Oleh: Dr. Iskhaq Iskandar
LAUT adalah bagian yang tak terpisahkan dari negara maritim seperti Indonesia. Dengan komposisi wilayah yang hampir dua pertiganya merupakan laut, dan panjang garis pantai 95.181 km serta jumlah pulau yang lebih dari 13.000, Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia.
Bagi umat Islam, penghuni mayoritas negeri maritim ini, laut tidaklah asing lagi. Beberapa ayat-ayat kauniyah di dalam kitab suci al-Quran dengan jelas mengandung penjelasan sains tentang laut [QS 24:40; 25:53; 52:6; 16:14; 17:66].
Al-Quran menunjukkan dengan jelas bahwa laut mengandung sumber daya berharga yang melimpah [QS 55: 22]. Lantas, mengapa kita sebagai umat yang telah diberi petunjuk dengan jelas tentang besarnya potensi bahari yang kita miliki belum dapat memanfaatkannya? Akankah kita dapat mengambil posisi terdepan dalam mengembalikan kejayaan bahari kita?
Pendidikan sebagai kunci
Salah satu aspek penguatan pembangunan negara maritim modern adalah revitalisasi nilai-nilai kebaharian melalui penguatan pemahaman wawasan maritim (Son Diamar, 2001). Di sini, pendidikan memainkan peran yang sangat penting dalam upaya membangun kembali kesadaran wawasan maritim generasi muda kita.
Mari kita lihat sistem pendidikan umum di tanah air kita. Dari ratusan perguruan tinggi yang ada di tanah air, berapa banyak yang memiliki jurusan ilmu kelautan atau yang berhubungan dengan laut. Bahkan, tidak seluruh perguruan tinggi negeri yang ada memiliki jurusan atau program studi kelautan. Hal ini setidaknya memberikan gambaran kurangnya orientasi dunia bahari dalam sistem pendidikan kita.
Jika kita telusuri ke jenjang pendidikan yang lebih rendah, akan kita dapati bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah belum memberikan atau bahkan tidak memberikan porsi yang memadai bagi peserta didik untuk mengenal dunia bahari. Kurikulum yang ada hanya “melegendakan” peserta didik akan kejayaan dunia bahari yang pernah kita miliki tetapi abai dalam menanamkan nilai-nilai kebaharian sebagai bangsa yang mewarisi darah pelaut sekaligus budaya bahari. Jadi, jangan salahkan siswa-siswi lulusan sekolah umum jika mereka tidak memiliki orientasi ke laut. Dan tidak salah pukla jika generasi penerus kita kelak enggan untuk turun dan bekerja di laut.
Pesantren bahari
“Ajarkan anak-anakmu berenang, memanah dan berkuda”. Demikian nasehat yang disampaikan oleh baginda Rasulullah SAW. Bagaimana mungkin Rasulullah SAW yang hidup di gurun memberikan nasehat tersebut jika beliau tidak memahami potensi laut (perairan) sebagaimana wahyu yang diterimanya. Jika kita renungkan, nasehat ini merupakan satu petunjuk bagi kita untuk “turun” ke laut. Jadi, sudah seharusnya kita umat Islam berada di garda terdepan dalam menggali dan memanfaatkan potensi bahari yang kita miliki.
Lantas, sudahkah kita menjalankan nasehat berharga ini? Secara harfiah, nasehat ini dapat kita artikan sebagai perintah untuk mendidik anak-anak kita agar memiliki kemampuan “berenang”. Untuk yang satu ini pun kita masih lalai. Kita menjadi prihatin mendapati hanya sedikit sekolah-sekolah Islam ataupun pesantren yang memiliki kolam renang sebagai fasilitas dasar untuk menjalankan nasehat junjungan kita. Dan tentu tidak mengherankan jika kita tidak menemui materi pelajaran berenang dalam kurikulum pendidikan yang diterapkan. Jadi, bagaimana mungkin kita mengharapkan generasi muda yang mencintai bahari apabila mereka takut kepada laut karena tidak pandai berenang.
Cita-cita untuk menjadikan umat Islam berada di garis terdepan dalam penguasaan bahari dapat diwujudkan melalui pendidikan yang kontinyu dan terstruktur.
Pesantren, yang telah terbukti mampu mencetak pemikir-pemikir besar di negeri ini, dapat dijadikan sebagai basis untuk mencetak kader-kader muda bahari. Kurikulum di pesantren perlu menambahkan materi pelajaran yang mengajarkan secara intens nilai-nilai kebaharian dan wawasan tentang kelautan.
Penerapan kurikulum bahari dapat dilakukan secara kontinyu di pesantren. Di tingkat pendidikan dasar para santri lebih diarahkan untuk mengenal dan mencintai laut yang diiringi dengan pelajaran berenang untuk menghilangkan kekhawatiran mereka akan “bahaya” laut. Selanjutnya, di jenjang yang lebih tinggi, para santri diajarkan secara berkesinambungan tentang aspek-aspek maritim.
Setidaknya ada 4 bidang yang dapat dimasukkan dalam kurikulum kebaharian.
Pertama, pandangan Islam – al-Quran tentang laut. Materi ini ditujukan untuk membawa kesadaran para santri bahwa ada ikatan yang kuat antara Islam dan ilmu kelautan. Al Quran memang bukan kitab teknologi, akan tetapi di dalam al-Quran terdapat petunjuk yang akan mengantarkan manusia memahami dan menguak apa yang tersimpan di dalam laut. Akan tertanam satu tekad dalam diri santri bahwa sebagai generasi muda Islam sudah sepatutnya lebih mampu mengenal dunia bahari karena hal itu telah tertuang dalam kitab suci yang menjadi pedoman hidupnya.
Bidang selanjutnya yang dapat dijadikan materi ajar adalah tentang sejarah maritim, khususnya sejarah maritim Indonesia. Materi dalam bidang ini merupakan bagian dari proses pembangunan karakter. Santri perlu diperkenalkan peradaban nenek moyang kita yang telah menjadikan laut sebagai urat nadi pembangunan. Peradaban bahari yang menjadi karakter bangsa ini harus ditanamkan kepada para santri agar tidak menjadikan sejarah kejayaan bahari hanya sebagai dongeng pengantar tidur. Akan tetapi mampu menjadikan budaya bahari sebagai bangunan jati diri dan karakter bangsa ini.
Ketiga, bidang ilmu dan teknologi kelautan. Santri perlu mendapat pengetahuan dasar bagaimana petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalam al-Quran sesungguhnya benar terjadi di lautan. Interaksi antara dua lautan yang memiliki salinitas berbeda sehingga menimbulkan batas antara dua laut, merupakan fenomena alam yang dengan terang dijelaskan di dalam Al Quran. Dari sini, santri diajak bagaimana melihat posisi Indonesia yang diapit oleh dua Samudera (Pasifik dan Hindia) yang berbeda salinitasnya sesungguhnya banyak mengandung mutiara dan marjan [QS 55:22]. Agar santri memiliki wawasan bagaimana menggali mutiara dan marjan yang ada di dalam lautan, maka materi teknologi kelautan merupakan satu keharusan.
Keempat, bidang ekonomi kelautan. Kita tidak ingin tentunya, penguasaan ilmu dan teknologi kelautan yang dimiliki tidak dapat memberikan manfaat yang nyata untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Di sinilah, materi tentang ekonomi kelautan perlu diberikan agar santri dapat memahami besarnya potensi ekonomi laut kita dan bagaimana memanfaatkannya.
Tentu keempat bidang tersebut hanya sebagai dasar untuk menanamkan budaya bahari dalam diri para santri. Proses peningkatan kapasitas keilmuan dapat dilanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, baik di dalam maupun di luar negeri.
Saatnya kita pastikan bahwa pendidikan kita tidak lagi hanya menghasilkan generasi pelaut yang hanya menjadi “jongos” di kapal. Tetapi pendidikan kita, khususnya pesantren, harus mampu mencetak generasi Islami yang menguasai ilmu dan teknologi kelautan. Mari kembali kita taklukkan ganasnya ombak dan badai samudera, karena disitulah kita mampu berjaya.*
Penulis adalah dosen Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Sriwijaya, Palembang dan NRC-RAP Fellow di NOAA/PMEL, Seattle, USA
Foto: Peserta Pelayaran Lintas Nusantara Remaja Pemuda Bahari (LRNPB) melakukan kegiatan di atas KRI Makassar/detik