Oleh: Nico Andrianto
PRO dan kontra mengemuka pasca Gubernur DKI Basuki Cahaya Purnama alias Ahok menggulirkan kebijakan pelarangan sepeda motor melintasi jalan protokol Sudirman-Tamrin.
Kebijakan Gubernur Jakarta pertama dari etnis Tionghoa tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya kecelakaan dan bertujuan mengurai kemacetan di Jakarta.
Sebagai pengendara motor, penulis merasakan sendiri bagaimana kacaunya jalanan Jakarta dengan Kopaja yang berhenti mendadak di tengah jalanan atau bajaj merah yang memberondongkan gas buang “pembasmi serangga”.
Pengendara sepeda motor yang semakin menyemut bahkan terbiasa mengambil keputusan menarik gas tiga-lima detik sebelum lampu lalu lintas benar-benar berwarna hijau. Jika tidak sabar dan hati-hati, jalanan memang bisa menjadi mesin pembunuh papan atas. Karena itu, benarlah pesan stiker yang tertempel di slebor belakang sebuah sepeda motor; “Warning: Utamakan sholawat!”
Kebijakan Transportasi Publik
Menurut data, sepeda motor adalah spesies kendaraan dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia, dari 21,2 persen di tahun 2002 menjadi 48,7 persen di tahun 2010. Iya, sepeda motor sekarang ini mayoritas! Penambahan motor ini tentu juga didorong oleh kemudahan kredit kepemilikannya. Sebuah stiker di slebor belakang sepeda motor seperti mengonfirmasi; “Peringatan: Jangan ditabrak, masih kredit”. Yang lainnya, “motor ini belum lunas, gue mohon jangan dicuri”. Sementara ada pula yang tak mau mengaku; “Kredit?: elo aja kali, kalau gue kagak”. Yang lainnya berlagak sok gengsi; “IMBA, ikatan motor bebas angsuran”, “biar jelek tapi bukan motor kreditan”, atau “Biar bekas yang penting cash”.
Jalanan yang macet parah dan bottlenecking di jam-jam berangkat/pulang kantor seringkali juga disebabkan pedagang tumpah, parkir liar atau angkot yang tidak disiplin.
Tak kurang presiden RI pernah malu setiap ditanya perwakilan negara lain tentang kemacetan di Jakarta. Kondisi semakin parah karena setiap hari populasi motor di jalanan Jakarta bertambah sebanyak 1.068 unit, sementara mobil bertambah sebanyak 216 unit.

Tahun lalu saja jalanan Jakarta dijejali oleh 7,29 juta kendaraan bermotor, terdiri dari 2,56 juta unit mobil dan 4,73 juta unit motor. Kerugian materi yang tercipta ditaksir sebesar 8,3 Trilyun pada tahun 2002 dan terus meningkat menjadi 27,76 Trilyun pada tahun 2008.
Berpuluh tahun, pemerintah mengkhianati kebijakan transportasi masal sebagai solusi kemacetan. Data menunjukkan angkutan umum di Jakarta terus menurun, dari 38,3% pada tahun 2002, menjadi 12,9% pada tahun 2010. Dari sisi penggunanya juga berkurang dari 5,3% di tahun 2002 menjadi 2,3% di tahun 2010.
Kebijakan transportasi publik semacam Busway kadang maju, stagnan dan bahkan “mundur”, tergantung konsern pemimpin daerah terpilih. Kasus korupsi bus Trans Jakarta adalah pengkhianatan atas kebijakan pemerintah membangun transportasi publik yang maju. Bahkan informasi terakhir, dari sebanyak 400-an Bus yang dioperasikan PT. Trans Jakarta, 120 tidak bisa beroperasi karena mogok atau mengalami gangguan mesin lainnya. Program Monorail ataupun MRT sejauh ini baru pada tahap awal, dengan peninggalan tiang-tiang pancang yang beberapa diantaranya berubah menjadi media iklan.
Pernah tinggal di negara maju, awalnya penulis ingin membawa kebiasaan baik menggunakan public transport. Namun, pengalaman buruk berdesakan, kecopetan HP, dan dua jam berdiri hanya untuk transit, membuat penulis menyerah dengan Busway yang berjalur khusus itu dan memulai solusi pragmatis mengendarai sepeda motor pergi-pulang ke kantor.
Seperti diketahui, di negara maju semua public transport seperti MRT, Tram, Monorail, Bus Kota, dan kereta api saling terintegrasi, yang dengan satu kartu pengguna bisa beralih moda kemanapun dengan menit-menit jadual yang pasti.
Namun, budaya baru Busway dengan memberikan kursi khusus bagi orang tua, ibu hamil dan anak-anak rusak akibat jumlah armada yang tidak bisa mengimbangi kenaikan pesat penumpangnya. Seperti mengonfirmasi kekecewaan tersebut terjadi penurunan pengguna Busway dari 114 Juta penumpang pada Tahun 2011 menjadi 111 Juta penumpang pada akhir tahun 2014.
Tak mengherankan di banyak ruas jalur, Busway dengan stiker; “Nyerobot jalur Busway, Malu doong”, puluhan sepeda motor seolah setia mengikuti kemanapun pergi. Padahal sebuah stiker peringatan pada sebuah mobil mewah swasta B 1 XXX berbunyi peringatan; “bila Anda membaca tulisan ini, berarti anda terlalu dekat dengan kendaraan saya”, tetap saja sepeda motor menguntit lekat. Padahal di era ekonomi liberal saat ini, “kebut-kebutan hanya menguntungkan rumah sakit”.
Perlu dipahami, jika terdapat pengendara pengendara motor yang terjengkang karena kebut-kebutan, biasanya pengendara lainnya hanya akan memperlambat laju untuk sekedar melihat sebentar, daripada memberi pertolongan.
Bagaimanapun kebutuhan manusia akan mobilitas itu sebuah keniscayaan. Sebab stiker lain sepeda motor berbunyi; “Kalau emang rezeki nggak kemana-mana, tapi kalau nggak kemana-mana bagaimana bisa dapat rezeki”. Sementara stiker lainnya berbunyi: “Pergi karena kerja, pulang karena cinta”, yang serupa dengan “pergi karena tugas, pulang karena beras”, “Lebih baik putus cinta daripada putus rem”, atau “Cintaku padamu seperti BBM yang nggak pernah turun”. Jadilah hidup di Jakarta itu mempertahankan roda motor tetap berputar, bermanufer, berkelak-kelok diantara mobil-mobil dan celah-celah kemungkinan, karena seperti dikatakan sebuah stiker, “pulang malu, nggak pulang rindu”.

Para pengendara motor biasa melanggar batas-batas dan masuk ke trotoar, karena memang fasilitas jalanan sangat kurang dibandingkan jumlah pertumbuhan kendaraan. Penambahan ruas jalan, fly over dan jalan tol selama ini tak secepat perkembangan jumlah kendaraan. Untuk menempuh 100 kilometer di Indonesia diperlukan rata-rata 2,7 jam, sementara di China 1,2 jam dan di Thailand 1,3 jam. Kecepatan pengendara kendaraan bermotor di Indonesia pada jam-jam sibuk hanya 13 sd 15 kilometer perjam, sedangkan di Jepang 20 kilometer dan di Inggris 40 kilometer.
Setelah 68 tahun merdeka, Indonesia baru memiliki 478 ribu kilometer jalan, dimana 61% telah diaspal dan hanya 54% yang dalam kondisi mantap.
Seperti sebuah oase di tengah fatamorgana jalanan yang panas dan macet, stiker motor bisa sedikit menurunkan tensi darah para pembacanya; “sori bro buru-buru, udah ditunggu pacar”, “Ber-217-an”, “Ijo Tomat: Ikatan Jomblo-Jomblo Terhormat”. Ukuran kecepatan menjadi isu lainnya; “Caution: Maafkan daku bila mendahuluimu”, “Turunkan nafsumu untuk mendahuluiku”, atau “Boleh mendahului asal sopan”. Sementara yang lainnya mengatakan; “Warning: loe nubruk, gue timpuk”, atau “Loe ngebut, bagus, loe jatuh, mampus, Ngebut, benjut”. Tidak jelas siapa pengarang kata-kata lucu tersebut. Stiker motor adalah sebuah anomali dari keseriusan jalanan yang keras, “Awas, motor ini bisa berubah menjadi Transformer”.
Terkadang masalah tipe motor bisa menjadi bahan olok-olokan, sebagai sebuah komunikasi non-verbal para pengendara. Sebuah motor matic bertuliskan, “Hari gini masih pakai gigi?”, yang dibalas dengan stiker di sepeda motor bebek, “Hanya bayi yang gak punya gigi”. Ada pula yang mengemasnya, “Hanya motor matic untuk bonceng wanita cantik”. Sementara sebagai moda transportasi umum bernama ojek, memasang stiker, “Ojek: sekarang bayar, besok gratis”. Tulisan di vespa butut memprovikasi perasaan pengendara lainnya, “Mau cepat, mau lambat itu terserah gue”. Sebuah motor bebek bertuliskan; “Warning: Sesama kere dilarang mendahului”. Yang satunya lagi; “Habis hujan jalanan licin, Habis pinjam isi bensin”. Peringatan terakhir ini benar-benar lugas, “nebeng gratis, turun loncat”.
Bagaimanapun, kebijakan pemerintah terkait isu kemacetan juga seringkali tidak bijaksana. Baru saja pemerintah kota Jakarta mempertimbangkan peraturan plat nomor ganjil-genap, pemerintah pusat meluncurkan program mobil murah. Tak mengherankan orang-orang berdiri berderet-deret di pinggir jalan, lelaki, perempuan, tua, muda, sambil membawa anak, mengacungkan satu atau dua jarinya menunggu mobil-mobil yang akan masuk jalur three in one, karena absennya sanksi nyata.
Demikian pula bagaimana ABG yang bisa dipastikan “tanpa SIM” mengendarai motor sambil membonceng temannya yang keduanya sedang memainkan HP. Sementara “kereta kelinci” berbayar mengantarkan puluhan balita yang disuapi oleh ibu-ibu mereka. Untuk mensiasati para oknum polisi nakal, banyak motor dipasangi stiker; Brimob, Keluarga Besar Polri, Marinir, Densus 88, Mahkamah Agung, atau Kejaksaan.
Di mata pengendara, polisi lalu lintas lebih nampak seperti “hiu yang lapar”, daripada penegak hukum yang disegani. Maka bisa terjadi, pengendara sepeda motor masuk kembali ke jalur Busway hanya sepuluh meter setelah melewati razia polisi.
Eksistensialisme pengendara motor tercipta di tengah kesemrawutan jalanan, seperti konsep Benedict Anderson tentang “nation”. Para pengendara sepeda motor yang merasa senasib, akan meng-klakson keras-keras jika terdapat Kopaja yang berhenti mendadak atau menghalagi jalanan.
Ini adalah tentang suara mayoritas, tentang “republik sepeda motor”, bahwa “klakson rakyat adalah klakson tuhan”. Sebuah soliditas yang timbul di tempat yang berlaku hukum rimba. Dan ditengah demokrasi liberal, bukankah mereka yang mendudukkan para pemimpin di kursi kekuasaannya saat ini. Kebijakan perluasan pembatasan sepeda motor di ruas-ruas jalan protokol di jakarta (ROL, 5-1-2015) tanpa penambahan moda transportasi publik yang efisien dan murah hanya akan memunculkan stiker, “Jangan Diskriminasi Kami” dan membuat mereka kompak dibunyikannya “klakson rakyat” keras-keras. Wallohu a’lam bisawab.*
Penulis adalah penggguna sepeda motor di Jakarta