdurrahman membangun tradisi baru yang merupakan pengulangan dari tradisi tuan A. Hassan. Di situlah letak kata kunci strateginya.
Seni-Sastra sebagai Simbol Dakwah Kultural
Kembali ke persoalan budaya jamiyyah yang seolah “garing”, jauh dari estetika. Dalam tulisannya tentang kebudayaan, M. Natsir pernah menyatakan:
“Selain daripada seni masih ada moral, masih ada ideologi kenegaraan, masih ada I’tiqad ke-Tuhanan, masih ada cita-cita keagamaan, masih ada falsafah kehidupan. Dan pada hakekatnya seni yang sebenarnya seni dari salah satu bangsa, ialah bentuk lahir (unitingsvorm) dari apa yang seluhur-luhur dan sesuci-sucinya yang ada dalam sanubari bangsa itu.”
Pun tentang sastra, Natsir juga menjelaskan: “Kalau sebenarnya salah satu buah kesusasteraan itu (syair, prosa, roman, dan sebagainya ), terbit dari sanubari yang suci murni, kalau betul buah dari perpustakaan itu “tetesan jiwa” pujangga yang timbul di tengah-tengah masyarakat kehidupan bangsanya, sudah tentu akan tergambarlah dalam buah tangannya itu; Cita-cita yang senantiasa diidamkan oleh jiwanya dan jiwa bangsanya, akan terlukis perjuangan ruhaninya, akan terdengar keluh kesah masyarakat ummat-nya, akan terbentang ideologinya menurut falsafah kehidupan yang tertentu.” (M. Natsir, Kebudayaan Islam, hlm. 218).
Demikian relevansi, menurut tokoh puritan ini, antara agama di satu pihak dengan seni-sastra di pihak lain.
Seni-Sastra sesungguhnya “permainan” kata-kata, gerak, karakter, lukisan, pahatan yang menerjemahkan suatu nilai. Jadilah suatu simbol. Yakni, perlambang sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Perwujudan dari sebuah nilai.
Dalam konteks inilah, seni-sastra disebut sebagai “Simbol Estetis”, yakni: perwujudan keindahan ke dalam sesuatu yang kongkret. Ia haruslah mencakup sensibility: Keindahan itu harus bisa dilihat, didengar, disentuh, dirasa, dicium. Pesona kata, tulisan, lukisan, pahatan, gerakan, bahkan aroma.
Lalu, seperti apakah Seni-sastra Islam(i) itu?
Kata Kuntowijoyo: “Seni Islam adalah cara memandang, menangkap dan menyikapi realitas secara Islam. Sama seperti orang lain, namun seniman masih punya tugas, yaitu menerjemahkannya secara estetik ke dalam bentuk simbolik.”
Mengenai metode, masih kata Kuntowijoyo, “contohlah air. Kita tahu bahwa dalam kemasan apapun, air tetaplah air. Ada lagi sifat yang baik, ia selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah.” (Kuntowijoyo, Majelis Kesenian Islam: Mencari Teori, Strategi, dan Metode Organisasi, hlm. 151).
Di sini kita melihat fleksibilitas dan “kebebasan” seni-sastra. Namun, bukan berarti terbebas sama sekali dari norma. Seni-sastra harus menjadi bagian dari budaya ekspressif yang populis. Cair, berada di tengah-tengah masyarakat.
Dalam konteks inilah, ada fungsi seni-sastra untuk dakwah, yang bisa ditunjukan dalam tiga aspek, yaitu:
Pertama, tasbih, yakni upaya seorang hamba untuk memahasucikan Allah SWT, mengagungkan-Nya, baik secara individual maupun kolektif. Bisa jadi, dengan cara-cara yang tidak biasa: “aneh-tapi-nyata.”
Kedua, identitas, yakni kongkretisasi nilai-nilai yang abstrak. Pengalaman pribadi “bisa dirasakan” oleh orang lain, secara bersama-sama. Penerjemahan nilai menjadi sebuah sistem simbol. Misalnya: Pendidikan nilai dalam bentuk tontonan wayang; Ada Puisi Takwa, di samping teater kesalehan sosial.
Ketiga, syiar. Fungsi ini lebih dekat dengan dunia dakwah. Karena seni-sastra bersifat universal, bisa untuk siapa saja, tanpa paksaan. Orang—siapa saja—bebas untuk menonton pertunjukan, membaca puisi, menangis diam-diam karena sedih atau berempati pada buku roman, riang-gembira karena membaca komik, dan sebagainya. Menjadi rahmatan lil-’alamien.
Oleh karena itu, dengan sifat rahmatan lil alamiin ini, seni sastra Islam(i) seyogyanya menjadi komprehensif, kaffah. Seni-sastra harus bisa memanusiakan umat manusia, ia harus bisa membebaskan umat manusia dari belenggu manusia lainnya, kelas-sosial, atau hegemoni negara. Dan terakhir, seni-sastra harus bersifat transendental, membawa umat manusia kepada Tuhannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah yang disebut Kunto ( Islam dan Seni, hlm. 257), sebagai “Seni-sastra Profetik.”
Lalu, bagaimana dengan strategi kebudayaan PERSIS dalam konteks khusus Seni-Sastra ini? Yakinlah, jika ada, akan sangat mewarnai kultur jamaah PERSIS ke depan! Wallahu a’lam bi al-shawab.*
Penulis adalah dosen STAI Persis Garut. Tulisan ini disampaikan pada Kursus Mulazamah Pesantren Sastra PP Pemuda Persis di Kopibray-Bandung, 20 Desember 2020