Analisis Dunia Islam
Oleh Musthafa Luthfi *
Pemerintah Israel mulai Senin (23/6) mencabut secara bertahap embargo atas wilayah Gaza Palestina berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa sebagai implementasi atas kesepakatan appeasement (peredaan) antara Hamas dan negeri Yahudi itu lima hari sebelumnya.
Terlepas dari tujuan politis dari masing-masing pihak yang terlibat dalam kesepakatan peredaan terutama Gerakan Perlawanan Islam Palestina (Hamas) dan Israel , kesepakatan tersebut merupakan realita yang memang harus diterima semua pihak meskipun kelanjutannya tidak terjamin.
Pasalnya, gencatan senjata serupa telah beberapa kali dilanggar negara Yahudi tersebut yang tentunya menimbulkan reaksi kuat dari gerakan perlawanan Palestina terutama dengan cara melakukan bom syahid akibat balance of power (perimbangan kekuatan) yang berat sebelah.
Secara realistis kesepakatan yang mulai efektif sejak Kamis (19/6) atas usaha penengah dari Mesir itu tidak akan diterima Israel seandainya tidak merasa adanya ancaman serius akibat tembakan roket faksi perlawanan Palestina ke pemukiman-pemukiman warga Yahudi di dekat perbatasan Gaza .
Meskipun menggunakan roket dari bahan-bahan yang sudah ketinggalan zaman, namun perlawanan Palestina terutama dari faksi Hamas dan Al-Jihad Al-Islami yang ditembakkan ke wilayah Sderot dan pemukiman lainnya, mampu menimbulkan balance of fear (perimbangan ketakutan).
Singkatnya, peredaan tersebut membuktikan tanpa ada keraguan bahwa perlawanan bersenjata satu-satunya yang dapat mempengaruhi para pemimpin Yahudi Israel untuk merespon tuntutan-tuntutan Palestina.
Selama 15 tahun belakangan ini, sejak Persetujuan Oslo tahun 1993, tidak terhitung bilangan perundingan politis yang dilakukan para perunding Palestina dengan negara Yahudi tersebut namun tak sejengkal pun Tel Aviv surut dari sikap keras kepala meskipun pihak Palestina sendiri telah memberikan banyak konsesi.
Peredaan kali ini merupakan salah satu dari peredaan-peredaan serupa sebelumnya meskipun tak satu pun yang berlangsung langgeng sesuai kesepakatan akibat pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan negeri zionis itu.
Namun Tel Aviv kali ini sangat menyadari bahwa pelanggaran akan dibayar mahal mengingat masalah keamanan besar yang ditimbulkan hujan roket badaiyah (primitif) terhadap pemukiman Sderot dan pemukiman sekitarnya.
Sementara invasi darat luas ke Gaza untuk menghentikan hujan roket sulit diterapkan karena tidak ada jaminan bahwa korban tentara Israel sedikit. Bila negeri Yahudi itu dapat menjamin bahwa korban di pihak tentaranya tidak besar bila menginvasi Gaza secara meluas niscaya telah dilakukan sejak lama.
Peredaan kali ini juga sebagai buah dari shumuud (ketahanan) gerakan perlawanan menghadapi aksi militer dan embargo Israel meskipun dengan senjata primitif. Sekaligus membuktikan bahwa tembakan roket selama ini bukanlah aksi yang abats (sia-sia) sebagaimana yang selalu didengungkan otoritas Palestina di Ramallah dan sejumlah pemimpin Arab lainnya.
Kemenangan
Dengan kata lain, persetujuan Israel atas tawaran Hamas tersebut sebagai kemenangan gerakan perlawanan Palestina yang paling disegani negeri Zionis itu atas strategi yang diterapkan selama ini meskipun sekitar 12 bulan diembargo sejak dituduh mengkudeta otoritas Palestina (baca : gerakan Fatah) 13 Juni tahun lalu.
Sejumlah pemimpin Hamas menyebutkan peredaan itu sebagai kemenangan meskipun banyak pihak di Palestina dan dunia Arab menilai pernyataan para pemimpin Hamas tentang kemenangan tersebut sekedar “bualan politis” semata.
Namun untuk mengetahui kebenaran klaim Hamas itu, cukuplah melihat pengakuan pejabat negeri Yahudi sendiri. Wakil PM Israel, Haim Ramon misalnya menegaskan begitu negaranya menerima tawaran Hamas “gencatan senjata bagi Israel merupakan pengakuan atas kegagalan”.
Lebih lanjut ia mengatakan “di Timur Tengah masih terjadi pertarungan antara negara-negara moderat dan Islam radikal. Nah ketika yang terakhir ini menang maka kita di Israel mengalami kekalahan”.
Kelanjutan dari peredaan situasi itu adalah perundingan kedua belah pihak (Hamas-Israel) yang ditengahi Mesir yang hampir dipastikan berakhir dengan keputusan Israel untuk membebaskan ratusan tahanan Palestina sebagai imbalan pembebasan tentara Israel, Gilad Shalit yang masih disekap Hamas.
Peredaan ini juga berarti kemenangan politis bagi gerakan perlawanan Palestina itu yang meskipun masih dianggap sebagai gerakan terorisme namun akhirnya mendapat pengakuan Barat. Hal ini dapat dilihat dari sikap Israel dan Uni Eropa yang membolehkan Hamas ikut ambil bagian dalam perundingan pembukaan pintu perbatasan Rafah dengan Mesir pekan depan.
Di tingkat dalam negeri peredaan tersebut berarti posisi tawar Hamas dalam dialog komprehensif antara Fatah-Hamas dan kekuatan parpol lainnya makin kuat untuk mengakhiri perpecahan intern Palestina sejak 2006 guna membentuk pemerintahan persatuan nasional sesungguhnya.
Embargo akan diperingan Israel pada saat Hamas masih tetap ‘berkuasa’ di Gaza sehingga ‘harga’ yang harus dibayar dalam perundingan dengan Fatah dan faksi-faksi Palestina lainnya lebih kecil.
Selama masa peredaan baik seminggu, sebulan atau selama enam bulan sesuai kesepakatan tersebut, Hamas hampir dapat dipastikan dapat membuktikan di lapangan bahwa ia mampu menahan faksi-faksi perlawanan lainnya untuk tidak melanggar kesepakatan tersebut.
Karenanya begitu Israel menyetujui peredaan, Hamas langsung mengontak faksi-faksi lainnya seperti Al-Jihad Al-Islami dan mendapat jaminan untuk mematuhi persetujuan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Hamas sebagai salah satu kunci penentu dalam dialog komprehensif intern Palestina mendatang.
Rekonsiliasi menyeluruh
Dengan perkembangan terakhir di Gaza tersebut, jalan menuju rekonsiliasi menyeluruh makin lebar. Semua faksi Palestina sebenarnya menyadari bahwa rekonsiliasi tersebut akan memperkuat posisi Palestina dalam perundingan dengan Israel.
Tanda-tanda kesediaan faksi Fatah untuk menyukseskan rekonsiliasi dimaksud dapat dilihat dari upaya lobi yang dilakukan oleh Presiden Mahmoud Abbas ke sejumlah negara Arab untuk mendapatkan dukungan Arab terhadap posisi Fatah.
Salah satu negara Arab yang dikunjungi Abbas adalah Yaman karena dasar kelanjutan dialog mendatang adalah Deklarasi Sana’a atas inisiatif Yaman yang ditandatangani Fatah dan Hamas di ibu kota Yaman, Sana’a pada 23 Maret lalu.
Prakarsa Yaman tersebut berisi 7 butir meliputi kembalinya kondisi Gaza sebelum 13 Juni 2007 ketika Hamas menghentikan kekuasaan Fatah, pelaksanaan pemilu dini, memulai kembali dialog berdasarkan hasil pertemuan Kairo 2005 dan persetujuan Mekah 2007.
Landasan dialog adalah bahwa bangsa Palestina adalah bagian yang tak terpisahkan antara satu dengan lainnya, otoritas Palestina terdiri dari Presiden yang terpilih langsung, parlemen dan pemerintahan persatuan nasional. Menghormati dan komitmen terhadap konstitusi, pembentukan kembali aparat keamanan secara nasional dengan tidak loyal terhadap faksi tertentu namun loyal kepada pemerintahan persatuan nasional.
Sebagai pemrakarsa, Yaman hampir dapat dipastikan akan tetap pada posisi dasar semula yang memilih sikap netral dalam dialog mendatang agar mudah menjembati faksi-faksi Palestina apabila terdapat kendala yang kembali menganjal.
Namun yang selalu tetap diwaspadai adalah usaha AS dan Israel untuk tetap mencari celah guna menggagalkan rekonsiliasi. Persetujuan 2005 di Mesir dan Persetujuan Mekah tahun 2007 telah membuktikan bahwa kegagalan implementasinya lebih disebabkan faktor ekstren yaitu intervensi AS-Israel untuk mempengaruhi Fatah agar terus menekan Hamas agar tunduk terhadap keinginan politis kedua negara tersebut.
Terlepas dari peluang sukses rekonsiliasi dimaksud, peredaan di Gaza kali ini paling tidak bagi pihak-pihak yang anti perlawanan baik di dalam Palestina dan di kalangan tokoh-tokoh Arab lainnya, dapat dilihat sebagai salah satu prestasi dari perlawanan sehingga opsi perundingan politis tidak dengan sendirinya mengubur opsi perlawanan.
Sana’a, Senin 26 Mei 2008/hidayatullah.com
Penulis pemerhati Timur Tengah, mantan wartawan ANTARA dan kini sedang bermukim di Sana’a, Yaman