Ada kecendrungan di Washington, job deskripsi seorang presiden terpilih adalah bagaimana ia bisa terpilih kembali untuk periode kedua. Presiden Barack Obama tak setuju itu. Menurutnya tugas presiden adalah memecahkan problem dan membantu rakyat.
“Saya lebih memilih menjadi presiden satu periode yang berhasil daripada presiden dua periode yang medioker,’’ katanya kepada wartawati ABC Diane Sawyer, Januari lalu (lihat artikel David Ignatius, The Washington Post, 22 Agustus 2010).
Dengan itu Obama memilih menyelamatkan industri keuangan di Wall Street dan industri mobil negerinya dari dampak krisis 2008 melalui bail out. Kebijakan itu secara umum benar tapi secara politis berisiko tinggi karena tak popular di mata rakyat.
“Kalau keputusan saya berdasarkan polling,’’ kata Obama dalam wawancara tadi, ‘’sistem perbankan mungkin sudah ambruk, General Motor dan Chrysler bukan lagi milik kita, dan ekonomi belum tentu tumbuh seperti sekarang.’’
Hal serupa terlihat dalam langkah Obama dengan undang-undang pemeliharaan kesehatan (Healtcare legislation). Itulah proyek favorit Obama tapi banyak mendapat tantangan – terutama dari pendukung Partai Republik dan Ormas pendukungnya, Tea Party.
Sikap Obama menjadi sangat jelas dalam kontroversi pembangunan Islamic Center di dekat Ground Zero, Manhattan, New York. Konstitusi memang menjamin pembangunan Islamic Center itu. Tapi sebagian besar masyarakat Amerika ternyata masih dihinggapi sikap ekstrem dan dengan emosional menganggap pembangunan masjid dua blok dari Ground Zero, menghina korban tragedi 11 September 2001. Meski sebenarnya sebelumnya di sekitar situ sudah berdiri dua masjid.
Polling CNN awal Agustus, menunjukkan 68% responden menolak pembangunan Islamic Center, dan cuma 29% mendukungnya. Karena itulah agaknya mengapa Sekretaris Pers Gedung Putih, Robert Gibbs, mengelak mengomentari Ground Zero dengan dalih itu urusan komunitas lokal.
Obama tentu memahami itu semua. Ia juga mengakui Ground Zero sebagai tempat suci. Tapi berbicara dalam acara buka puasa (iftar) di Gedung Putih, 13 Agustus lalu, ia berkata: ’’Ini adalah Amerika, dan komitmen kita pada kebebasan beragama tak bisa digoyahkan. Prinsip bahwa manusia dengan segala kepercayaan diterima di negeri ini dan tak akan diperlakukan berbeda oleh pemerintah adalah esensial untuk menunjukkan siapa kita.’’ (The New York Times 13 Agustus 2010).
Sikap itu menyebabkan Obama jadi bulan-bulanan politisi lawan dari Partai Republik, seperti bekas Ketua DPR Newt Gingrich, atau anggota DPR John Boehner dan Peter T. King. Popularitasnya pun kian melorot.
Survei Majalah TIME setelah pernyataan itu, menunjukkan 24% responden percaya Obama beragama Islam. Artinya, satu dari lima orang Amerika percaya ia seorang Muslim. Padahal pada survei 2009, jumlah itu hanya 11%. Gedung Putih terpaksa harus repot-repot menjelaskan bahwa Obama seorang Kristen yang melaksanakan ajaran agamanya.
Bila diamati, sikap Presiden Obama sungguh bertolak belakang dengan Presiden SBY. Perilaku, langkah, dan ucapan SBY seakan ia sedang menghadapi musim kampanye sepanjang tahun. Karena itu ia enggan mengambil keputusan tak populer atau berisiko menurunkan angka polling. Yang paling disenangi SBY adalah bertemu rakyat, tapi disaksikan lampu blitz wartawan dan kamera televisi. Belakangan dia sudah dua kali terlihat menangis terisak di depan rakyat dipancarkan luas oleh televisi. Tapi tulisan ini tak bermaksud mencurigai air mata itu.
Kesalahan atau kecaman adalah tanggung jawab para menteri atau pembantunya yang lain. Dengan begitu citra diri SBY senantiasa bisa dijaga tetap mengkilap walau pun sebenarnya – berdasar UUD – SBY tak bisa lagi dipilih menjadi Presiden untuk ketiga kalinya.
Tapi lihatlah ketika terjadi peristiwa Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, Mei 2006. Ketika itu semburan lumpur bercampur gas menenggelamkan pemukiman penduduk di sekitarnya. Bencana ini terjadi di saat PT Lapindo Brantas milik pengusaha Aburizal Bakrie, salah satu menteri dan teman Presiden SBY waktu itu, sedang melakukan pengeboran mencari gas di kawasan itu. Presiden SBY diam tak bicara, menjauhkan diri dari ingar-bingar peristiwa.
Belakangan kasus sumur Lapindo dinyatakan sebagai bencana alam dan yang memikul tanggung jawab adalah pemerintah. Trilyunan rupiah dikeluarkan dari APBN. Tapi sampai sekarang – sudah berjalan 4 tahun – semburan lumpur belum berhasil dihentikan. Areal terdampak lumpur kian meluas. Rakyat jugalah yang tambah menderita.
Cium TanganBandingkan kasus Lapindo dengan semburan minyak di Teluk Meksiko. Bencana dimulai 20 April 2010 ketika terjadi ledakan di anjungan lepas pantai menelan korban 11 orang tewas, dan 4,9 juta barel minyak tumpah menggenangi laut. Sungguh bencana lingkungan yang mengerikan.
Tapi siapa pun bisa menyaksikan Presiden Obama menunjukkan kepemimpinannya yang kuat dan berwibawa. Ia mondar-mandir meninjau Louisiana, negara bagian paling menderita. Ia kunjungi negara bagian lainnya yang kena dampak seperti Mississippi, Alabama, dan Florida.
Dari Gedung Putih ia mengecam dan minta tanggung jawab BP, perusahaan raksasa minyak Inggris yang melakukan pengeboran lepas pantai. BP harus menyetop kebocoran, membersihkan genangan minyak, memulihkan lingkungan, serta membayar ganti rugi ke seluruh warga Amerika Serikat yang dirugikan. Malah sebagai jaminan Obama menekan perusahaan terbesar nomor 4 dunia itu untuk membuka rekening penjamin atau escrow account (The New York Times 14 Juni 2010).
BP tentu tak menyerah begitu saja. Awalnya perusahaan itu melempar kesalahan pada Transocean, perusahaan operator yang disewa BP. Obama tak kurang akal. Ia bujuk Perdana Menteri Inggris David Cameron untuk menekan BP menerima tanggung jawab itu. Hasilnya?
Sejak 15 Juli lalu, minyak yang menyembur dari dasar Teluk Meksiko telah berhenti. Beberapa pekan berselang BP menyatakan telah berhasil memaksa minyak turun dengan cara memompakan lumpur ke dalam sumur. Setelah ini sumur akan dikubur selamanya dengan menggunakan semen. Selesai. Walau pun untuk semua bencana ini kantong BP harus robek berpuluh milyar dollar. Jelas bedanya dengan kasus Lapindo?
Sementara Presiden SBY amat terkenal senang rapat berjam-jam dengan para Menteri dan pembantunya. Untuk menghilangkan suasana bosan, rapat pun berpindah-pindah dari Istana Bogor sampai Tampaksiring, Bali, terkadang di Bandara Halim Perdanakusumah. Tapi karena harus mendengarkan SBY bicara berlama-lama seringkali kantuk menyergap para pendengarnya. Kalau sudah begini SBY pasti marah.
Apakah sebenarnya yang dirapatkan berlama-lama? Orang yang tahu mengatakan, rapat itu mirip seminar. Menteri dan para pembantu melapor lalu Presiden membuat komentar-komentar yang bertele-tele. Setiap orang bicara dikomentarinya. Akhirnya waktu habis.
Makanya jangan heran kalau rapat model begini seringkali tak jelas keputusannya, apa lagi langkah konkret yang harus diambil. Mulai dari lapangan golf, arisan elite, sampai majelis taklim dan warung Tegal, orang di negeri ini pada ngerumpi: Presiden ini kebanyakan rapat tapi tak ada keputusan.
Yang jelas belakangan ada kebiasaan baru di Istana. Sering terlihat para Menteri atau Pembantu Presiden mencium tangan setiap bersalaman dengan Presiden SBY, mirip para santri mencium tangan para kiai. Malah panitia rekrutmen pegawai di Departemen Perdagangan mencantumkan judul lagu ciptaan Presiden sebagai bahan ujian pengetahuan umum calon pegawai. Ini jelas manifestasi tindakan penjilat yang mengarah feodalisme, sesuatu yang rupanya sulit dihilangkan dari Indonesia.
Agaknya negeri kita yang sedang morat-marit ini membutuhkan pemimpin yang berani bertindak tegas mengikuti nuraninya demi kepentingan rakyat. Citra atau polling memang dibutuhkan, tapi cukuplah untuk menghadapi Pemilu. Bukan sepanjang tahun seperti kita saksikan sekarang.Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta NB: fotokotamalang blog