Oleh M. Fauzil Adhim
Agresi Amerika dan sekutunya ke Iraq kali ini, bukan terjadi secara mendadak. Tahun 1998, kelompok pemikir konservatif yang tergabung dalam Project for the New American Century, mengajukan proposal kepada Bill Clinton. Kelompok yang terdiri 18 pemikir ini memperingatkan Bill Clinton bahwa containtment (pembendungan) –tindakan semacam boikot, embargo sekaligus isolasi—yang diberlakukan bagi Irak, telah gagal total. Proposal ini rupanya kurang mendapat respon dari Clinton, sehingga tidak ada tindak-lanjut.
Lima tahun kemudian, separo dari 18 penandatangan yang ketika itu tidak memiliki kewenangan apa-apa, telah menjadi pejabat tinggi kepercayaan George W. Bush. Mereka antara lain Donald Rumsfeld yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Paul Wolfiwitz, mantan dubes AS di Indonesia yang sekarang menjadi deputi Menhan; dua pejabat tinggi Deplu, yakni Richard Armitage dan John Bolton; serta Elliot Adams, pejabat tinggi di Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat. Begitu Gatra, 5 April 2003, melaporkan.
Tidak dipungkiri perang Iraq adalah untuk kepentingan Israel. Koordinasi Amerika dengan Israel terus digencarkan semenjak perang belum dimulai. Penggunaan Jeep Humve dalam perang kali ini misalnya, merupakan rekomendasi dari arsitek perang Israel berdasar pengalaman melumpuhkan perlawanan Palestina. Menyusul kegagalan koalisi Amerika melakukan penghancuran Irak sesuai rencana, Amerika juga dengan sigap berkoordinasi dengan Israel. Senin, 31 Maret lalu, Colin Powell melapor kepada AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) –sebuah lembaga lobi Yahudi yang sangat berpengaruh di mana Menlu Colin Powel kemarin sempat mengancam Iran dan Suriah— untuk mendiskusikan langkah-langkah ke depan.
Langkah koordinasi Amerika-Israel ini membenarkan dugaan bahwa perang Irak ini bukanlah untuk membebaskan rakyat Irak dari penindasan, tetapi untuk meluaskan daerah jajahan Israel. Ini juga berarti bahwa Irak bukanlah satu-satunya. Ada negara lain yang menjadi target berikutnya untuk kepentingan zionisme internasional. “Irak itu cuma permulaan,” begitu kutipan New York Times. Ini bukan isapan jempol belaka. Majalah Esquire bahkan telah menyajikan secara gamblang negara berikutnya yang menjadi target berikutnya kebiadaban Israel melalui tangan kejam Pentagon. Dalam artikelnya berjudul “The Pentagon’s New Map”, ahli strategi Pentagon bernama Thomas P.M. Barnett menunjukkan negara-negara yang menjadi burun Amerika selain Irak, Iran dan Korea Utara tak lain kelompok The Axis of Evil (Poros Kejahatan Dunia)..
Beberapa negara yang menjadi target berikutnya, ironisnya, justru yang sekarang membantu Amerika dalam serangan ke Irak, Qatar, Arab Saudi dan Yordania. Negara lain yang ada dalam daftar adalah Republik Demokratik Kongo, Libanon, Bahrain, Pakistan termasuk Indonesia. Bersama Israel, negara-negara tersebut dimasukkan dalam apa yang disebut oleh Pentagon sebagai “Titik Panas yang Akan Datang”. Bedanya, Israel adalah titik panas yang akan datang yang harus dibela oleh Amerika.
SaraLee dan Pepsi
Kejahatan kemanusiaan luar biasa (extraordinary humanity crime) yang dilakukan koalisi Amerika di Irak sekarang tidak lepas dari ambisi Israel untuk meluaskan wilayah jajahan. Michael Colin Piper, penulis buku “Final Judgment: The Missing Link in the JFK Assassination Conspiracy”menunjukkan bahwa keberingasan Amerika di Irak adalah untuk memenuhi lobi Israel.
Penulis yang juga pemikir asal Amerika ini mengatakan bahwa perang ke Iraq bisa berjalan mulus, maka Israel akan sukses menghapuskan wilayah Palestina dengan mudah. Rencana terselubung nini tak lain berkenaan dengan impian besar Israel –melalui tangan AS—untuk memperluas wilayah jajahan.
Keganasan Israel –kali ini dengan meminjam tangan Amerika—tidak lepas dari dukungan yang sangat besar dari berbagai perusahaan. Di antara perusahaan yang pernah memperoleh Jubilee Award –penghargaan tertinggi Israel kepada perusahaan yang memberi sumbangan terbesar untuk perjuangan Israel—adalah Coca-cola Company dan SaraLee.
Berbeda dengan Coca-cola, inminds.com melaporkan bahwa Pepsi bersikap angin-anginan. Sekedar catatan, Coca-coal sudah berperan aktif untuk mendanai kejahatan zionisme Yahudi secara konsisten sejak tahun 1966. Pada tahun 1997, Misi Ekonomi Pemerintah Israel menganugerahkan kepada Coca-cola Company pada jamuan makan malam Israel Trade Award atas dukungannya yang penuh secara terus-menerus kepada ambisi Israel dan atas perannya menolak keputusan boikot Israel dari Liga Arab.
Bertolak-belakang dengan Coca-cola, Pepsi memberi dukungan pada keputusan Liga Arab untuk memboikot Israel yang berakhir pada bulan Mei 1991. Setahun kemudian, yakni 1992, Pepsi menjalin hubungan dagang dengan Israel.
Atas perannya yang sangat besar terhadap ambisi Israel, belum lama ini diumumkan bahwa Coca-cola akan membangun pabrik di atas tanah milik Palestina yang dirampas oleh Israel. Tanah di Kiryat Gat untuk pendirian pabrik Coca-cola ini sebagai imbalan atas sumbangan bernilai jutaan dolar yang diberikan oleh Coca-cola. Besarnya sumbangan Coca-cola ini sangat ditopang oleh tingginya angka penjualan produk-produk Coca-cola, serta banyaknya produk yang mereka hasilkan.
M. Fauzil Azim adalah seorang penulis buku dan dosen Psikologi di UII Yogyakarta